Mohon tunggu...
Bakaruddin Is
Bakaruddin Is Mohon Tunggu... -

Saya pensiunan PNS di Departemen Pertanian, pendidikan terakhir Faculty of Agriculture and Forestry, Univesity of Melbourne, Australia. Saat ini giat dalam kegiatan Dakwah dan Tabligh serta menjalankan bisnis Air Oxy http://www.my-oxy.com/?id=rudinis dan kalung/ gelang biomagnet http://www.biomagwolrd.com 0815 910 5151

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yogya Menggugat Referendum, Kenegarawanan SBY Dipertanyakan: Bagian Kedua

1 Desember 2010   06:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta Merdeka Saja

Konflik pemerintah pusat dengan pemerintah DI Yogyakarta semakin meruncing. Paguyuban Dukuh se-DIY "Semar Sembogo" bahkan bakal menggelar kongres rakyat. Menurut Ketua Paguyuban ini, Sukiman Hadiwiyoyo, kongres itu memiliki target mendudukkan kembali Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY secara de facto. "Kalau penetapan versi rakyat tidak diterima, kami akan laporkan pemerintah pusat ke Mahkamah Internasional," katanya, Senin (29/11).

[caption id="attachment_75490" align="alignleft" width="300" caption="Keraton Yogyakarata"][/caption] Menurut Sukiman, jika keinginan mereka diabaikan pemerintah pusat, jalan terakhir yang ditempuh adalah menggelar referendum. Tujuan referendum bukan untuk menentukan setuju terhadap penetapan atau pemilihan. "Referendum itu untuk menentukan: penetapan atau keluar dari NKRI," ujar Sukiman. Hal senada dikemukakan Ketua Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja) Sunyoto. Ia meminta Presiden memahami historis Yogyakarta. "Kalau tidak mau dan pusat ngotot ingin pemilihan, ya, Yogyakarta merdhika wae," katanya. Langkah selanjutnya, pada 1 Desember, elemen masyarakat Yogyakarta yang terdiri atas paguyuban dukuh, lurah, becak wisata, Forum Persatuan Umat Beriman, Jogja Bangkit, dan Gentaraja kembali mendatangi DPRD DIY untuk menanyakan sikap anggota Dewan. Selain itu, mereka akan menggalang massa ke Jakarta untuk mendesak dilakukan penetapan. Menurut Sekretaris Gentaraja Aji Bandana, sudah saatnya masyarakat Yogyakarta tak tinggal diam atas pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyakiti hati masyarakat Yogyakarta. "Pada 2008 (Yudhoyono) pernah menyebut Yogyakarta seperti ketoprak dan pada 2010 menyebut monarki," katanya. "Saatnya kami maju secara fisik dengan ngelurug ke Jakarta."

Putra Jawa Kelahiran Sumatera Dukung Sultan

Forum paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) bertekad mendukung kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Yogyakarta sekaligus kepala daerah sebagaimana Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

Pujakesuma juga menolak istilah monarki yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pujakesuma Choking Soesilo Sakeh, warga Jawa kelahiran Sumatera akan segera berkoordinasi dengan warga Yogya merumuskan sikap bersama yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat.

"Pujakesuma akan melakukan rapat dan menelurkan sikap mendukung Sri Sultan HB X dan tetap mempertahankan hak keistimewaan Yogyakarta dengan menetapkan Sri Sultan sebagai gubernur. Itu artinya kami menolak pemilihan gubernur dengan cara yang lazim dilakukan negara ini demi menegakkan hak keistimewaan Keraton Yogya," kata Choking kepada Tempo, Selasa (30/11) malam ini.

Menurut Choking, Pujakesuma akan menggalang dukungan yang lebih luas dari warga Jawa di luar Sumatera Utara. "Pernyataan SBY itu hanya akan merugikan pemerintahan terlebih popularitas SBY yang kian merosot,"ujar Choking.

Selain tokoh masyarakat Jawa di Sumatera, menurut Choking, pendiri Pujakesuma salah satunya Sri Sultan HB IX. "Sri Sultan HB X tercatat sebagai penasihat Pujakesuma saat ini. Beliau adalah teladan bagi warga Jawa dan tidak feodalistik. Salah besar jika monarki yang disebut Presiden menyamakan dengan bentuk pemerintahan kerajaan. Kami menolak pernyataan itu dan tetap mendukung Sri Sultan HB X," ujar Choking. Masyarakat Adat Sunda Mendukung Yogya Jika pemerintah ngotot menyetujui RUU Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Baresan Olot Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda mendukung langkah Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk membawa masalah tersebut ke Mahkamah Internasional. [caption id="attachment_75888" align="alignleft" width="300" caption="Demo masyarakat Yogya"]

1291336047744709781
1291336047744709781
[/caption] Sekretaris Jenderal Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda Eka Santosa mengatakan, jika RUUK tersebut disahkan, berarti pemerintah sendiri telah melanggar konstitusi yakni UUD 1945. Pada Bab VI tentang Pemerintah Daerah, pasal 18 B mengatur tentang posisi daerah istimewa yaitu Aceh dan Yogyakarta.

Mendapat dukungan moral dari masyarakat adat Sunda dan Baresan Olot Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku terharu dan tersanjung. Sultan memastikan jika dukungan tersebut menjadi dorongan moril untuk rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masyakat adat tatar Sunda tidak akan dan tidak pernah mempermasalahkan posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditetapkan dan bukan dipilih secara langsung oleh rakyatnya. Pasalnya, masyarakat adat Sunda memahami sejarah dan konstitusi yang ada di Indonesia.

SBY Tak Miliki Kearifan Seorang Negarawan

Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin berharap Presiden SBY memiliki kearifan konstitusi dalam melihat kenyataan tentang kekhusan atau keistimewaan sebuah daerah.

[caption id="attachment_75495" align="alignleft" width="150" caption="Presiden SBY"]

1291185568234905276
1291185568234905276
[/caption] Presiden SBY, menurutnya, seharusnya memahami bahwa Pasal 18 UUD 45 yang mengatur mengenai pemilihan gubernur, bupati, dan walik ota serta Pasal 18 b UUD 45 yang mengatur mengenai kekhususan suatu daerah. Kedua pasal konstitusi tersebut tidak perlu dibenturkan. SBY dengan pernyataannya berpegang pada aturan Pasal 18 UUD 45 mengenai pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, memang tidak sepenuhnya disalahkan. Namun, ada Pasal 18 b UUD 45 yang juga mengatur tentang keistimewaan satu daerah. Kedua pasal ini tidak seharusnya dibenturkan oleh seorang presiden, karena kedua pasal itu bisa berdiri masing-masing,†ujar Irman kepada wartawan di Jakarta, Selasan (30/11). Kekhususan Yogyakarta, ucapnya,diakui oleh UUD. Kehususan Yogyakarta selama ini sudah diatur bahwa gubernur berasal dari kraton atau yang menjabat otomatis Sultan Yogyakarta dan itu sama sekali tidak bertentangan dengan UUD. UUD, menurutnya, sejak awal telah menyadari ada peristiwa dan kekhususan yang tidak bisa masuk ke ranah perdebatan politik yang sensitif mengenai Yogyakarta, karena hal itu adalah warisan budaya yang memiliki sejarah tersendiri, serta merupakan kebutuhan dari sebuah daerah. Hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan demokrasi. KeistimewaanYogyakarta Sejarawan Universitas Gadjah Mada Prof. Djoko Suryo mengatakan Indonesia memiliki tiga wilayah yang dianggap Istimewa, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Aceh, dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, yang masing-masing mempunyai keistimewaan yang berbeda. “DIY, istimewa pada kepemimpinannya. Yakni Sultan sebagai raja sekaligus gubernur,” kata Djoko. Karena kedudukan sebagai sebagai raja dan jabatan sebagai gubernur melekat, maka , jabatan gubernur tersebut langsung ditetapkan atau diangkat, bukan ditetapkan melalui Pemilukada. Sedangkan DKI Jakarta, kata dia, memiliki keistimewaan sebagai wilayah yang menjadi ibu kota negara. Karena keistimewaan itu maka walikota DKI Jakarta tidak dipilih, melainkan ditetapkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan. Sementara keistimewaan Aceh terletak pada penerapan hukum syariah Islam. Keistimewaan Aceh, selain memiliki keistimewaan secara historis, kekhususan Aceh lahir lantaran konflik dengan negara yang berkepanjangan. Sosiolog UGM, Arie Sudjito menilai keistimewaan tiga daerah itu merupakan implementasi dari otonomi khusus. Sedangkan keistimewaan DIY, kata Arie, muncul karena beda argumen. Sebenarnya, kata dia, posisi kraton bisa dimasukkan ke dalam tata pemerintahan. Sayangnya, sebelum RUUK DIY rampung, Sejarah Keistimewaan DIY Keistimewaan DIY merupakan kontrak politik antara Presiden Soekarno sebagai representasi pemerintah pusat, dengan Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Merujuk ke belakang, Sultan HB IX pada 5 september 1945 mengeluarkan dekrit yang isinya tentang integrasi Kesultanan Yogya ke RI. Pada tanggal yang sama, dekrit serupa juga dikeluarkan Adipati Pakualam VIII. Tak hanya itu, Sultan HB IX juga merelakan sebagian wilayah Mataraman seperti Madiun, PAcitan, Tulungagung dan Trenggalek. Sebagai balasannya, Presiden Soekarno mengeluarkan piagam penetapan tentang kedudukan bagi kedua penguasa tahta di Kesultanan dan Kadipaten Pakualam. Selanjutnya, DIY secara resmi dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950. Pembentukan Daerah istimewa pun bukannya tanpa dasar karena Pasal 18 UUD 1945 memungkinkan pembentukan daerah istimewa. Dalam UU pembentukan DIY, wilayah DIY meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan Paku Alaman. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1948 juga mengatur tentang penetapan kepala daerah di daerah Istimewa. Pada pasal 18 ayat (5) UU yang diundangkan pada 10 Juli 1948 itu disebutkan, Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetian dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Karenanya, Sultan HB IX dan Pakualam VIII secara bergiliran memegang posisi Gubernur DIY. Mengutup Wikipedia, Sultan HB IX menjadi Gubernur terlama di Indonesia, yakni sejak 1945 hingga 1988. Namun karena aktifitas HB IX sebagai Wakil Presiden, posisi Gubernur DIY sempat ditempati Paku Alam VIII. Presiden dan Sultan Harus Cari Titik Temu

