Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pantaskah Harga Gula Pasir Naik Jelang Idul Fitri?

3 Juli 2016   05:57 Diperbarui: 3 Juli 2016   11:23 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang berada di jajaran garis terdepan rakyat kecil di negeri ini?

Mereka yang mengemis di pinggir jalan. Mereka yang mengais rejeki dari tumpukan sampah. Mereka yang pantas menerima santunan. Mereka yang layak diberikan jaminan kesehatan gratis. Mereka yang mendapatkan uang saku dari pemerintah melalui program BSM atau KIP. Mereka yang tidur di kolong jembatan. Mereka yang mencangkul sawah tak pernah lelah. Mereka yang menjerit saat semua barang yang mesti dibeli naik tiba-tiba bagai tensi darah sehingga menyebabkan stroke, penyakit kronis lain, sampai akhirnya terkapar di rumah sakit.

Beginilah nasib. Saat Pegawai Negeri Sipil goyang-goyang kaki menerima bonus tahunan berupa gaji ketiga belas dan Tunjangan Hari Raya (THR) atau gaji keempat belas, rakyat kecil yang lupa didefinisikan dengan benar, bahkan tak tertera di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tercekat dan dipaku dengan palu sampai napas enggan keluar. Suasana tercekik menghantam seluruh tubuh karena anggota keluarga butuh banyak aroma, makanan enak untuk berbuka dan sahur maupun pakaian baru untuk lebaran.

Satu jenis sembako mendadak naik membuat rakyat kecil tanpa gaji bulanan dan tunjangan apapun, melompat ke tangga paling tinggi sebelum jatuh sampai patah di kaki dan lengan. Sorotan gula naik oleh media massa cetak, elektronik maupun online menjadi satu-satunya kecemasan. Di beberapa daerah gula dijual pada kisaran Rp 17,000 dan bahkan di Aceh sampai naik menjadi Rp 20,000.

Gula memang sangat manis, kawan. Makanan dan minuman yang dicampur gula terasa sangat nikmat sampai ke ubun-ubun. Gula itu adalah candu yang tidak pernah dibuang sampai akhir hayat. Satu sen saja gula naik maka semua akan keteteran. Pedagang kue yang menjual jajanan berbuka mau tidak mau harus menaikkan harga satu potong kue mereka. Es cendol yang dijual pinggir jalan terlihat lesu saat ngabuburit karena satu bungkus telah naik harga maupun dikurangi volumenya.

Menaikkan harga sembako sepertinya juga sebuah candu. Pemerintah terlalu santai dalam menindaklanjuti proses demi proses yang dilalui rakyat kecil. Pemerintah berdalih bahwa uang santunan yang tercantum di dalam BSM atau KIP, uang fakir miskin, bahkan dana sosial dari Kementerian Sosial, lebih dari cukup untuk membuat rakyat kecil hidup sejahtera. Data-data yang ada itu terkadang hanya baku di satu tempat tetapi tumpul di tempat lain. Coba lihat di sekeliling, berapa banyak rakyat kecil yang tinggal di rumah kumuh, makan nasi secuil namun tidak memegang kartu BSM atau KIP, tidak terdata sebagai penerima bantuan sosial dari program Keluarga Harapan.

Uang jaminan hidup dari pemerintah pun jika ada yang menerima bukan diberikan bulanan namun caturwulan bahkan semesteran. Berapa besarnya? Rp 300,000? Rp 600,000? Sampaikah ke tarif Upah Minimun Provinsi? Dengan uang segitu “banyaknya” apa yang didapat oleh rakyat kecil apabila cahaya lilin tiba-tiba menyala di sebuah ruangan. Seluruh ruangan itu akan terang, terimbas, terinfeksi virus cahaya, perlahan-lahan menggerogoti tubuh sampai benar-benar padam dalam waktu lama.

Sembako yang naik – saat ini gula – akan bertahan lama setidaknya baru turun setelah Idul Fitri 1 Syawal 1437 H. Jika benar-benar turun. Jika tidak, rakyat kecil tak tahu ke mana akan menjerit. Rakyat kecil kembali ikut arus mengikuti pergulatan oleh pemerintah dengan iming-iming akan ada dana bahagia dari berbagai simpanan kas negara.

Gula naik memang perkara kecil, kawan. Tetapi tahukah bahwa kopi itu terasa sangat nikmat saat sahur? Aroma kopi saja sudah membuat tidak mengantuk bagaimana setelah meneguk secangkir lalu mulai beraktivitas di pagi buta. Rakyat kecil yang ke sawah, ke ladang, ke laut, ke hutan, tak luput dari sejumput gula untuk mengaduk kopi agar kafein itu menambah tenaga mereka.

Rakyat kecil akhirnya benar-benar menikmati permainan ini seperti yang sudah-sudah. Saat semua harga sembako naik, semua kebutuhan lain ikut-ikutan gelombang tersebut. Jeritan mereka tertahan. Hanya nikmat yang tertekan saat mulut-mulut besar berkhotbah bahwa hidup ini akan sejahtera di bawah pemerintahan nyata. Dari tahun ke tahun, berlalu begitu saja. Pernahkah sekali harga sembako turun ke titik terendah setelah naik mendadak?

Nyawa rakyat kecil itu ada pada sembako, kawan. Dapur mengebul tiap hari walaupun cuma menanak air untuk membuat kopi. Rakyat kecil bahkan cukup meneguk satu kali tegukan kopi untuk menarik pukat, untuk menarik cangkul, untuk menanam sayur-mayur yang kemudian dijual dengan harga murah, bahkan tak cukup untuk membeli satu kilogram gula, atau mungkin hanya cukup untuk membeli satu kilogram gula tetapi tanpa dipenuhi oleh pernak-pernik lain di dalam kantong plastik itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun