Mohon tunggu...
Bakrie Ahmad Faada
Bakrie Ahmad Faada Mohon Tunggu... Ilmuwan - Yakusa

Pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Globalisasi dan Praktek Pemburu Rente pada Kebijakan Impor Indonesia

27 Januari 2020   01:50 Diperbarui: 27 Januari 2020   02:11 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi perang dagang antara dua negara adidaya yakni Amerika Serikat dan Tiongkok memaksa persaingan ketat diantara keduanya. Tidak hanya persaingan di bidang ekonomi, melainkan juga dalam persaingan sosial dan politik. 

Sekilas mirip dengan cold war yang terjadi antara tahun 1941 hingga tahun 1991 dengan mempertontonkan pertarungan antara Amerika Serikat vs Uni Soviet.

Baik Tiongkok maupun Amerika Serikat masing-masing memperebutkan pengaruh di mata dunia internasional. Target utama perebutan pengaruh kedua negara penguasa ekonomi dunia itu adalah negara-negara new emerging country, tak terkecuali Indonesia. 

Telah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia kini memiliki hubungan diplomasi yang mesra dengan Tiongkok ditandai dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 27 April 2019 untuk keterlibatan dalam ultra mega proyek milik Tiongkok bernama One Belt One Road (kini berubah menjadi Belt and Road Initiative). 

Proyek tersebut juga penulis tengarai merupakan upaya soft power diplomacy yang dilakukan oleh Tiongkok untuk mengurangi pengaruh Amerika Serikat terhadap Indonesia.

One Belt One Road atau Belt and Road Initiative merupakan pengejawantahan mimpi Tiongkok dalam mengengga dunia. Bagaimana tidak? Dari sisi anggaran, dana yang disiapkan oleh negara tirai bambu kepada anggota proyek ini sebesar US$150 Miliar atau setara Rp 2.137,6 Triliun per tahun. 

Dana sebesar itu dapat dipinjam negara peserta untuk membangun infrastruktur mereka. Sementara dari sisi cakupan proyek ini, mengutip laporan Business Insider, sebanyak 70 negara Asia, Eropa, dan Afrika dilintasi oleh proyek-proyek infrastruktur ini.

Keterlibat Indonesia sebagai peserta proyek Belt and Road Initiative sudah barang tentu menaikkan secara signifikat utang luar negeri Indonesia terhadap Tiongkok. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah, dimana outstanding utang Indonesia terhadap Tiongkok pada tahun 2018 telah mencapai sekitar US$ 1315 Miliar.

Sementara itu tingginya pertumbuhan utang Indonesia kepada Tiongkok dampaknya juga telah dirasakan, utamanya pada sektor manufaktur (Hanafi, 2018).

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Selain pengaruhnya terhadap sektor manufaktur, semakin intimnya pengaruh Tiongkok terhadap Indonesia juga dimanfaatkan bagi sekelompok oknum pemburu rente. 

Praktik pemburu rente terasa betul kehadirannya, terutama pada sektor perdagangan barang impor. Sakin kuat kehadiran dan dampaknya, sampai-sampai Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyinggung secara keras tentang praktik mafia-mafia impor.

Seperti pada kasus impor bawang putih, AC, dan impor buah pir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor konsumsi melonjak 42,15% dari Juni sampai Juli 2019. Khusus pada impor bawang putih, BPS juga mencatat, lonjakan impor sebanyak 86, 12 juta ton pada Juli 2019. Adapun sepanjang Januari-Juli 2019, impor bawang putih telah mencapai 214,67 juta ton. 

Dengan besarnya pasokan bawang putih yang masuk, tentunya akan mempengaruhi harga di bawang putih di pasaran. Pihak yang paling terdampak sudah pasti petani. 

Tingginya jumlah peredaran bawang putih, sudah pasti akan menurunkan harga, utamanya di tingkat petani. Ini baru satu contoh tentang bawang putih, belum lagi kasus-kasus lainnya. Penulis mencurigai adanya praktik penjualan lisensi impor oleh para pemburu rente yang hanya memikirkan keuntungan semata baginya tanpa memikirkan nasib pelaku UMKM.

Maka dari, itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap stakeholder  yang terlibat dalam kebijakan impor. Pengawasan tersebut harus dilakukan secara sinergis dan penuh integritas diantara lembaga-lembaga negara penegak hukum, seperti Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan sebagainya. 

Karena apabila dibiarkan terlalu sering, akan semakin meningkatkan Current Account Deficit (CAD) Indonesia. Selain itu, Indonesia harus mulai beranjak ke model negara produsen, bukan hanya menjadi target pasar bagi negara-negara maju. 

Potensi maritim juga harus ditinggkatkan dengan menyediakan angkuta kereta ke pelabuhan dari area-area Industri dan pertanian, sehingga akan terjadi efisiensi dalam pengiriman logistik dan mengurangi alasan impor karena biaya shipping dari Tiongkok lebih murah ketimbang mengambil dari produksi dalam negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun