Cerita ini cukup lama. Tak tertulis namun telah menjadi kenangan semasa Aceh mengalami masa-masa tersulit dan saya terbaur di dalamnya. Transportasi darat dari dan ke Banda Aceh menuju wilayah barat terputus cukup lama setelah tsunami. Rekontruksi yang tak kunjung selesai membuat kami nekat menghalau badan jalan yang tak rata. Kami terseok-seok di bibir pantai, mencari jalan tikus penuh duri, naik turun ke bekas jalan yang sebagian masih utuh dan retak, dan rintangan lain sepanjang perjalanan pulang ke Aceh Barat.
Lebaran di depan mata dan kami mau tidak mau harus pulang karena sebuah rindu bertemu keluarga. Tradisi mudik di kita nggak bisa diabaikan begitu saja. Banyak tangis yang membahana jika kami tidak pulang. Belum lagi bicara kondisi Aceh kala itu yang masih susah mengakses beberapa hal, terutama jalan yang rusak parah. Tahun 2010, saat foto-foto ini saya ambil, perjalanan pulang dan hasrat mudik selamat telah terbayang begitu puasa dimulai di awal Ramadan.
Mudik lebaran pada saat itu paling mudah dilakukan adalah dengan menggunakan sepeda motor. Kendaraan umum banyak yang berhenti operasi dan sebagian lagi memutar haluan melalui wilayah timur. Perbaikan jalan di mana-mana membuat kami harus bersabar untuk segera sampai ke tujuan. Pagi dari Banda Aceh kemungkinan besar akan sampai ke Aceh Barat sore atau malam harinya. Jalanan yang kami tempuh tidak semulus yang ada di benak kamu. Soal keselamatan bukan lagi perkara yang diagung-agungkan, kami memacu kendaraan nggak keruan. Kami mengejar waktu, menghindari malam di rimba, kiri kanan adalah hutan dan lautan lepas.
Jalan yang becek tersiram hujan membuat sepeda motor tertahan dan mesti didorong dalam jarak yang cukup jauh. Di kesempatan lain kami menanti rakit dengan sabar untuk menyeberang karena jembatan belum tersedia. Antrean panjang di hari terik, puasa penuh lapar dan dahaga, mendorong sepeda motor ke atas rakit, harap-harap cemas melintasi sungai karena muatan di rakit tak memberi jaminan keselamatan sama sekali. Motor-motor yang disusun rapi lebih kurang sebanyak 10 sampai 16 ditambah bobot pengendara yang sekali hempas langsung tenggelam di tengah sungai.
Bukan tidak mungkin kami meradang. Hujan di tengah jalan membuat kami kedinginan. Saya pernah terjatuh, tersungkur di atas lumpur pada jalan yang baru saja dibentuk untuk diaspal. Sepeda motor terpental jauh, hidup dengan lampu masih menyala. Gerimis turun seperti salju yang membuat saya menggigil. Saya sendiri lecet-lecet di siku dan kaki. Pemudik lain sibuk dengan kepayahan dirinya sendiri. Tak ada pertolongan untuk ini. Saya harus lanjut, pulang ke jarak yang entah berapa kilometer lagi. Saya cuma tahu nasib itu mencatat perihnya di daerah Aceh Jaya, masih satu kabupaten lagi saya sampai ke rumah.
Bicara mudik gratis, Aceh secara umum belum mendapatkan perhatian serius untuk ini. Padahal jika membaca kisah saya, tentu keselamatan pemudik sangat diperlukan walaupun sekarang jalan telah kembali mulus. Namun alasan bukan terletak pada itu semata, jarak tempuh dari Banda Aceh ke tiap kabupaten ke barat maupun ke timur cukup jauh dan melintasi pegunungan. Alternatif yang tersedia adalah angkutan umum dengan tarif yang meningkat tajam akibat bahan bakar naik. Aceh mungkin terlalu sempit karena satu daerah saja. Tetapi pemudik tiap lebaran itu ada di mana-mana. Pemudik dari Medan ke kampung halaman mereka. Pemudik dari Makasar yang juga merayakan lebaran di kampung. Pemudik dari Banjarmasin yang pulang dengan harap-harap cemas….
