Nusantara merupakan sebuah rangkaian kepulauan yang berada di kawasan Asia Tenggara. Wilayah ini dianugerahi dengan sumber daya alam yang luar biasa mulai dari rempah-rempah seperti cengkeh dan lada hingga bahan tambang seperti emas, tembaga dan batu bara. Kekayaan alam yang melimpah ini menjadikan banyak perusahaan dagang asing yang tertarik untuk datang ke Nusantara. Dalam perjalanannya menjadi sebuah bangsa bernama Indonesia, Nusantara yang kemudian disebut sebagai Hindia-Belanda pernah didatangi dua perusahaan dagang asing terkemuka yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada 20 Maret 1602 terkenal sukses dan berhasil menyingkirkan orang Portugis, yang satu abad sebelumnya telah membangun imperium perdagangan di Asia (Gaastra, 2007). Selanjutnya ada perusahaan dagang Inggris bernama East India Company (EIC) yang sebelumnya telah berdiri di London, Inggris pada 31 Desember tahun 1600.
East India Company yang selanjutnya disebut EIC yang memiliki basis kuat di Asia mencoba bersaing dengan VOC dengan basis perdagangannya di wilayah Melayu Nusantara (Aprilia, 2024). Tahun 1602 menjadi awal EIC yang kala itu dipimpin oleh Sir James Lancaster menjajaki Hindia-Belanda dengan terlebih dahulu menapaki tanah Aceh namun ditolak oleh Sultanah Zaqiatuddin Syah sang ratu dari Kesultanan Aceh. Bertolak dari penolakan tersebut EIC menyusuri wilayah lain disepanjang wilayah Hindia-Belanda salah satunya di Bengkulu.
Sebelum kedatangan kompeni Inggris ini, wilayah Bengkulu sudah dihuni oleh suku bangsa yang beranekaragam mata pencahariannya serta bahasa dan kebudayaan daerah tersendiri seperti Rejang, Serawai, dll (Dinanti, 2018). Lokasi Bengkulu yang strategis berada di Pantai Barat Daya Sumatera didukung dengan tanaman lada yang tumbuh subur dan laku di pasar internasional menjadi salah satu alasan EIC ingin menancapkan monopoli perdagangan lada di tanah Bengkulu. Adanya faktor kekalahan dari VOC di Banten yang menjadikan EIC harus mencari wilayah baru yang tidak terkena dominasi VOC. Di samping itu terdapat faktor lain dimana penguasa Bengkulu yakni Pangeran Raja Muda dan Depati Bangsa Raja (Dinanti, 2018) mengajak EIC di bawah pimpinan Kapten J. Andrew yang datang dengan menggunakan 3 buah kapal yang bernama The Caesar, The Resolution dan The Defanc (Putra, 2019) untuk berunding terkait pemukiman yang dibangun di pesisir pantai dekat dengan Sillebar yang merupakan rute perdagangan lada dari Banten. Pada 12 Juli 1685 kemudian penguasa Bengkulu menandatangani perjanjian yang memberikan kebebasan bagi EIC untuk membangun benteng dan gudang termasuk mengontrol para penghasil lada di daerah tersebut. Selain itu, EIC juga dibebani dengan membayar 12 dollar untuk setiap bahan lada yang dikirimkan ke mereka (Wijaya, 2017). Dari sinilah awal mula Bengkulu berada di bawah kendali EIC selama 140 tahun dimulai dari tahun 1685 sampai 1825.
