Mohon tunggu...
Oktavian Balang
Oktavian Balang Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalimantan Utara

Mendengar, memikir, dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jejak Terakhir Telinga Panjang di Desa Tengkapak, Kalimantan Utara

14 Maret 2024   10:10 Diperbarui: 14 Maret 2024   14:21 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iyun Anye menunjukkan tattonya (Dokpri)

Pengantar 

Telinga panjang, sebuah tradisi kuno yang menghiasi sejarah dan budaya masyarakat suku Dayak yang hampir lenyap dari perbendaharaan warisan budaya kita.

Fenomena ini tidak hanya sekadar tentang bentuk fisik yang membedakan, tetapi juga merupakan simbol kekuatan, kecantikan, dan identitas sosial bagi masyarakat yang mengamalkannya.

Dalam upaya untuk meresapi lebih dalam akan nilai-nilai dan makna yang terkandung di balik telinga panjang, para penulis, peneliti maupun penggiat budaya mencari keberadaan telinga panjang di masing-masing penjuru Kalimantan guna merangkai kembali cerita-cerita lama, mencari sisa-sisa tradisi yang kian pudar, dan berupaya memahami konteks sosial yang membentuknya.

Kisah-kisah tentang telinga panjang membawa kita pada refleksi tentang bagaimana perubahan zaman dan pengaruh luar telah mengubah pola pikir dan praktik budaya di kalangan masyarakat suku Dayak.

Namun, di tengah laju perubahan ini, ada suara-suara yang tegar menolak kehilangan jejak tradisi. Mereka berdiri sebagai penjaga terakhir, menjaga bara kebudayaan agar tidak padam di tengah arus modernisasi yang menghantam.

Gapura Desa Tengkapak (Dokumentasi Pribadi)
Gapura Desa Tengkapak (Dokumentasi Pribadi)

Sejarah Desa Tengkapak

Penulis memulai perjalanan mencari keberadaan "Telinga Panjang" yang berada di RT 05, Desa Tengkapak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara pada Selasa, 31 Oktober 2023.

Diketahui Desa Desa Tengkapak merupakan salah satu wilayah yang berada di Kecamatan Tanjung Selor mempunyai luas wilayah 12.700 Ha dengan jumlah penduduk 1.055 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga 301.

Desa tengkapak dahulunya masih kosong dan di tutupi semak belukar. Kemudian pada tahun 1974 desa ini mulai dihuni masyarakat Desa Jelarai Selor yang letaknya di hilir Desa Tersebut.

Penamaan Desa Tengkapak berasal dari pilhan kata "Sungai Kapak" yang memiliki arti tanah yang di lewati. Kala itu, Pemerintah Kabupaten Bulungan menganjurkan agar masyarakat Jelari Selor untuk membuka lahan perkebunan jangka panjang di Desa Tengkapak.

Kala itu, masyarakat bergotong royong mendirikan sebuah pondok berbahan kayu bulat dan daun nipah yang letaknya di pinggir sungai, yang kini merupakan RT 5.

Lantaran terkendala komunikasi dan jarak yang jauh dari Jelarai Selor, maka masyarakat berinisiatif untuk memutuskan mendirikan pemukiman di hamparan tanah Tengkapak.

Ukiran Kayu berbentuk burung enggang (Dokumentasi pribadi)
Ukiran Kayu berbentuk burung enggang (Dokumentasi pribadi)
Jika Ada Kemauan, Pasti Ada Jalan

Sebuah ukiran kayu berbentuk burung enggang di halaman Kantor Desa Tengkapak seakan menyapa penulis di tengah teriknya matahari siang itu. 

Desa yang berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Selor ini didominasi oleh masyarakat suku dayak. Ornamen kayu dengan ukiran khas dayak menghiasi bangunan, maupun sebagaian rumah masayarakat.

Ukiran Dayak (Dokpri)
Ukiran Dayak (Dokpri)
Informasi keberadaan "Telinga Panjang" diperoleh dari seorang sahabat yang kebetulan warga Desa Tengkapak. Melalui pesan pribadi di media sosial, wanita berkulit kuning langsat itu menyarankan untuk mendatangi seorang lansia yang bernama Luhung Njau yang berada di RT 05.

Untuk mengetahui keberadaan rumah Luhung Njau, penulis singgah kesebuah rumah kayu, dimana terasnya memiliki sejumlah topi saung (Topi tradisional masyarakat dayak).