Pengamat sosial politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Arie Sujito menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X harus mencari titik temu dalam soal keistimewaan Yogyakarta, bukan menciptakan pelemik di media massa. "Apa yang mereka lakukan itu justru akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keduanya sebagai pemimpin," kata Arie Sujito di Yogyakarta, Ahad 28 November 2010. Menurut dia, langkah diplomasi untuk membahas substansi Rancangan Undang undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) justru harus dijauhkan dari politisasi berlebihan. [caption id="attachment_75893" align="alignleft" width="300" caption="Sri Sultan dan SBY"]

12913365501037505369
12913365501037505369
[/caption] "Caranya tim SBY dan tim Sultan harus menjaga diri dan mengurangi tensi `bertarung` dan justru mencari titik temu yang sifatnya substansi mencakup orientasi keistimewaan DIY, isi RUUK DIY, serta bagaimana menjaga konsistensi atas kesepakatan," katanya. Ia mengatakan, soal monarki dan demokrasi sesungguhnya sudah memiliki rujukan, baik dalam berbagai draft maupun dalam perdebatan. "Sejauh ini saya menilai pernyataan SBY terlalu abstrak dan normatif dan terkesan mengambang. Seharusnya pernyataan itu muncul di awal penyusunan RUUK dan diterjemahkan dalam skema yang lebih detail sebagai rancangan RUU. Sebaliknya, Sultan juga terlalu reaktif," katanya. Arie menilai, sejauh ini Sultan memang dilingkari oleh suasana politik yang tajam. Menurutnya, saat ini baik Presiden Yudhoyono maupun Sultan harus bisa menunjukkan sikap kebangsaan dan kenegarawanan. "Di situlah tantangan buat kedua tokoh itu agar lebih hati-hati menyampaian dan meluncurkan pernyataan," katanya. Bagaimanapun, lanjut Arie, ini pertaruhan nasib masyarakat banyak, bukan personal di antara keduanya."Setiap membuat pernyataan harus berfikir buat masyarakat dan bangsa. Sebagai catatan, tolong orang-orang yang mengitari kedua tokoh itu mendalami substansi RUUK dan jangan terjebak politisasi di luar konteksnya," katanya.

Pernyataan SBY Harus Dicabut

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Heddy Shri-Ahimsa mengatakan pernyataan Presiden yang mempertentangkan antara monarki dengan konstitusi tidak elok dan sangat menyakiti hati rakyat.

