Situasi perang dagang antara dua negara adidaya yakni Amerika Serikat dan Tiongkok memaksa persaingan ketat diantara keduanya. Tidak hanya persaingan di bidang ekonomi, melainkan juga dalam persaingan sosial dan politik.Â
Sekilas mirip dengan cold war yang terjadi antara tahun 1941 hingga tahun 1991 dengan mempertontonkan pertarungan antara Amerika Serikat vs Uni Soviet.
Baik Tiongkok maupun Amerika Serikat masing-masing memperebutkan pengaruh di mata dunia internasional. Target utama perebutan pengaruh kedua negara penguasa ekonomi dunia itu adalah negara-negara new emerging country, tak terkecuali Indonesia.Â
Telah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia kini memiliki hubungan diplomasi yang mesra dengan Tiongkok ditandai dengan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 27 April 2019 untuk keterlibatan dalam ultra mega proyek milik Tiongkok bernama One Belt One Road (kini berubah menjadi Belt and Road Initiative).Â
Proyek tersebut juga penulis tengarai merupakan upaya soft power diplomacy yang dilakukan oleh Tiongkok untuk mengurangi pengaruh Amerika Serikat terhadap Indonesia.
One Belt One Road atau Belt and Road Initiative merupakan pengejawantahan mimpi Tiongkok dalam mengengga dunia. Bagaimana tidak? Dari sisi anggaran, dana yang disiapkan oleh negara tirai bambu kepada anggota proyek ini sebesar US$150 Miliar atau setara Rp 2.137,6 Triliun per tahun.Â
Dana sebesar itu dapat dipinjam negara peserta untuk membangun infrastruktur mereka. Sementara dari sisi cakupan proyek ini, mengutip laporan Business Insider, sebanyak 70 negara Asia, Eropa, dan Afrika dilintasi oleh proyek-proyek infrastruktur ini.
Keterlibat Indonesia sebagai peserta proyek Belt and Road Initiative sudah barang tentu menaikkan secara signifikat utang luar negeri Indonesia terhadap Tiongkok. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah, dimana outstanding utang Indonesia terhadap Tiongkok pada tahun 2018 telah mencapai sekitar US$ 1315 Miliar.
Sementara itu tingginya pertumbuhan utang Indonesia kepada Tiongkok dampaknya juga telah dirasakan, utamanya pada sektor manufaktur (Hanafi, 2018).
Praktik pemburu rente terasa betul kehadirannya, terutama pada sektor perdagangan barang impor. Sakin kuat kehadiran dan dampaknya, sampai-sampai Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyinggung secara keras tentang praktik mafia-mafia impor.