Eksistensi kehadiran EIC di Bencoolen atau Bengkulu pertama kali ditandai dengan adanya pembangunan benteng Fort York tahun 1685 yang berfungsi sebagai pertahanan utama dan lokasi dagang EIC di Pantai Barat Sumatera. Benteng Fort York ini didirikan di atas sebuah bukit kecil di pinggiran muara sungai Serut yang dikelilingi oleh rawa-rawa (Sabela, 2010). Saat ini lokasi bekas benteng Fort York tepatnya berada di kelurahan pasar Bengkulu, Sungai Serut, kota Bengkulu. Hanya saja benteng pertama EIC ini hanya bertahan sekitar 29 tahun. Kerusakan benteng terjadi karena posisinya yang berada di tanah rawa yang rentan terkena banjir, juga hujan yang terus mengguyur benteng menjadikan dinding-dindingnya semakin rapuh. Kondisi benteng yang tidak memungkinkan lagi difungsikan sebagai basis pertahanan mendorong pimpinan EIC di Bengkulu bernama Joseph Collet untuk membangun benteng baru di lokasi yang lebih aman dan tetap strategis. Akhirnya pada tahun 1714 berdiri kokoh sebuah benteng EIC bernama Fort Marlborough di Ujung Karang.
Berdirinya benteng Fort Marlborough menjadi simbol kekuatan dan memiliki peran penting dalam eksistensi EIC di Bengkulu karena pusat pertahanan mereka berada di benteng yang memiliki 72 meriam, dindingnya yang berbahan dasar batu karang bata dan batu kali setebal 1,25 meter dengan pintu ruangan yang terbuat dari besi yang memiliki kerangka besi setebal 15 mm dan jeruji besi bulat berdiameter 18 mm. Di samping itu, benteng Fort Marlborough juga dibangun untuk memperkuat pertahanan Inggris di kawasan pantai barat Sumatra dari ancaman Belanda dan untuk mengantisipasi serangan musuh, bagian utara dan barat bangunan dibuat menghadap ke Samudera Indonesia (Sabela, 2010).
Meskipun memiliki tujuan demikian, nyatanya benteng tersebut malah menjadi pemicu konflik antara penguasa lokal dan pihak EIC. Sebenarnya pendirian benteng Fort Marlborough ditentang oleh Raja Selebar Pangeran Nata Dirja. Karena merasa dihalangi, EIC hendak menyingkirkan Raja Selebar dengan membunuhnya pada saat diadakannya jamuan makan. Akibat pembunuhan tersebut, hubungan antara Inggris dan Bengkulu yang tadinya relatif baik menjadi buruk hingga muncul pertentangan dari pihak Kerajaan dan penduduk setempat pada tahun 1719 (Putra, 2019).
Keberadaan EIC di Bengkulu dengan sistem monopoli perdagangan lada-nya menimbulkan kegaduhan dan pemberontakan di tengah masyarakat dan golongan penguasa lokal. Pada masa Walter Ewer sebagai direktur EIC muncul kebijakan pemberlakuan Sistem Perkebunan Bebas atau free garden. Pada sistem ini, EIC membayar uang muka sebesar 50 dollar kepada setiap penduduk di distrik Sungai Lemau, Sungai Itam, dan Sillebar yang berhasil menanam 1000 pohon lada. Kemudian hasil panen lada tersebut dibeli oleh EIC dengan harga yang tinggi, yaitu 6 dollar untuk setiap 50 kg. Ia juga mulai menerapkan sistem pengawasan perkebunan lada dimana para pengawas berperan sebagai hakim untuk membungkam protes pribumi bahkan ia mengapus gelar pangeran dan pajak tradisional para pangeran (Wijaya, 2017)
Dari segi pemerintahan, kehadiran EIC memberikan perkembangan yang cukup signifikan. Di bawah EIC inilah terjadi perubahan struktur pemerintahan di Bengkulu sebanyak tiga kali. Pada awalnya status administrasi Bengkulu periode tahun 1685-1703 merupakan wilayah bawahan pemerintah Inggris (sub-ordinat) yang berpusat di Madras, India. Perubahan kedua terjadi tatkala status wilayah Bengkulu menjadi sebuah presidensi yang di perintah langsung oleh seorang Gubernur pada periode 1703-1785. Dan yang ketiga kalinya pada periode 1785-1825 struktur pemerintahan di Bengkulu kembali berganti dimana status wilayahnya berubah menjadi residensi yang dipimpin oleh seorang residen namun masih berada di bawah pemerintahan Inggris yang berkedudukan di Benggala, India (Wijaya, 2017)
Kedudukan EIC di Bengkulu berlansung selama 140 tahun. Akhir dari EIC di latar belakangi oleh beberapa faktor. Pertama, persaingan sengit dengan VOC yak tak kunjung usai meskipun EIC sudah membangun monopoli dagang di Bengkulu mati-matian. VOC dengan Sebagian besar Hindia-Belanda sudah dikuasainya sedangkan kekuasaan Inggris hanya Sebagian kecil saya. Bahkan kekuasaan EIC di pantai barat Sumatera saja hanyalah terbatas pada Bengkulu. Dan pendudukan Inggris atas pulau-pulau di Indonesia memang bersifat sementara (Suwondo, 1078). Faktor yang kedua adanya perlawanan-perlawanan rakyat Bengkulu terhadap EIC sebagai perwajahan koloni Inggris disana. Seperti perlawanan Pangeran Mangku Raja dari Kerajaan Sungai Lemau bersama pasukannya tahun 1719 lantaran tak terima sang ayah Pangeran Selebar dibunuh. Benteng dihancurkan dan kantor-kantor dagang EIC dibakar. EIC yang mempersempit ruang gerak penguasa local, mengusir bangsawan ke pedalaman semakin menambah kebencian rakyat (Dalip, 1983). Perlawanan-perlawanan yang muncul jelas menggoyahkan tiang kedudukan EIC di tanah Bengkulu.
Faktor kunci yang menandai berakhirnya EIC sebagai bentuk koloni Inggris di Bengkulu adalah adanya Traktat London atau Treaty of London pada 17 Maret 1824. Perjanjian Internasional ini diadakan lantaran untuk mengatasi konflik yang muncul setelah lahirnya Konvensi London atau Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1814. Pada saat Traktat London ini Inggris diwakili oleh George Canning, Charles Watkins serta Williams Wynn, sedangkan Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck. Adapun salah satu dari banyaknya isi dan pertimbangan dalam perjanjian Internasional ini adalah Inggris menyerahkan bentengnya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatera kepada Belanda dan tidak akan mendirikan kantor perwakilan di pulau Sumatera atau membuat perjanjian dengan penguasanya (Yacob, 2017). Pada 1 Maret 1825 koloni Inggris dengan EIC sebagai perwajahannya sudah angkat kaki dari tanah Bengkulu karena pada tanggal tersebut adalah akhir serah terima dari semua kepemilikan berdasarkan kesepakatan Traktat London.
REFERENSI
Aprilia, M. (2024). DUNIA MELAYU DIBAWAH KEKUASAAN KOLONIAL. Hadharah: Jurnal Keislaman dan Peradaban, 18(1), 15-25.
Dalip, A., Safuan, M., Hawab, A., & Abidin, A. (1983). Sejarah perlawanan terhadap imprealisme dan kolonialisme di daerah Bengkulu. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Dinanti, N. P. (2018). kebijakan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles di Bengkulu Tahun 1818-1824 (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Gaastra, F. S. (2007). Organisasi VOC. Sejarah Nusantara ANRI, hlm, 29.
Putra, A. R. J. (2019). Peristiwa 1719: Perlawanan Rakyat Bengkulu Terhadap Pemerintahan Inggris. Ilmu Sejarah-S1, 4(1).
Sabela, D. (2010). TINJAUAN HISTORIS TENTANG BENTENG MARLBOROUGH SEBAGAI TEMPAT USAHA DAGANG INGGRIS DI BENGKULU TAHUN 1714-1719.
Suwondo, B. (1978). Sejarah Daerah Bengkulu.
Wijaya, D. N. (2017). Thomas Stamford Raffles di Bengkulu: Politisi atau Ilmuwan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Yacob, D. W. U. (2017). Perjanjian Internasional sebagai Perwujudan Arsip Terjaga: Studi Kasus Treaty of London dan Treaty of Waitangi. Jurnal Kearsipan, 12(1), 21-36.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H