Ia mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mencabut pernyataannya. Menurutnya, pernyataan Presiden itu menunjukkan bahwa SBY tidak melihat sejarah yang ada di Keraton Yogyakarta, sejarah Indonesia, dan keberadaan keraton terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). [caption id="attachment_75895" align="alignleft" width="300" caption="Demo tuntut referendum"]

12913367091626123382
12913367091626123382
[/caption] Heddy mengatakan, masyarakat tidak menilai pernyataan SBY dari sisi hukum atau politik, melainkan merasakan adanya upaya pencabutan identitas kawula Ngayogyakarta yang sangat meresahkan.Karena itu, lanjutnya, pernyataan Presiden itu mendapat reaksi keras dari rakyat, terutama Yogyakarta. "Jangan hanya memandang di perkotaan, tetapi lihat basisnya di pedesaan," katanya.Ia mengatakan, dengan perasaan akan dicabutnya identitas itu, rakyat bisa melakukan perlawanan mulai dari yang biasa hingga yang sangat keras. "Mohon dipikirkan itu," ujar Heddy, Selasa (30/11). "Masalahnya sagat serius karena kekurang-tahuan dan kekurang-sensitifan Presiden SBY terhadap hubungan antara keraton sebagai simbol budaya dengan masyarakat Yogyakarta yang memiliki simbol tersebut. Dan hubungan ini sangat emosional," tuturnya

Pidato Presiden 2 Des: Sultan Terbaik dan Paling Tepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah akan memberikan hak dan peran yang besar bagi Kesultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, dengan apapun model yang akan jadi pilihan dalam Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah kini sedang memfinalisasi rancangan undang-undang tersebut. "Saya berpendapat apapun model yang dipilih, berikan hak peran yang besar bagi kesultanan dan pakualaman," kata Presiden dalam keterangan pers di Istana Negara, Kamis  2 Desember 2010. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Sri Sultan Hamengku Buwono X masih menjadi yang terbaik dan paling tepat untuk memimpin serta menduduki posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk 5 tahun mendatang.

Berbagai elemen masyarakat Yogyakarta mengaku tak puas dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai normatif, serta tidak menjelaskan dengan gamblang soal penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta seperti yang diinginkan masyarakat. Masyarakat juga kecewa lantaran Presiden tak meminta maaf atas komentarnya soal monarki di Yogyakarta.

Sekretaris Jenderal Gentaraja, Aji Bantjono mengatakan seharusnya Presiden meminta maaf atas pernyatannya yang menginggung warga Yogyakarta soal monarki. “Sayangnya beliau tak kesatria meminta maaf kepada rakyat Yogyakarta, padahal itu yang kami tunggu,” katanya.

Referendum DIY Dinilai Langkah Paling Ideal

Anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Khatibul Umam Wiranu mengatakan, referendum Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menentukan apakah gubernur dan wakil gubernur DIY diangkat atau dipilih langsung oleh rakyat merupakan langkah yang paling ideal dan berkeadilan pasca amandemen UUD 1945. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

"Akan tetapi mengingat jasa besar Kesultanan Yogyakarta dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia, maka opsi gubernur/wakil gubernur diangkat merupakan pilihan yang paling tepat," kata Khatibul Umam Wiranu kepada Tempo, Sabtu (2/10), menanggapi pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Referendum Lebih Banyak Mudharatnya

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Profesor Jimly Assiddiqie mengatakan penetapan Gubernur Yogyakarta tidak melanggar Undang Undang Dasar 1945.

[caption id="attachment_75491" align="alignleft" width="300" caption="Profesor Jimly Assiddiqie"]

1291184946151282268
1291184946151282268
[/caption] Saat ini pemerintah sedang mengkaji opsi pemilihan gubernur dalam Rancangan Undang Undang Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta: apakah ditetapkan Presiden seperti yang berjalan sekarang atau dipilih lewat Pemilihan Umum seperti daerah lain. Opsi pemilihan mencuat karena tercantum dalam Pasal 18 ayat 4 yang berbunyi, "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis." "Membaca konstitusi harus satu kesatuan normatif, tidak boleh sepenggal-penggal," ujar mantan tenaga ahli dalam Amandemen UUD 1945 satu dasawarsa lalu kepada Tempo, Selasa (30/11). Menurutnya, Indonesia menganut sistem desentralisasi yang asimetris. "Sehingga tidak mutlak seragam, ada variasi di sana-sini." Pada pasal 18B disebutkan, "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang." Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu dari empat daerah khusus/istimewa. Keempat daerah itu dibolehkan memiliki keistimewaan. Aceh memiliki struktur pemerintahan dan peradilan Islam. Begitu juga Papua dan Papua Barat yang memiliki Lembaga Perwakilan dan Pengadilan Adat. "Yogyakarta istimewa secara eksekutif, itu saja," kata Jimly. Gubernur DIY tidak dipilih lewat Pemilihan Umum melainkan berasal dari Kesultanan Yogyakarta. Keistimewaan ini, ujarnya, merupakan produk sejarah dan tidak pernah jadi masalah selama 65 tahun Indonesia berdiri. "Pasal 18B original intend-nya untuk mengukuhkan apa yang sudah ada," katanya. Meski tidak menghapus kemungkinan untuk diubah, Jimly mengatakan ide baru tentang Gubernur DIY dipilih lebih banyak mudaratnya. Dia membantah penetapan kepala daerah merupakan tindakan yang bertentangan dengan demokrasi. Tiga tahun lalu, katanya, pernah diajukan Judicial Review atas penetapan Wali Kota oleh Gubernur DKI Jakarta. "Kami sudah bersidang, dan hasilnya tidak bertentangan dengan demokrasi," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. "Sama dengan Yogyakarta."

