Masih ingatkah dengan semboyan Ki Hajar Dewantara? Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Ing ngarso itu artinya didepan, Sung berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sung Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang disekitarnya.Â
Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan. Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungannya.
Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan Handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat.
Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figur seseorang yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang-orang disekitarnya dapat merasa situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat.
Bagaimana dengan kita, Widyaiswara? Jangan lari dari kenyataan bahwa widyaiswara juga memiliki peran dalam pembangunan pendidikan anak bangsa. Widyaiswara juga pelaku pendidikan tak seobahnya seorang guru. Sudahkah kita berbenah diri? Sudahkah kita menerapkan ketiga semboyan Ki Hajar Dewantara?
Kebiasaan yang terjadi sehari-hari yang masih banyak ditemukan bahwa pelaku-pelaku pendidikan, belum sepenuhnya mengimplementasikan semboyan Ki Hajar Dewantara ini dalam praktik pendidikan. Nah, hal ini sesungguhnya menjadi cambuk bagi para pelaku pendidikan yang kini sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan penguatan pendidikan karakter.Â
Andaikata ketiga semboyan Ki Hajar Dewantara ini dapat diimplementasikan dengan baik, dapat dibayangkan berapa besar penguatan karakter anak bangsa. Penguatan pendidikan karakter tidak akan terealisasi melalui perbaikan kebiasaan, tanpa diteladani melalui perbaikan kebiasaan pelaku pendidikan. Widyaiswara harus menjadi suri tauladan bagi peserta diklat, baik ketika di kelas maupun di luar kelas.
Kembali pada pertanyaan tentang bagaimana strategi seorang widyaiswara untuk melakukan pembinaan sikap dan penguatan karakter kepada peserta diklat. Seorang widyaiswara seyogyanya mampu mengimplementasikan semboyan Ki Hajar Dewantara baik di kelas maupun di luar kelas, khususnya semboyan pertama, Ing Ngarso Sung Tulodo. Dalam pendidikan nilai dan spritualitas, permodelan atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa di gunakan. Hal ini mengingat karakter merupakan prilaku, bukan pengetahuan sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh pihak didik, maka harus di teladankan bukan diajarkan.
Dalam pembinaan sikap dan penguatan karakter sangat dibutuhkan sosok yang dapat dijadikan sebagai model. Sebenarnya model dapat ditemukan oleh peserta diklat di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model pada peserta diklat maka akan semakin mudah dan efektiflah pembinaan sikap dan penguatan karakter tersebut. Peserta diklat membutuhkan contoh nyata, bukan yang tertulis pada buku atau sifatnya hayalan. Lewat pembelajaran modelling akan terjadi internalisasi berbagi prilaku moral dan aturan-atruran yang lainnya untuk tindakan yang lebih baik.
Strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi keteladan internal (internal modelling) dan keteladanan eksternal (external modelling). Ketelanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang dilakukan oleh pendidik sendiri dalam proses pembelajaran. Sebagai widyaiswara, keteladanan internal ini sangat penting.Â
Internalisasi karakter dan sikap akan lebih efektif jika keteladanan ditunjukkan langsung oleh seorang widyaiswara. Keteladanan dimaksud bukan hanya ketika kontak kelas, namun juga di luar kelas.Â