Kapan pemudik bisa manja sesekali? Apakah cuma di Pulau Jawa saja? Bagaimana dengan kami di daerah?
Menilik microsite Kementerian Perhubungan, mudikgratis.dephub.go.id, area mudik gratis menggunakan bus atau kereta api khusus untuk wilayah Pulau Jawa saja. Pada kanal pendaftaran tertuang jelas pilihan rute perjalanan untuk pemudik, dari Jakarta ke beberapa wilayah seperti Tegal, Yogyakarta, Solo dan lain-lain. Sedangkan untuk kereta api terdapat beberapa stasiun dari dan ke Jakarta menuju daerah tujuan.
Pulau Jawa memang memiliki “muatan” besar dalam segala ukuran. Termasuk soal pemudik dari Jakarta ke daerah-daerah yang dapat dijangkau dengan perjalanan darat. Tetapi soal keselamatan semua pemudik berhak mendapatkannya. Entah itu pemudik di kota besar, entah di kota kecil.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Koordinasi Penyelenggaraan Angkutan Lebaran Terpadu di mana Menteri Perhubungan sebagai koordinator penyelenggaraan angkutan lebaran maka diperlukan langkah-langkah dan kebijakan pengaturan agar penyelenggaraan angkutan lebaran dapat berjalan dengan baik. Salah satu program untuk menekan angka kecelakaan pemudik khususnya penguna sepeda motor maka pemerintah telah menghimbau kepada masyarakat untuk tidak mudik menggunakan sepeda motor dan beralih menggunakan transportasi umum.
Jangkauan kinerja Kementerian Perhubungan tentu tidak hanya berpusat di Ibu Kota saja. Di daerah-daerah lain semestinya mendapatkan perhatian sama dengan di Ibu Kota. Saya berharap microsite yang telah tersusun rapi ini dapat diaplikasikan untuk daerah-daerah yang memiliki pemudik dalam jumlah besar. Memang tidak gampang namun himbauan kepada masyarakat agar berkendaraan dengan aman dan selamat sampai tujuan jauh lebih penting. Belum lagi bicara pemudik yang tidak tahu soal instruksi di atas dan bahkan pemudik yang bandel dengan instruksi yang telah diberikan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menegaskan bahwa terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Selain itu terwujudnya etika berlalu lintas dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Undang-undang tidak hanya berbicara di atas kertas. Undang-undang ini soal keselamatan yang selayaknya dijaga dengan baik sehingga pemudik merasa terlindungi saat pulang kampung. Payung hukum yang kokoh setidaknya memayungi seluruh pemudik baik di bawah panas matahari atau sedang tersiram hujan deras. Kita tentu tak perlu berbangga dengan data kecelakaan sepeda motor saat mudik lebaran menurun sebesar 22% dari 3.888 tahun 2014 menjadi 3.049 tahun 2015. Ini kan cuma data yang terekam “kamera” Kementerian Perhubungan. Bagaimana dengan kecelakaan yang tak terekam?
Saya yang mudik bersama mereka seperti kisah di atas, siapa yang data jika seluruh isi rakit tenggelam dan dibawa arus ke lautan lepas? Bicara jumlah pemudik juga tidak kalah jauh lebih besar volumenya.
Kementerian Perhubungan dianjurkan untuk mengkaji kembali dan mereview soal mudik lebaran. Tiap tahun mudik lebaran itu ada di mana-mana. Tradisi orang kita ini nggak bisa diubah. Instruksi Presiden pun telah ada sejak tahun 2004 dan kini telah berselang cukup lama. Mana mungkin kita hanya bertahan di satu sisi saja sedangkan di sini lain terabaikan. Satu sisi pengamanan di jalan telah dilakukan dengan tertib lalu lintas atau petugas. Di sisi lain, Instruksi Presiden belum merata karena tidak semua daerah yang memiliki volume pemudik besar terdaftar dalam microsite dan disediakan kendaraan yang aman untuk mudik.
Jika di Jawa telah ada mudik gratis dengan bus dan kereta api. Mengapa tidak di daerah cukup dengan bus saja?
****
Referensi:
kompasiana.com
mudikgratis.dephub.go.id
bantuanhukum.or.id
***
Facebook: https://www.facebook.com/bairuindra
Twitter: @bairuindra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H