Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Ideal Saat Usia Tidak Dimanipulasi oleh Nafsu yang Menggelora

25 Agustus 2016   17:12 Diperbarui: 25 Agustus 2016   17:30 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswi MTs tempat saya mengajar. Mereka tidak bercadar, hanya untuk bergaya saat difoto - Photo by Bai Ruindra

“Pak, si Cantik sudah menikah minggu lalu!” begitu ujar seorang siswi yang baru tamat MTs – setingkat SMP – saat mengambil ijazah. Salam-salaman terjadi antara guru dan segerombolan mantan siswi yang masih berusia rata-rata 15 tahun.

Deretan pertanyaan kemudian muncul dari guru yang tak tahan dengan berita besar tersebut.

“Dengan siapa?”

“Bagaimana bisa?”

“Apa bisa menikah baru tamat sekolah?” – maksudnya MTs –

Pertanyaan-pertanyaan lain muncul tak terbendung, karena ibu-ibu guru ini seakan benar-benar tidak rela anak didiknya terenggut masa depan begitu saja. Belakangan, saya mengetahui bahwa siswi tersebut telah memanipulasi identitas agar dapat menikah. Usia 15 tahun diubah menjadi 17 tahun. Siapa yang memanipulasi? Siapa lagi kalau bukan orang tua siswi yang ingin segera anaknya menikah. Kabar yang datang kemudian siswi ini menikah dengan pria berusia 25 tahun yang dikenalnya melalui media sosial, Facebook. Entah bagaimana caranya, pernikahan mereka tidak bisa dibendung.

Saya tidak tahu alasan orang tua menikahkan anak mereka begitu usai bangku MTs. Pernikahan yang bisu itu telah membuat rona bahagia teramat jelas. Benar atau tidak nggak ada yang tahu ke depannya bagaimana. Apakah anak ini benar-benar akan bahagia. Apakah mereka hidup sejahtera. Bagaimana membesarkan anak jika ternyata mereka langsung dikarunia keturunan. Logika saya menari bertalu-talu. Tidak ada jawaban yang bisa menguraikan ini kecuali waktu, di masa yang entah sampai kapan saya harus menunggu.

Pernikahan yang terjadi pada siswi saya yang tamat MTs tahun ini, 2016, merupakan sebuah isu yang cukup besar bagi generasi muda yang sejatinya harus berkarya sebanyak mungkin.

Namun, yang terjadi semudah membalik telapak tangan. Pernikahan terjadi seperti biasa saja. Sama seperti makan kerupuk rasa ayam. Kisah ini bukan pula kisah Siti Nurbaya yang dikumandangkan, kisah jalinan kasih ini seperti percintaan semalam saja, melalui media sosial, cocok di mata, suka di hati lalu menikah terburu-buru dengan menyuap Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengeluarkan fatwa pernikahan sah.

Pernikahan telah seperti permainan karena semua mudah dilalui. Pernikahan normal di Aceh membutuhkan mahar emas cukup besar. Pernikahan yang terburu-buru, karena alasan hanya mereka yang tahu, hanya menghabiskan sedikit biaya lalu bisa berbahagia selamanya. Si anak yang tak tahu arah akan ke mana, mudah saja mengiyakan permintaan orang tua agar segera menikah. Mau melanjutkan pendidikan orang tua menggelengkan kepala karena tak mampu.

Pernikahan menjadi solusi terbaik agar orang tua lepas tanggung jawab. Pemikiran lain, daripada ditangkap orang kampung atau polisi syariat Islam di Aceh ini, bikin malu keluarga, lebih baik dinikahkan saja walaupun menyulap identitas. Toh, anak perempuan yang telah mengalami menstruasi wajar saja menikah karena akan hamil jika tidur dengan pria manapun!

Teramat kasar jika saya mengatakan hal-hal demikian. Namun nasi telah menjadi bubur. Tanggung jawab saya sebagai guru tidak bisa melarang atau pun memberikan nasehat di waktu yang berpacu begitu kencang. Siswi ini telah lepas dari atribut sekolah kami dan telah pula kami kembalikan ke orang tuanya. Mau diarahkan ke mana oleh orang tua, seyogyanya ia akan menuruti. Bayangan dari kami saat akhir semester kedua kelas sembilan, gapailah mimpi setinggi angkasa!

Masa pubertas tak bisa dihindari seperti saat kita membelok ke arah kiri di persimpangan yang ada lampu merahnya. Masa-masa MTs saat ini, pubertas itu telah mencapai tingkat tinggi. Anak-anak teramat mudah terlena dengan sebuah kisah cinta. Pendewasaan di dalam diri mereka bahkan lebih romantis dibandingkan saya yang berusia di atas kepala tiga. Anak-anak bahkan lebih berani memamerkan hadiah ulang tahun yang akan diberikan kepada pacarnya di depan kelas, daripada memamerkan hasil ujian matematika yang berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimun (KKM).

Pembicaraan tentang penikahan memang selalu manis, menggelora dan menggoda. Tak mungkin pahit seperti daun pepaya jika ada orang mau memanipulasi data untuk dapat menikah secara sah menurut hukum negara. Isu pernikahan juga menjamur di antara anak-anak MTs. Terlalu manis untuk dibuang karena mereka pasti akan sampai ke masa itu. Namun, apakah wajar di usia MTs membicarakan pernikahan dengan serius? Pacaran sudah seperti suami istri?

Semua orang pasti akan menikah, suatu saat nanti. Pernikahan yang ideal sangat dipengaruhi oleh usia yang matang. Kematangan ini tidak hanya melihat usia semata tetapi juga pola pikir dan cara menyelesaikan masalah. Kenapa saya mengambil contoh kasus dari siswi tersebut? Karena caranya yang serba instan membuat pola pikir di masyarakat bahwa anak-anak yang telah tamat MTs sederajat sah-sah saja untuk menikah. Ketakutan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah untuk kita semua.

Karena apa? Si A boleh saja telah dewasa di usia 15 tahun (walau ini tentatif), si B bahkan masih seperti remaja walaupun berusia 25 tahun. Karakter seseorang sangat menentukan kepiawaiannya dalam mendayung perahu rumah tangga. Gula-gula saja bisa terasa pahit apabila telah lama disimpan. Walaupun cuma terasa diujungnya namun tetap saja akan keluar kata “Pahit!” dari mulut pengecapnya. Pernikahan tak lain ikatan suci yang tidak hanya berkaitan antar sesama manusia namun juga dengan Tuhannya.

Hukum Islam memang tidak menjabarkan batasan usia seseorang dapat menikah. Namun pandangan dari Prof. Muhammad Quraish Shihab, saya kutip dari  makassar.tribunnews.com (20/12/14) dapat mewakili perasaan tabu dalam diri kita.

“Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. tidak menetapkan usia tertentu untuk perkawinan. Ini karena dasarya, Al-Quran tidak merinci persoalan-persoalan yang dapat mengalami perubahan akibat perkembangan masa atau perbedaan situasi dan pelaku. Yang dirincinya adalah hal-hal yang dibutuhkan manusia tetapi tidak dapat dijangkau oleh nalarnya seperti persoalan-persoalan metafisika. Istri oleh Nabi diserahi tugas pokok yaitu mengurus rumah tangga.

Bahkan boleh jadi dewasa ini lebih dari itu, karena pada hakikatnya fungsi keluarga bukan hanya reproduksi, atau ekonomi, tetapi lebih dari itu antara lain fungsi sosialisasi dan pendidikan. Nah, bagaimana mungkin seorang anak berumur enam belas tahun – yakni belum tamat sekolah menengah atas dapat melaksanakan fungsi tersebut, kalau dia sendiri belum siap secara fisik, mental dan spiritual?”

Lalu, nikah usia ideal itu berada di mana? Jika kamu telah siap secara mental. Kemapanan mental lebih penting daripada menyebut material. Soal rejeki itu bisa datang dari mana saja asalkan kamu berusaha bukan cuma berdiam diri di rumah menikmati masa bulan madu. Tetapi mental menjabarkan lebih dari itu. Bagaimana jika piring beterbangan di rumah saat lauk tak duduk manis di meja makan. Bagaimana menyikapi susu anak yang tiba-tiba habis tengah malam di mana hujan sangat lebat. Apa yang dapat dilakukan jika anak demam tinggi sedangkan uang tak ada sepeser pun di dalam dompet.

Pernikahan bukan hanya aku dan kamu hidup dalam bahagia semata. Kamu siap menimang anak pada usia 15 tahun? Kamu nggak akan protes cucian menumpuk di usia 16 tahun? Kamu nggak iri melihat anak muda lain terbahak-bahak bersama teman-teman mereka? Kamu lapang dada saat jatah baju baru diganti dengan susu bayi? Kamu nggak apa-apa bangun tengah malam memberi ASI?

Jika siap, silakan sampaikan unek-unek pernikahan kepada kekasihmu.

Jika nanti anak diurus ibu kamu atau ibu mertua, kamu tahu solusi terbaik dalam memecahkan masalah ini.

Pernikahan tidak hanya pandangan masyarakat yang terlalu usil. Pernikahan juga berhadapan dengan negara. Kamu tak hanya terikat dengan pasangan sehidup semati, namun juga dengan negara yang mengaturnya dalam undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan. Pria diizinkan menikah pada usia 19 tahun dan wanita pada usia 16 tahun. Usia ini dipandang sebagai usia yang cukup untuk sebuah pernikahan, hubungan seksual, hamil dan mengurus anak.

Kembali saya tekankan bahwa usia bisa memanipulasi data. Kamu siap secara seksual, belum tentu mau hamil muda. Kamu senang cepat hamil, belum tentu akan bersenang-senang menerima kehadiran seorang anak. Pernikahan bukan untuk membuat seseorang khawatir akan masa depan. Pernikahan ideal justru membuat seseorang berbahagia seadanya. Batin dan fisik akan berbenturan jika kamu benar-benar belum siap.

Salah satu resiko pernikahan dini adalah saat masa kehamilan. Perempuan yang belum matang akan membahayakan dirinya dan bayi yang dikandung. Bayi yang lahir akan memiliki berat badan rendah bahkan lahir dalam kondisi prematur. Seorang ibu muda yang belum siap secara organ reproduksi juga akan mengalami anemia, kondisi ibu mudah lelah dan preeklamsia, kondisi ibu mengalami peningkatan protein dalam urine dan mengalami tekanan darah tinggi. Perempuan yang menderita preeklamsia akan mengalami kaki dan tangan bengkak. (alodokter.com).

Jauh sebelum medis menemukan resiko nikah usia dini, Islam telah menjabarkan perkara pernikahan dengan sangat matang. Islam tentu tidak mau umatnya tersesat dan dibawa pengaruh hawa napsu sehingga kehidupan tidak diridhai dunia dan akhirat.

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Q.S. At-Thalaq: 6).

Tanggung jawab yang begitu besar untuk suami dan istri. Tidak hanya berurusan dengan kebahagiaan saja, pada saat suami dan istri memutuskan untuk berpisah pun Islam mengaturnya dengan baik. Sanggupkah menjalani aturan ini?

Di ayat lain, bahkan lebih besar tantangannya bagi suami istri. Darah muda yang bergelora, digebu napsu, terburu-buru, tidak lantas melanggar aturan ini.

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah:187).

Di usia mana kamu sanggup memikul “beban” berat ini? Di usia itu pula kamu nikahkan pujaan hati dengan suka cita!

***

Referensi:

ALODOKTER

TRIBUN MAKASSAR

***

Twitter - Facebook

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun