Hari Anak Nasional (HAN) 2024 yang mengusung tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" adalah momentum penting untuk merenungkan kondisi anak-anak di Indonesia dan sejauh mana perlindungan yang mereka terima. Tema ini menegaskan bahwa masa depan bangsa sangat tergantung pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Namun, untuk benar-benar mewujudkan tema ini, ada beberapa aspek kritis yang perlu mendapat perhatian serius.
Realitas Kekerasan terhadap Anak
Meskipun tema "Anak Terlindungi" dikumandangkan, data dari Simfoni PPA menunjukkan angka kekerasan terhadap anak yang masih tinggi. Pada tahun 2024, tercatat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, dengan korban anak perempuan sebanyak 5.552 jiwa dan anak laki-laki 1.930 jiwa. Ini menandakan bahwa perlindungan anak di Indonesia masih jauh dari ideal. Kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan paling dominan, mencapai 6.283 kasus, menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap anak masih sangat lemah.
Di balik perayaan HAN setiap tanggal 23 Juli, pemerintah seringkali menyampaikan berbagai pencapaian mereka dalam mengatasi permasalahan anak melalui berbagai media. Di tengah sorotan ini, masih terdapat berbagai persoalan yang luput dari perhatian pemerintah. Faktanya, kasus kekerasan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Lantas, apa yang menjadi penyebab meningkatnya angka kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun?
Ketidakmampuan ekonomi menjadi pemicu utama kekerasan dalam rumah tangga, yang berdampak langsung pada anak-anak. Tekanan sosial dan beban hidup yang berat dapat memicu orang tua bertindak kasar terhadap anak. Selain itu, akses terhadap konten-konten negatif melalui media sosial dan internet dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Anak-anak yang terpapar konten kekerasan atau pornografi cenderung menjadi korban atau pelaku kekerasan.Â
Faktor penyebab lainya ialah Lingkungan sosial yang tidak mendukung, seperti lingkungan keluarga yang tidak berfungsi dengan baik, masyarakat yang kurang peduli, dan sekolah yang tidak ramah anak, dapat meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak.
Salah satu tantangan utama adalah kurangnya implementasi yang efektif dari kebijakan perlindungan anak. Meskipun ada banyak regulasi dan program pemerintah yang dirancang untuk melindungi anak, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum seringkali tidak memadai. Kasus-kasus kekerasan sering tidak ditangani dengan serius bahkan berujung damai, dan korban kekerasan tidak mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.Â
Selain itu, edukasi mengenai hak-hak anak dan dampak kekerasan terhadap anak masih belum merata. Banyak orang tua dan masyarakat yang belum memahami pentingnya perlindungan anak dan masih memandang enteng tindakan kekerasan dalam berbagai bentuk. Di sisi lain, Akses terhadap layanan perlindungan anak, seperti layanan konseling, rehabilitasi, dan bantuan hukum, masih terbatas.Â
Banyak anak yang menjadi korban kekerasan tidak mendapatkan layanan yang mereka butuhkan untuk pulih dan melanjutkan hidup mereka dengan baik. Pemerintah perlu memastikan bahwa layanan-layanan ini tersedia dan mudah diakses oleh semua anak yang membutuhkan.