Teramat kasar jika saya mengatakan hal-hal demikian. Namun nasi telah menjadi bubur. Tanggung jawab saya sebagai guru tidak bisa melarang atau pun memberikan nasehat di waktu yang berpacu begitu kencang. Siswi ini telah lepas dari atribut sekolah kami dan telah pula kami kembalikan ke orang tuanya. Mau diarahkan ke mana oleh orang tua, seyogyanya ia akan menuruti. Bayangan dari kami saat akhir semester kedua kelas sembilan, gapailah mimpi setinggi angkasa!
Masa pubertas tak bisa dihindari seperti saat kita membelok ke arah kiri di persimpangan yang ada lampu merahnya. Masa-masa MTs saat ini, pubertas itu telah mencapai tingkat tinggi. Anak-anak teramat mudah terlena dengan sebuah kisah cinta. Pendewasaan di dalam diri mereka bahkan lebih romantis dibandingkan saya yang berusia di atas kepala tiga. Anak-anak bahkan lebih berani memamerkan hadiah ulang tahun yang akan diberikan kepada pacarnya di depan kelas, daripada memamerkan hasil ujian matematika yang berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimun (KKM).
Pembicaraan tentang penikahan memang selalu manis, menggelora dan menggoda. Tak mungkin pahit seperti daun pepaya jika ada orang mau memanipulasi data untuk dapat menikah secara sah menurut hukum negara. Isu pernikahan juga menjamur di antara anak-anak MTs. Terlalu manis untuk dibuang karena mereka pasti akan sampai ke masa itu. Namun, apakah wajar di usia MTs membicarakan pernikahan dengan serius? Pacaran sudah seperti suami istri?
Semua orang pasti akan menikah, suatu saat nanti. Pernikahan yang ideal sangat dipengaruhi oleh usia yang matang. Kematangan ini tidak hanya melihat usia semata tetapi juga pola pikir dan cara menyelesaikan masalah. Kenapa saya mengambil contoh kasus dari siswi tersebut? Karena caranya yang serba instan membuat pola pikir di masyarakat bahwa anak-anak yang telah tamat MTs sederajat sah-sah saja untuk menikah. Ketakutan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah untuk kita semua.
Karena apa? Si A boleh saja telah dewasa di usia 15 tahun (walau ini tentatif), si B bahkan masih seperti remaja walaupun berusia 25 tahun. Karakter seseorang sangat menentukan kepiawaiannya dalam mendayung perahu rumah tangga. Gula-gula saja bisa terasa pahit apabila telah lama disimpan. Walaupun cuma terasa diujungnya namun tetap saja akan keluar kata “Pahit!” dari mulut pengecapnya. Pernikahan tak lain ikatan suci yang tidak hanya berkaitan antar sesama manusia namun juga dengan Tuhannya.
Hukum Islam memang tidak menjabarkan batasan usia seseorang dapat menikah. Namun pandangan dari Prof. Muhammad Quraish Shihab, saya kutip dari makassar.tribunnews.com (20/12/14) dapat mewakili perasaan tabu dalam diri kita.
“Al-Quran dan Sunnah Nabi saw. tidak menetapkan usia tertentu untuk perkawinan. Ini karena dasarya, Al-Quran tidak merinci persoalan-persoalan yang dapat mengalami perubahan akibat perkembangan masa atau perbedaan situasi dan pelaku. Yang dirincinya adalah hal-hal yang dibutuhkan manusia tetapi tidak dapat dijangkau oleh nalarnya seperti persoalan-persoalan metafisika. Istri oleh Nabi diserahi tugas pokok yaitu mengurus rumah tangga.
Bahkan boleh jadi dewasa ini lebih dari itu, karena pada hakikatnya fungsi keluarga bukan hanya reproduksi, atau ekonomi, tetapi lebih dari itu antara lain fungsi sosialisasi dan pendidikan. Nah, bagaimana mungkin seorang anak berumur enam belas tahun – yakni belum tamat sekolah menengah atas dapat melaksanakan fungsi tersebut, kalau dia sendiri belum siap secara fisik, mental dan spiritual?”
Lalu, nikah usia ideal itu berada di mana? Jika kamu telah siap secara mental. Kemapanan mental lebih penting daripada menyebut material. Soal rejeki itu bisa datang dari mana saja asalkan kamu berusaha bukan cuma berdiam diri di rumah menikmati masa bulan madu. Tetapi mental menjabarkan lebih dari itu. Bagaimana jika piring beterbangan di rumah saat lauk tak duduk manis di meja makan. Bagaimana menyikapi susu anak yang tiba-tiba habis tengah malam di mana hujan sangat lebat. Apa yang dapat dilakukan jika anak demam tinggi sedangkan uang tak ada sepeser pun di dalam dompet.
Pernikahan bukan hanya aku dan kamu hidup dalam bahagia semata. Kamu siap menimang anak pada usia 15 tahun? Kamu nggak akan protes cucian menumpuk di usia 16 tahun? Kamu nggak iri melihat anak muda lain terbahak-bahak bersama teman-teman mereka? Kamu lapang dada saat jatah baju baru diganti dengan susu bayi? Kamu nggak apa-apa bangun tengah malam memberi ASI?
Jika siap, silakan sampaikan unek-unek pernikahan kepada kekasihmu.