Pada siapa kemudian mereka mengadu? Hanya wartawan yang datang silih berganti meliput berita. Berita tayang di mana-mana. Rakyat kecil menonton dirinya sendiri dengan bangga telah masuk televisi. Tetapi di sudut hati yang lain, rakyat kecil mengeluh, suaranya hanya untuk sebuah tayangan, untuk kebutuhan siar, untuk dipertontonkan tetapi bukan untuk mengambil kesimpulan.
Berapa banyak tayangan dan berapa orang narasumber yang telah bersuara. Di Sumatera, di Jawa, di Kalimantan, di mana-mana. Beda suara tetapi satu tujuan, keluhan saja, sambil tertawa tertahan, mendesah penuh harap, merayu dalam iba, lepas dari tayangan begitu itu nama mereka diabadikan sebagai orang yang pernah masuk televisi oleh orang-orang sekampung.
Adakah petisi saat gula naik? Berapa yang akan tanda tangan petisi tentang sembako naik? Apakah akan ada orang baik hati untuk menggalang dana dalam rangka menyejahterakan rakyat kecil yang berjumlah jutaan di negeri ini? Akankah terkumpul dana sampai ratusan juta? Apakah mengorbankan satu orang lebih baik dari orang banyak?
Harga gula telah naik seminggu lalu. Harga sembako lain bahkan telah naik di awal Ramadan. Tak ada petisi. Tak ada aksi galang dana. Tak ada isu bahwa ini bencana nasional. Tak ada aksi tanggap darurat. Tak ada penyelesaian karena ini bukan bencana alam yang menimbulkan kelaparan, walaupun di dapur rakyat kecil hanya ada bongkahan lantai dari tanah tak bisa dijadikan makanan halal. Cuma tersisa soalan harga sapi yang menanjak menyengsarakan rakyat di kelas mereka yang sanggup beli daging saja, itu yang kemudian dicari solusi terbaik dan sebaik-baiknya. Hanya ada kisah anak pejabat ke luar negeri dengan fasilitas negara dan memamerkan keangkuhan yang ada di dalam diri mereka.
“Bagaimana dengan kami rakyat kecil ini?”