Awal tahun 2006, di salah satu tempat pangkas area Banda Aceh, saya kembali bertemu dengan seorang teman dekat. Dia mengantar seorang adik untuk pangkas rambut. Perempuan ini saya kenal waktu sama-sama mengungsi di barak penampungan tsunami hampir satu tahun lamanya. Kami menjadi dekat karena melengkapi satu sama lain, saling berbagi banyak kisah menarik dan sering kalut saat gempa susulan terjadi waktu itu. Komunikasi kami terputus saat kondisi semakin kondusif dan saya kembali menjadi anak kos dan dia pindah ke rumah bantuan tsunami. Tidak memiliki handphone menjadi kendala kami tidak bersua satu sama lain.
“Kamu apa kabar?”
“Baik. Kakak bagaimana?”
“Baik. Apa aktivitas selain kuliah?”
“Nggak ada.”
Dialog itu berlanjut ke arahan agar saya bergabung dengan salah satu lembaga swadaya masyarakat. Saya sama sekali belum tahu soal lembaga tersebut. Perempuan ini kemudian merekomendasikan saya untuk ambil bagian menjadi relawan karena adiknya yang sebaya dengan saya sudah terlebih dahulu berada di sana. Katanya, tugas saya hanya memfasilitasi atau memberi penyuluhan remaja mengenai kesehatan dan narkoba.
Satu sisi saya bingung karena background pendidikan bukan bidang kesehatan. Saya masih awam sekali tentang isu kesehatan bagaimana mungkin ikut penyuluhan ke remaja lain.
“Bisa kok. Mereka lagi nyari 10 orang relawan remaja untuk dilatih dan baru diterjunkan ke lapangan apabila sudah matang.”
Mulailah saya mengikuti pembekalan bersama sembilan relawan remaja lainnya. Rata-rata dari kami adalah mahasiswa tahun kedua. Ruangan pengap di lantai dua kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh menjadi perkenalan kami satu sama lain. Sepuluh dari kami masih sangat buta mengenai isu yang akan kami bagikan ke remaja usia sekolah, itu target program yang sedang kami jalankan.
Kami tergabung dalam Centra Muda Putroe Phang (CMPP), salah satu bagian penting atas kerja PKBI Aceh. Pembekalan yang telah kami terima lantas langsung dipraktikkan ke lapangan. Kami menyusuri sekolah-sekolah yang bisa dijadikan objek untuk kegiatan lapangan ini. Ada sekolah yang mau kerja sama, ada pula yang nggak sama sekali dengan alasan menganggu jam pelajaran. Sesuai aturan tertulis dari PKBI, kami hanya share ilmu kepada remaja di sekolah maksimal satu jam. Biasanya, kami masuk saat jam istirahat saja yang berdurasi antara 30-40 menit. Satu sekolah bisa semua kelas mendapat tempat dan ada pula yang hanya memberikan satu atau dua kelas saja, sehingga kami memadatkan semua materi dari tiga isu pokok di atas.
Bicara penting tidaknya kesehatan reproduksi memang harus dimulai sejak dini, usia remaja adalah saat yang tepat untuk mempromosikan isu ini. Kami sudah jor-joran menyuarakan pentingnya memperhatikan kesehatan reproduksi masa itu karena memang sangat perlu. Ringan sih iya tetapi jika dilihat perkembangan di kemudian hari malah teramat ribet. Kami cuap-cuap di depan para remaja cuma sebentar namun sering pula mereka bertanya puluhan pertanyaan kritis.
Mau tidak mau kami mencari celah untuk menjadi penjawab terbaik sesuai kemampuan dan daya tangkap mereka di usia remaja. Sepuluh dari kami biasanya dibagi lima kelompok, satu kelompok 2 orang untuk satu kelas. Manakala sekolah memberi ruangan dalam skala besar, kami akan ditugaskan semua.
Di program radio ini pula banyak kasus ditemukan karena siapa saja bebas menelepon dan mengirimkan pesan singkat. Curhatan remaja yang pernah aborsi, diperkosa pacar sendiri, memakai narkoba, kekerasan selama pacaran, bahkan keputihan dan pola menstruasi tidak teratur menjadi pertanyaan yang kerap sekali butuh jawaban segera selama on air yang berdurasi dua jam. Di akhir program tiap Rabu siang itu, kami menganjurkan untuk datang langsung ke kantor PKBI dan bertemu dengan fasilitator remaja, yaitu kami bagian dari CMPP-PKBI Aceh.
Remaja yang berani dan tidak sanggup lagi dengan permasalahan mereka, datang menemui kami. Kapasitas kami sebagai fasilitator hanya bisa mendengar curahan hati mereka, tidak sampai ke solusi terbaik seperti psikolog atau dokter. Mereka yang datang lebih nyaman berbagi kepada kami karena dianggap teman sebaya dan bahkan tidak memberikan resep obat sehingga mereka dipenuhi perasaan galau.
Belum lagi berbicara konsultasi ke psikolog dan dokter yang tidak membuat mereka nyaman, salah-salah identitas mereka terbongkar dan tercium oleh teman lain dan orang tua. Sedikit saja tercium oleh orang tua maka petaka setelah itu akan lebih besar daripada menerima penyembuhan dari psikolog atau dokter. Didengar secuil oleh teman mereka, bully akan datang lebih dahsyat dari bencana alam untuk ukuran hati mereka yang masih labil. Hal terakhir tentu saja masalah dana, konsultasi ke psikolog dan dokter membutuhkan biaya cukup besar untuk mereka yang belum bekerja.
Salah satu contoh, kami pernah didatangi remaja putri karena mendapat kekerasan dari pacarnya, ada pula yang datang karena telah berhubungan layaknya suami istri dengan pasangannya dan bingung bagaimana lepas dari masalah tersebut, dan yang paling ringan karena masalah keputihan. Kami mendengar, memberikan sedikit masukan untuk mereka melakukan tindakan dan dapat keluar dengan sendirinya dari masalah yang dihadapi. Semua yang mereka dapatkan dari kami itu gratis dan terjamin kerahasiaannya.
“Ganti pakaian dalam 3x sehari,” begitu tegas kami. Dengan kata lain, sehari harus mandi minimal 3x jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan artinya sehari 2x saja.
Remaja putri yang tidak ke dokter karena takut diberikan obat, kemudian datang kembali ke kami setelah sembuh dari keputihan yang dideritanya. Ganti pakaian dalam sehari 3x atau 2x ternyata merupakan obat mujarab untuk mencegah dan menyembuhkan keputihan. Keputihan memang penyakit di luar tetapi apabila masuk ke dalam bisa menimbulkan penyakit yang lebih kronis seperti kanker rahim dan sejenisnya. Kami memang tidak sampai menganalisis sejauh itu, kami hanya memberikan arahan jika gatal-gatal dan mengalami bercak putih maka ikuti petunjuk di atas.
Remaja di tingkat usia mereka merupakan personal yang butuh bimbingan dan arahan sehingga apa yang dikerjakan memiliki dampak signifikan. Emosi remaja yang masih meluap-luap tak lantas dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan kepala dingin. Persoalan menstruasi bisa saja menjadi masalah lain apabila remaja putri tidak paham atau belum mendapatkan masukan bagaimana membersihkannya. Kami pernah mendapatkan seorang remaja putri menggunakan handuk kecil sebagai pembalut dan tidak mencucinya seharian. Bayangkan saja apa yang terjadi apabila ini terus terjadi. Pembalut saat menstruasi sejatinya harus diganti dalam minimal 3x hari, lebih banyak lebih baik. Pembalut yang telah dipakai harus dibuang bukan pula dicuci seperti kasus remaja putri di atas dan menggunakannya kembali.
Kepercayaan diri remaja akan sangat terganggu karena masalah kesehatan reproduksi. Mental mereka diadu dengan perang batin teramat panjang agar dapat keluar dari masalah dan segera hidup bahagia bersama pacar unyu-unyu. Remaja putri yang terlanjur mengidap keputihan, malu untuk berinteraksi dengan teman bahkan enggan berdekatan dengan gebetan. Kisah berikutnya adalah kegalauan tak berujung dan menyendiri sehingga masalah yang muncul kian menumpuk. Remaja yang demikian perlu diselamatkan agar mental mereka kembali ke tingkat tinggi, melayang bersama semangat juang dalam meraih mimpi dan angan-angan.
Kesadaran mengenai kesehatan reproduksi harus berasal dari dalam diri sendiri. Kita yang merasakan manfaatnya dan kita pula yang akan menerima imbasnya. Kami –-fasilitator remaja-– di daerah manapun, dari lembaga apapun, hanya memberi sedikit ilmu. Lepas dari itu kembali ke diri sendiri bagaimana mencernanya. PKBI saja memiliki banyak fasilitator remaja di seluruh Indonesia. Namun PKBI sebagai lembaga non pemerintah menjalankan program sesuai dana yang diberikan oleh donatur.
Fasilitator remaja memang disebut relawan namun uang jalan tetap diberikan. Donatur tidak lagi menyuntik dana, program penyuluhan kesehatan reproduksi ke lingkungan remaja pun akhirnya berhenti. Remaja yang pada saat ini duduk di bangku SMP dan SMA akhirnya tidak tersentuh untuk menerima share ilmu, pengalaman, dan tempat curhat ke teman sebaya.
BKKBN sebagai lembaga pemerintah sejatinya harus memiliki program berkesinambungan mengenai kesehatan reproduksi remaja. Penyuluhan kesehatan bukan saja seminar sehari dengan menghadirkan tokoh penting. Remaja butuh lebih besar dari itu. BKKBN layak memiliki fasilitator remaja tiap tahun yang kemudian menjadi duta kesehatan reproduksi. Setiap daerah punya kantor BKKBN dan setiap kantor punya andil untuk merekrut fasilitator, baik dari kalangan siswa maupun mahasiswa. Efeknya cukup besar bagi kalangan remaja karena curhat ke teman sebaya lebih ngena dibandingkan ke bapak atau ibu pejabat dari BKKBN.
Saat saya dan teman-teman masih menjadi fasilitator sampai akhir 2010, pesan yang terus kami dengungkan adalah, “Ganti pakaian dalam 2x sampai 3x dalam sehari!”
Mudah dan ringan namun dampaknya cukup besar pada kesehatan reproduksi remaja.
***
Twitter: @bairuindra
Facebook: https://www.facebook.com/bai.ruindra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H