Mahmud MD: Penyelesaian Harus Dilakukan Secara Politik di Parlemen

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, penilaian mengenai sistem monarkhi ataupun demokrasi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sama-sama berpihak pada konstitusi.Karena itulah, penyelesaian masalah ini, harus dilakukan secara politik hukum di parlemen.

[caption id="attachment_75493" align="alignleft" width="300" caption="Ketua MK Mahmud MD"]

12911852722021697451
12911852722021697451
[/caption] "Keduanya sama-sama punya pijakan konstitusional. SBY misalnya mengatakan jelas pasal 18 UUD itu kepala daerah, gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Tetapi dalam pasal yang sama juga disebutkan bahwa negara mengakui asal-usul keistimewaan dan kekhususan masing-masing daerah," paparnya. Dalam konstitusi, kata dia, setiap pasal dalam UUD bersifat otonom. Artinya, berlaku dan tidak bisa ditawar. Karena itulah, ketika terdapat dua pendapat yang sama-sama berdasar pada konstitusi, maka sebaiknya diselesaikan secara politik hukum. "Karena dari sudut konstitusi masing-masing punya pandangan yang konstitusional, supaya dibicarakan dengan matang sebagai politik hukum oleh pemerintah dan DPR serta para pemangku kepentingan. Perdebatan sekarang ini justru bagus, lalu nanti bermuara di DPR sebagai pilihan politik hukum," tuturnya. Mengenai pemilihan kepala daerah yang demokratis, kata Mahfud, MK sendiri pernah mengeluarkan putusan. Dalam putusan atas gugatan calon independen pemilukada, pada bagian pertimbangan, MK menyebutkan pemilihan demokratis bisa merupakan pilihan hukum . "Boleh langsung, boleh melalui DPRD. Ini lepas dari DIY. Kalau demokratis, itu boleh saja. Saya bukan membenarkan bahwa di Jogja itu harus pemilihan, tetapi kalau kata demokratis itu sudah ada dalam putusan MK," tuturnya. Usulan referendum yang mengemuka, sambung dia, dinilai terlalu jauh dan tidak memiliki dasar konstitusi."Referendum tidak memiliki dasar konstitusi. Silakan diperdebatkan secara terbuka di parlemen. MK sendiri tidak bisa masuk ke substansinya. MK tidak mengatakan yang satu benar yang satu salah. Silakan dibicarakan sebagai politik hukum. Karena kalau sudah ikut-ikutan nanti MK tidak boleh mengadili lagi," tutupnya.

Sekedar Pengalihan Isue?

“Perseteruan” antara Pemerintah Pusat dengan Pemda Daerah Istimewa Yogtakarta atau antara Presiden SBY dengan Sri Sultan Hamengkubuono X ini, sangat tidak menguntungkan bagi kesejahteraan bangsa ini yang dililit oleh begitu banyak masalah.

Masalah korupsi yang sudah menjadi penyakit menular akut yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan bangsa, yang melibatkan para mafia hukum dan mafia peradilan yang melakukan korupsi secara berjamaah seperti kasus Gayus, Sirus, Asnun, Kompol Arafat, ditambah lagi masalah bencana alam yang terjadi berturut-turut baik di Wasior, Mentawai maupun Gunung Merapi, maka perseteruan antara SBY dan Sri Sultan, akan menanbah masalah baru bagi bangsa ini.

Ataukah ini sengaja diluncurkan untukmengalihkan isue kegagalan Pemerintahan SBY yang sudah dua priode menjabat sebagai Kepala Negara tanpa ada perbaikan kehidupan dan kesejahtreaan rakyat yang cukup berarti?. Entahlah. Hanya dia dan Allah yang tahu.

Depok 1 Desember 2010

Bakruddin Is

Sumber: Tempo Interaktif dan berbagai sumber di internet

Baca juga Bagian Pertama dari Artikel ini:

http://politik.kompasiana.com/2010/12/01/yogya-menggugat-referendum-kenegarawanan-sby-dipertanyakan-bagian-pertama/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun