Selepas mendapatkan paraf dari dosen penguji 2, aku bergegas pulang dengan menembus ritik hujan yang tak kunjung usai pagi tadi. Biasanya aku naik sepeda kemanapun, berhubung ada  janji dengan Dosen dan Gerimis pula, sekali-kali lah naik motor biar ngak ngaret.
Sengaja kulewati jalan pemukiman warga yang sempit dan banyak lubang yang di biarkan oleh pemerintah setempat, tujuanku guna membeli Kopi bubuk hitam 135gr dan Gula 1 kg untuk menemaniku saat berkutat dengan Skripsi.
Singkat cerita, ku lihat pemandangan yang meresahkan bagiku, dengan entengnya seorang pengendara roda empat membuang bungkus Plastik tisu ke jalan, sontak aku memberikan bahasa non verbal terhadap orang itu dengan menunjuk ke arah sampah di buangnya.
Dengan wajah geram, orang itu juga mengisyaratkan untuk saya berputar dan berhenti, aku dengan polosnya berputar sambil mengambil kembali bungkus plastik tisu guna mengembalikan kepemilik sampah tersebut. dengan wajah geram orang itu berjalan kearah ku, dan, kepalan tangan kiri mendarat ke helem full face yang ku kenakan saat ini. Akibatnya , kaca helem itu jatuh ke aspal yang berlubang.
Sontak aku kaget, dan puji tuhan, aku yang tidak pandai dalam mengontrol emosiku sudah bisa Tenang menghadapi situasi ini. Bisa saja aku melawan dengan kekerasan, namun, teringat dalam
 Amsal 16:32 menyebutkan "Orang yang sabar melebihi Seorang Pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota".
Di pinggir jalanan yang berlubang itu, masih kami berdebat soal siapa yang salah dan siapa yang benar tanpa memperdulikan orang yang melintasi jalan tersebut. orang itu bersikeras mempertahankan argumennya, bahwa saya yang menegur dengan cara yang tidak sopan, sementara, aku, tetap bersikeras bahwa aku hanya menunjuk ke arah sampah tersebut.
Terdengar ucapan Fals di telingaku, " saya aparat, saya akan telpon anggota saya untuk jemput kamu" mungkin dia bermaksud mengertakku, agar ciut mentalku, namun, sambil ku pegang tangannya dan ku berkata " oh, jadi bapak aparat. Setahu saya, aparat itu tidak semena-mena dalam memperlakukan masyarakatnya.
Dia langsung terdiam. Saya tau, dia berusaha mengintimidasi saya dengan metode  lama seperti mengaku ngaku aparat, mengaku orang terdekat pejabat atau yang lain, dan sekali lagi saya ngak peduli akan hal itu. Saya pikir dia sudah kehabisan akal dengan mengucapkan hal tersebut.
Jujur, saya sudah memafkan orang tersebut, sekalipun bogem mentah mendarat di helm, namun, aku tetap lah aku, jiwa usil ku masih meronta-ronta, bagiku, untuk mendapatkan tikus, kita harus pergi kesarangnya, artinya, bagaimana caranya agar aku bisa memahami orang ini dan mengetahui lingkungan sekitarnya.Â