Mohon tunggu...
Oktavian Balang
Oktavian Balang Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalimantan Utara

Mendengar, memikir, dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka Sakit, Seharusnya Tidak Berkeliaran Bebas di Jalanan

8 Januari 2020   10:20 Diperbarui: 8 Januari 2020   10:29 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sepulang bekerja, kebiasaan saya mengamati lingkungan sepanjang perjalanan saya untuk mencari sebuah moment ya g menurut saya langka,unik,dan menarik, ya hitung-hitung melepas penat sehabis bekerja,

Di tengah jalan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan, Seketika sepeda motor yang saya gunakan saya hentikan demi mengabadikan moment ini.

Sungguh ironis, seorang yang sedang mengalami gangguan jiwa bisa berkeliaran bebas di jalanan, tanpa baju dia tetap santai tanpa merasakan Tsengatan panas teriknya matahari borneo. Terbesit di dalam pikiran saya, mereka makan dimana, tinggal dimana, BAB di mana, secara fisik mereka tidak seperti orang yang sakit sebelumnya, fisik mereka sehat, bahkan lebih kuat dari manusia normal.

Bagi sebagian masyarakat, orang yang sakit jiwa  ini sangat menganggu pemandangan yang ada. Bayangkan, di saat "orang ini" begitu saya menyebutkan sedang berdiri di depan warung makan, dengan sikap seperti ilustrasi yang di atas saya yakin mereka yang berada di warung tersebut sangat terganggu dengan pemandangan tersebut.

Syukurnya pedagang tersebut menanggapinya dengan cara bijak, bergegas si pemilik warung tersebut memberikan bungkusan nasi ke "orang ini" dengan alasan kemanusiaan. Disisi lain, sebagian orang, bahkan keluarga mereka sendiri memperlakukan mereka secara tidak manusiawi dan tidak adil dengan cara mengurung, bahkan memasung mereka.

Ini adalah cara dan solusi yang benar bagi "mereka"  untuk menangani keluarga yang sedang mengalami sakit jiwa, yang bertujuan agar "orang ini" tidak menganggu ketertiban umum dan membahayakan seseorang.

Namun bila kita pandang dari sisi kemanusiaannya, cara ini sangat tidak layak dan tidak pantas untuk menangani keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa, karna pada dasarnya manusia pun medapatkan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan sebagaimana di atur di dalam peraturan undang-undang di bawah ini:

1.Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ( "UUD 1945")

"Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain."

2.    Pasal 28I ayat (1) UUD 1945

"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun."

3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ("UU HAM")

(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya

(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin

(3) Setiap orang berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat

Bahkan orang yang mengalami gangguan jiwa di atur hak-haknya di dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi:

"Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara."

Orang gila dapat dikatakan cacat mental. Ini karena berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, cacat berarti kekurangan yg menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yg terdapat pd badan, benda, batin, atau akhlak), sedangkan mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.

Kemudian jika kita melihat arti dari "gila", yaitu sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal). Ini berarti "gila" dapat berarti cacat mental karena adanya kekurangan pada batin atau jiwanya (yang berhubungan dengan pikiran).

Dapat kita ketahui,bahwa ada peraturan dan perundang-undangan yang mengatur bahwa bahwa orang yang sedang mengalami gangguan jiwa pun wajib mendapatkan perawatannya sehingga dapat kembali berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat,dan semua itu di biayai oleh negara.

Di dalam UU kesehatan pun mengatur Mengenai hak-hak penderita gangguan jiwa juga dirumuskan dalam Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan") yang berbunyi:

Pasal 148 ayat (1) UU Kesehatan:

"Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara."

Pasal 149 UU Kesehatan:

"Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan."

Disini keluarga sangat berperan penting dalam penanganan  bilamana ada keluarga mereka yang sedang mengalami gangguan jiwa.tindakan dengan membawa "orang ini" ke pusat pelayanan kesehatan demi mendapatkan pengobatan dan perawatan sehingga mereka kehidupan mereka layak.

Namun bila pihak keluarga pun masih belum melakukan tindakan dan tetap membiarkan "orang ini" terpasung dan terkurung, maka keluarga bisa di jerat di Pasal 333 KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana):

(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(4) Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.

Walaupun tidak boleh dikurung atau dipasung, akan tetapi bukan berarti keluarga dapat membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas. Karena jika keluarga membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas, keluarga dapat juga dijerat dengan Pasal 491 butir 1 KUHP:

"Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga."

Secara konseptual, jelas bahwa peraturan dan perundang-undangan sangat tegas dan jelas dalam mengatur "orang ini" agar mendapatkan perlindungan,keamanan sesuai dengan hak asasi manusia.

Namun didalam penerapannya,sangat sulit saat di praktekkan,toh sampai sekarang masih saja masih ada "mereka" yang berkeliaran bebas.dan tidak ada peran pemerintah terkait dalam penanganan mereka.

Pemandangan ini tetaplah menjadi kewajiban kita sebagai masyarakat, pemerintah, serta peranan keluarga, seharusnya mereka di tempatkan di tempat yang layak, yang di dalamnya terdapat beberapa fasilitas yang layak huni, serta kebutuhan sandang dan pangan pun wajib di penuhi.

Ya, Rumah sakit jiwa adalah rumah mereka,sebuah tempat yang layak,yang di dalamnya terdapat upaya perawatan dan sebuah tanda bukti pemerintah serius dalam menangani pemandangan ini.

Sekian dan terima kasih.
Mohon maaf atas ke amatiran saya,

Semoga bermanfaat .

Sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun