Datu Karim merupakan generasi kelima yang telah mengayomi suku Punan Batu. Ia merupakan orang tua asuh komunitas tersebut. Suku Bulungan telah memiliki hubungan dengan suku Punan sejak lama karena mereka adalah ahli waris yang memiliki wilayah tersebut.
Dulunya, Gunung Batu Benau menghasilkan sarang burung yang merupakan milik ahli waris Datu Sultan Maulana sehingga terjalin hubungan emosional dan ekonomi.
Sejak ratusan tahun lalu, nenek moyang suku Bulungan hidup berdampingan dengan komunitas Punan Batu hingga saat ini. Dalam hal ini, Datu Karim memainkan peran penting dalam mengedukasi dan mengubah sikap politik masyarakat.
TantanganÂ
Suku Punan Batu Benau hidup di wilayah yang terisolasi jauh dari pusat pemerintahan maupun aktivitas politik yang menyebabkan pengetahuan dan partisipasi dalam politik pun turut terbatas. Prihatin akan hal tersebut, Datu Karim menyarankan kepada KPU agar melakukan jemput bola ke Punan Batu Benau.Â
Pada pemilu sebelumnya, Suku punan harus menempuh perjalanan menggunakan perahu ketinting selama 90 menit untuk menuju lokasi Tempat Pemilihan Umum (TPS). Keterbatasan biaya akomodasi menuju tempat pemilihan membuat suku Punan kesal sehingga tidak mau mengikuti pemilihan. Ia menuturkan, Suku Punan baru mengikuti pemilihan umum pada tahun 2024.
Sisi lain, KPU Bulungan telah menyelesaikan proses pencocokan dan penelitian (Coklit) di Punan Batu Benau, Desa Sajau, Kalimantan Utara, meski akses ke wilayah tersebut sulit dan masyarakatnya masih tergolong marginal. Pihaknya optimis bahwa partisipasi pemilih di daerah ini akan mencapai 100 persen pada Pilkada 2024, mengingat pengalaman warga dalam pemilu sebelumnya yang sudah terbiasa dengan proses pemilihan. Target tahun ini tetap 100 persen partisipasi.
Datu Karim kerap melakukan edukasi tentang larangan money politik, dimana sebelumnya suku punan kerap menerima uang dari Tim sukses (Timses). Suku Punan kerap menjadi sasaran oleh tim sukses dalam konteks politik, terutama melalui praktik politik uang.
Dalam kondisi yang minim akses informasi dan pendidikan politik, komunitas seperti Punan bisa lebih rentan terhadap manipulasi. Â Tim sukses mungkin memanfaatkan situasi ini dengan memberikan insentif atau bantuan materi dalam upaya mendapatkan dukungan suara.
Praktik ini tidak hanya merusak integritas proses demokrasi, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada. Suku pedalaman yang seharusnya dilindungi hak-haknya dan diberdayakan secara berkelanjutan, justru dijadikan alat untuk kepentingan politik jangka pendek. Penting adanya upaya lebih lanjut dalam edukasi politik, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat adat agar mereka tidak lagi menjadi korban dari praktik semacam ini.Â