Mendikbud yang baru diangkat benar-benar membuat gebrakan tentang “Full Day School” (FDS) yang, mohon maaf, sangat tidak rasional.
Pertama. Pelaksanaan FDS berarti akan ada kurikulum baru pengganti Kurtilas yang baru saja direvisi. Hal ini desebabkan semua kegiatan di sekolah, apa pun itu, harus dilaksanakan berdasarkan kurikulum. Tidak bisa berdasarkan hal lain. Perlu diingat, saat ini anak-anak SD dan SMP dan SMA sedang mengalami proses belajar-mengajar dengan berdasarkan Kurtilas hasil revisi. Dalam Kurtilas hasil revisi, penilaian sosial dan keagamaan siswa cukup dilakukan oleh guru PPKn dan guru pendidikan agama-budi pekerti. Terus bagaimana dengan FDS, apa harus diubah lagi? Apakah para guru siap melaksanakan FDS? Kacau! Kurikulum baru berarti kerepotan dan keruwetan baru, dan ujungnya pengeluaran tambahan (bagi siswa, orang tua siswa, dan guru) yang sesungguhnya tidak perlu.
Kedua, Fasilitas sekolah harus memenuhi syarat bagi siswa dan guru untuk pelaksanaan FDS. Sampai saat ini berapa banyak sekolah dan ruang kelasnya yang bisa membuat siswa dan guru merasa betah di dalam kelas? Sudahkah tiap kelas di Indonesia yang beriklim tropis dipasangi AC, sehingga mereka yang ada di dalam ruangan tidak gerah. Berapa banyak ruang kelas yang lebih terasa sebagai ruang “sauna” dari pada ruang kelas karena panasnya. Bisa mendidih otak dan emosi bila dipaksa seharian di ruang kelas yang panas.
Ketiga, FDS menuntut tersedianya sanitasi yang memenuhi syarat dipakai oleh manusia. Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah buang air besar dan kecil. Sekarang coba kita jujur. Berapa banyak sekolah di Indonesia yang mempunyai WC siswa yang layak dipakai oleh manusia? Gak percaya, sekali-kali Anda dipersilakan mencoba WC siswa di sekolah anak Anda. Ingat, saya mengatakan WC Siswa. Sebab bukan rahasia lagi bahwa guru dan kepala sekolah diberi faslitas WC tersendiri.
Keempat, Siapa yang harus menanggung kebutuhan makan siswa. Siswa makan di kantin sekolah atau bawa bekal sendiri? Kedua hal itu jelas akan membebani keuangan orang tua siswa.
Kelima, Jam berapa siswa SD dan SMP bisa tidur siang sejenak? Apakah sekolah bisa menyediakan tempat bagi siswa SD-SMP untuk tidur siang? Sudahkah diantisipasi efek negatif anak-anak secara masal tidur siang di sekolah? Ingat, Anak SD dan SMP jelas tubuhnya sedang bertumbuh-kembang. Tanpa istirahat tidur siang yang sehat yang memadai jelas akan merugikan anak-anak.
Keenam. Bagi siswa yang beragama Islam, hari jumat adalah hari orang tua siswa mengajarkan anaknya untuk beribadah berjamaah di Masjid di sekitar tempat tinggalnya. Itu bukan hanya ibadah kepada Allah Ta’ala, tapi juga belajar secara langsung bermasyarakat dengan jamaah lainnya. Bayangkan, bila setiap hari seharian di sekolah, si anak pada akhirnya merasa asimng dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Kedelapan. Sesungguhnya sekolah didesain untuk temapt belajar-mengajar. BUKAN tempat penitipan anak.
Kesembilan. Pak Mendikbud baru sebaiknya memberi contoh kepada masyarakat menggunakan bahasa Indonesia. Apa susahnya menggunakan istilah “szekolah Sepanjang Hari” atau apa pun iyu, dibanding penggunaan istilah “Full Day School”. Yang saya lihat di koran, tampaknya sang mendikbud itu orang Indonesia, dan bahkan saat berbahasa logatnya medhok sekali, jadi mustahil tidak bisa berbaha Indonesia dengan baik, sehingga bisa menjadi contoh bagio masyarakat.
Kesepuluh. Pak Jowi, tolong tegur menteri Anda yang belum-belum sudah bikin gaduh.
Kesebelas, Pak Jokowi, tolong jangan jadikan anak-anak kami bahan percobaan oleh para pembantu Anda. Terimakasih.
Keduabelas, sudah, itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H