Topi Saung (Dokpri)
Topi Saung (Dokpri)
"Itu rumahnya, tu dia duduk di kaki lima rumahnya," ucap perempuan bersuara parah sambil menunjuk arah rumah. Terang salah satu warga.

RT 5 merupakan daerah terujung di sepanjang jalan Tengkapak. Untuk masuk ke rumah Luhung Njau, penulis harus melewati jalan tanah yang kala itu berdebu akibat terpapar sinar matahari.

Luhung Enjau kala itu sedang bersantai di teras rumahnya. Tanpa rasa ragu, penulis menaiki 3 tangga lalu memperkenalkan diri.

"Selamat pagi, perkenalkan saya Okta, bolehkah saya memotret anda," Sontak Luhung Enjau melambaikan tangan kanannya tanda penolakan lantaran tidak fasih berbahasa Indonesia.

Luhung Enjau (Dokpri)
Luhung Enjau (Dokpri)

Sambil melemparkan senyum ramah, Luhung Enjau berlalu masuk ke dalam rumah. Selang berapa saat, seorang perempuan berumur 50 tahun keluar dari dalam rumah sambil memegang daun pintu rumahnya.

"Permisi bu, waktu sebentar buat bicara, apa saya boleh foto nenek ?"

Sambil menutup pintu, ibu itu hanya singkat berbicara kepada penulis. "Maaf saya tidak tau," Satu pertanyaan pamungkas ku lontarkan berharap ibu itu simpati. "Berapa umur neneknya bu ?, dan wanita tersebut tetap konsisten menolak keberadaan penulis.

"Maaf saya tidak tau,".

Percakapan di Teras

"Jika sudah di Jalan, Pantang Balik Badan," gumam dalam hati.

Tampak dari kejauhan, dua orang laki-laki berumur 50 tahun sedang asik bercengkrama di Teras rumahnya.

Mencoba keberuntungan, sepeda motor pun ku hentikan di depan rumah orang tersebut. 

"Permisi, saya Okta Balang, Saya jurnalis yang memiliki ketertarikan dengan "Telinga Panjang " terang penulis.

"Saya punya mamak, kebetulan dia juga telinga panjang dan bertatto. Tapi dia sudah tua pasti kamu jijik liatnya," ungkap Unggek.

Dengan antusias, penulis meminta izin untuk mendokumentasikan si "Telinga Panjang" . Dengan ramah Ungek yang merupakan anak dari Telinga Panjang mempersilahkan untuk bertemu dengan ibunya.

Bergumam dalam hati, bertemu dengan "Telinga panjang" adalah keberuntungan.

Iyun tengah bersantai (Dokpri)
Iyun tengah bersantai (Dokpri)

Tatto dan Telinga Panjang

"Telinga panjang" itu bernama Iyun Anye, usianya kini mencapai 1 abad. Ia memiliki 9 orang anak. Diketahui, Iyun merupakan warga tertua di Desa Tengkapak. Sebelum menetap di desa tersebut, ia merupakan warga Jelarai Selor. Iyun merupakan masyarakat Dayak Uma Kulit yang merupakan rumpun Apo Kayan yang tersebar mulai Kalimantan Timur, Kalimantan Utara hingga Serawak, Malaysia.

Dari bilik pintu, Iyun hanya terduduk diam. Tak banyak yang ia lakukan di umurnya yang kini menginjak 100 Tahun. Selain berbaring, makan, dan meregangkan badan.

Di luar kamar Ungek menjelaskan kepada Penulis,

"kalau ngomong sama mamak harus kencang-kencang, pendengarannya kini menurun,' bisik Ungek.

Iyun Anye (Dokpri)
Iyun Anye (Dokpri)

Dari dalam kamar, Iyun hanya melihat ke arah kami tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Iyun menggunakan baju batik dan celana bermotif polkadot. Rambutnya kini tak hitam lagi, Uniknya, sekalipun kulitnya telah keriput, namun tinta tatto yang ia miliki tidak pudar. 

Bagi masyarakat Dayak Kenyah, tradisi memanjangkan telinga menandakan sebuah kecantikan serta kekuatan. Di kedua pergelangan tangannya terdapat tatto motif ukiran dayak.

Dalam bahasa Uma Kulit, Tato artinya Betik "Bettik" berarti Tatto. Kini, keindahan yang melekat di tubuhnya menciut mengikuti perkembangan usiannya. 

Tatto milik Iyun Anye (Dokpri)
Tatto milik Iyun Anye (Dokpri)
Tatto bagi masyarakat Dayak Uma Kulit memiliki makna yang kompleks dan beragam, mencakup aspek budaya, spiritual, dan identitas suku. 

Beberapa makna yang terkait dengan tatto ini antara lain Simbol Kedewasaan dan Prestasi. Identitas Suku. Perlindungan dan Kekuatan, Pelestarian Tradisi dan Budaya serta Ekspresi Pribadi dan Kreativitas

Iyun Anye menunjukkan tattonya (Dokpri)
Iyun Anye menunjukkan tattonya (Dokpri)

Kesehatan Telinga Panjang

Iyun Anye kerap mengeluhkan sakit di belakang badannya. "Sekarang saya memelihara bayi,"ucap unggek

Ungek merupakan sosok yang setia yang tabah merawat orang tuanya yang sudah tua. Sikap tersebut menjadi refleksi penulis tentang bagaimana merawat orang tua di usia yang sudah tidak produktif lagi.

Usia senja menjadi kendala penulis untuk menggali informasi tentang Tatto dan Telinga Panjang. Iyun sudah tidak kuat lagi berbicara, apalagi mendengarkan.

Penulis tidak memiliki keberanian untuk berbicara dengan nada suara nyaring ke Iyun. Syukurnya, Keberadaan Ungek dapat membantu setiap pertanyaan yang dilontarkan.Bukan terkait tatto dan telinga panjang.

Untuk dapat berkomunikasi dengan Iyun Anye, Unggek harus berteriak nyaring di telinga ibunya yang kini berusia 100 tahun.

Rahasia Umur Panjang

Lantas, apa rahasia umur panjang Iyun Anye?

Unggek menceritakan bahwa ia tidak pernah memakan micin. Sejauh ini gula maupun tekanan darah Iyun di nilai normal oleh dokter.

"Makanan keluarga kami sederhana, sayur yang kami ambil tidak menggunakan pupuk yang berbahan kimia," terangnya.

Tradisi tergerus moderenisasi.

Unggek mengisahkan, pendidikan dan kebijakan pemerintah memaksa wanita bertelinga panjang nekat memotong telinga panjang secara masal. Selain itu, lantaran dinilai berbeda dan unik, telingga panjang rela melepaskan tradisi nenek moyang mereka.

"Mereka mau sekolah dan ikut orang, mungkin gengsi atau malu dengan telinganya," terang Unggek.

Sekalipun Iyun berbeda dengan masayrkat lainnya, ia tetap bangga jika orang tuannya masih menjaga budayanya.

"Saya tidak malu, dia orang tua saya. Tatto dan Telinga adalah budaya saya," singkapnya.

Iyun Anye kerap menjadi perhatian masayrakat ketika sedang berada di tempat umum. Bahkan sampai ada yang nekat mengerumini Iyun hanya untuk berswafoto. Unggek mengaku jika Iyun jarang menceritakan masa lalunya terkait Telinga Panjang dan Tatto.

Bla'ang (Dokpri)
Bla'ang (Dokpri)

Unggek menunjukkan Bla'ang (Dokpri)
Unggek menunjukkan Bla'ang (Dokpri)

Di akihr percakapan, Unggek menunjukkan bla'ang kepada penulis. Benda tersebut merupakan aksesoris yang menyerupai telinga panjang. Hiasan tersebut terbuat dari kawat listrik yang di ikatkan pada seutas kain. Bla'ang kerap digunakan sebagai hiasan disetiap acara di Desa Tengkapak.

"Biar kelihatan dayaknya," singkapnya

Iyun dan Luhung merupakan generasi terakhir yang memiliki telinga panjang di Desa Tengkapak. Artinya, tradisi tersebut terancam punah. Penggalian dan pengumpulan informasi maupun dokumentasi sangat diperlukan agar generasi muda dapat mengenang tradisi tersebut.

Usai mendokumentasikan Iyun Anye, penulis berinisiatif menjadikan hasil foto tersebut menjadi sebuah baju dengan gambar wajah si Telinga Panjang. Dari hasil penjualan tersebut, penulis akan menyisihkan sebagaian hasil penjualan untuk didonasikan ke Telinga Panjang.

Pegawai DPMD Kabupaten Bulungan berdonasi baju Iyun Anye (Dokpri)
Pegawai DPMD Kabupaten Bulungan berdonasi baju Iyun Anye (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun