Murid berprestasi alih-alih dicubit guru, disentuh pun tak ada. Guru akan menyanjung murid berprestasi karena telah membanggakan sekolah. Murid berprestasi bahkan akan menangis jika guru tak masuk kelas. Murid bandel, jangan harap akan melakukan hal yang sama!
Mungkinkah guru berhenti mengajar saja? Namun tidak dilakukan. Berapa banyak kasus yang menjatuhkan harga diri guru, mereka juga tetap mengajar. Bagaimana jika guru berhenti mengajar? Kamu akan mengajar di rumah? Seorang diri? Home schooling? Anak kamu yang perokok berat tak mau belajar di rumah. Anak kamu yang balap-balapan motor tak pernah betah di rumah. Anak kamu yang suka main bola tak pernah mau belajar seorang diri di rumah.
Kamu sanggup mengajar anak seorang diri? Tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun jangan pernah lupa bahwa ilmu sosial tak bisa disamakan dengan huruf dan angka. Kamu mengajar kognitif saja tetapi afektif itu sangat perlu penerapan. Kamu mengajar afektif tetapi penerapan di lingkungan sosial tak ada sama saja bohong. Akhirnya generasi yang muncul adalah mereka yang terkulai begitu gerimis tiba. Murid-murid yang diajarkan di sekolah dengan dapur picu RAM puluhan gigabyte, tetap tahan banting walaupun hujan badai.
Kamu tinggal pilihan nomor punggung yang mana. Tampar anak sekali lagi karena melapor telah ditampar guru. Atau melapor guru ke polisi telah menampar anakmu yang merokok di kamar mandi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H