Di parit tak terurus, tanaman liar yang disebut eceng gondok oleh masyarakat sekitar begitu merusak pandangan. Jalan berlubang menambah pemandangan indah apalagi saat musim penghujan. Ranjau darat itu membuat kendaraan kami sesekali masuk ke genangan air.
Mungkin, lepas tsunami lalu jalan ini telah pernah diperbaiki namun lalu lintas kendaraan yang padat membuatnya kembali berlubang. Kampung Kubu yang gersang, deru ombak yang berderu-deru dari bibir pantai membuat kami sekonyong-konyong sedang berwirawisata.
Sebut saja kami berwisata ke kampung bekas tsunami ini. Di sana terdapat sebuah usaha kecil menengah yang dikembangkan oleh ibu-ibu. UKM Kreatif Kubu namanya yang kini telah dikenal luas berkat mengenalkan kerajinan eceng gondok.
Tanaman liar yang saya sebutkan rupanya membawa pengaruh besar terhadap perekonomian ibu-ibu di Kampung Kubu. Semula dibiarkan berkembang biar di parit, sungai, maupun di tempat yang air mudah tergenang, kemudian dipetik, dikeringkan, dan dianyam menjadi sebuah kerajinan tangan unik, kreatif dan memiliki nilai jual tinggi.
Kami menemui Cut Afni yang tak lain pelopor UKM Kreatif Kubu bersama suaminya, Mursalin. Sebuah perjalanan panjang yang kemudian mengantarkan Cut Afni membawa cerita menarik soal kerajinan eceng gondok tersebut. Pelajaran penting dari hasil kerja keras suami istri itu tak lain kesabaran yang tiada henti di awal perintisan usaha kecil menengah itu.
Kisah itu bermula di 2016. Eceng gondok yang semula disebut-sebut sebagai hama bagi tanaman lain berubah menjadi kerajinan bercita rasa. Cut Afni bersama kelompok kecil ibu-ibu memulai anyaman pertama mereka dengan penuh emosional; akan dibawa ke mana dan mengapa orang berhak membeli kreasi tersebut.
Tak ayal, mulailah datang cemoohan dari berbagai kalangan, terutama dari masyarakat sekita manakala ibu-ibu yang semula cuma menghabiskan waktu di teras rumah, sambil bercerita, punya pekerjaan dalam tanda kutip. Mereka mendapat teguran untuk tidak usah bekerja karena lebih kurang setahun menganyam, mencari ide, dan mencari eceng gondok sampai ke rawa-rawa, cuma bisa membawa pulang Rp15.000 saja untuk keluarga!
Satu persatu hati ibu-ibu itu luruh. Mereka kembali ke keluarga. Cut Afni tinggal menganggakasa mimpi bersama ibu-ibu yang tertinggal. Eceng gondok kembali menyemai di mana-mana, jalanan kampung kian kotor, sungai sebentar-sebentar meluap karena tanaman itu cepat sekali tumbuh.
Di tengah cobaan yang begitu berat itu, dewa penyelamat datang dengan dedikasi begitu tinggi. Ia tak lain suami Cut Afni sendiri, Mursalin. Ia ke rawa-rawa, ke sungai dan ke mana pun yang ada tanaman liar itu. Pulang ke rumah bukan membawa setangkai ikan emas melainkan bertangkai-tangkai eceng gondok. Cut Afni sempat memarahi suami namun semangat dari pria tersebut tidak pernah surut.