Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Merujuk Profesionalisme D’Academy dan KDI

10 April 2015   16:15 Diperbarui: 4 April 2017   17:44 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perang dangdut dimulai lagi tahun 2015. Dua ajang pencarian bakat menyanyi lagu-lagu dangdut sudah digelar oleh dua stasuin televisi swasta nasional. Indosiar dengan D’Academy dan MNCTV dengan KDI (Kontes Dangdut Indonesia). Dua ajang pencarian bakat ini sama-sama mengusung tema pembaharuan terhadap musik dangdut. Kenapa saya katakan demikian? Dua kontes ini tak sama dengan ajang pencarian bakat lainnya, termasuk KDI yang dulu mengenalkan Siti, Gita maupun Nassar yang lebih heboh masalah pribadi dibandingkan kepopuleran lagu dangdut itu sendiri.

Sebenarnya? Apa yang dicari oleh dua ajang pencarian bakat dangdut ini? Penyanyi dangdut original? Penyanyi yang punya cengkok dangdut asli? Penyanyi yang mengerti banyak lagu dangdut? Penyanyi yang bisa mengaransemen ulang lagu-lagu dangdut sehingga semakin enak didengar? Penyanyi yang cantik saja? Penyanyi yang ganteng saja?

Kegalauan D’Academy dan KDI lebih kepada bagaimana menarik minat masyarakat Indonesia. Penonton – kita – senang sekali bermain perasaan. Saya teringat kata-kata Bebi Romeo saat mengomentari lagu Aku Memilih Setia saat dinyanyikan Fatin pertama sekali. Katanya, efek sedih itu mampu menghipnotis penonton!

Benar sekali. D’Academy memulai drama seri yang menyayat hati. Si ini dari keluarga kurang mampu. Di anu tulang punggung keluarga. Si itu anak yatim atau piatu. Lantas, KDI juga mengikuti jejak serupa karena penonton menyukainya. Kasihan karena “miskin” itu walaupun ketika menyanyi ada yang pas-pasan juga. Drama seri tersebut terus diskenariokan setiap malam – kedua ajang ini ditayangkan tiap malam dengan durasi tak wajar. Ruh dari ajang pencarian bakat sudah tak “ada”. Tujuan utama mencari bakat-bakat menyanyi malah tergadaikan dengan menggali kesusahan hidup peserta. Tiap malam diulang. Tiap malam memiliki kesedihan yang memuncak. D’Academy lebih parah dibandingkan dengan KDI. Di KDI, Iyet Bustami kadang menetralisir dan menegaskan ajang itu adalah mencari bakat muda. Namun, semakin ke sini, para kreatif sudah mendikte ketegasan Iyet Bustami karena satu alasan; rating.

Kembali ke masalah durasi, D’Academy tergolong paling lebay dalam hal ini. Seorang peserta bisa berdiri setelah menyanyikan lagu selama lebih kurang lima menit sampai satu jam lebih. Pegal-pegal nggak peserta itu? Sayangnya, komentar dari para juri acara unggulan Indosiar ini terlalu melibatkan skenario. Pertengkaran sesama juri yang memperlihatkan “kebodohan” mereka mengenai musik. Juri yang satu menjiplak komentar juri lain. Penilaian tata busana dan make up; ini sama sekali tidak perlu dikomentari di atas panggung. Tugas dari pesolek di belakang panggung adalah memberi sentuhan terbaik mereka kepada wajar peserta dan memasang baju indah pula. Kenyataannya, peserta dibantai habis-habisan karena make up begini atau begitu. Komentar seperti ini bukan untuk ajang pencarian bakan dangdut, melainkan untuk mencari model sampul majalah. Make up peserta D’Academy yang lebih tua dari usianya itu tugas penata rias untuk memolesnya semenarik mungkin. Komentar tentang dua hal ini terus berlanjut sampai sekarang dan tidak penting sama sekali.

Berbeda dengan KDI. Durasi seorang peserta setelah menyanyikan lagu cenderung singkat. Tidak ada pertengkaran sampai seorang juri keluar arena. Komentar mengenai pakaian maupun make up tidak secara berlebihan sampai menyalahkan si ini dan si itu. Jika dilihat make up peserta KDI memang sudah wajar untuk usia mereka. Nilai minus terjadi pada penilaian seorang peserta, si A bisa mendapatkan durasi sampai satu jam, si B bisa hanya setengah jam saja, di A bisa dapat durasi dua scene, si B bisa hanya satu scene saja. Penilaian tidak objektif ini memunculkan perspektif lain bagi penonton maupun bagi para peserta. Memang, KDI meminimalkan derita masa lalu peserta dengan menggali lebih banyak bakat. Penggalian bakat inilah yang membedakan setiap peserta. Si A digali habis-habisan sampai ke akar-akarnya, di B hanya mendapatkan permukaannya saja. Si peserta yang bagus menyanyi akan dibela habis-habisan dengan komentar bagus. Si peserta yang kurang bagus dibantai dengan komentar tak bagus pula. Wajar penilaian demikian terjadi di suatu ajang pencarian bakat. Namun durasi tampil peserta sama sekali tak elok jika mendapatkan perbedaan.

Saya memberi sedikit usulan kepada D’Academy dan KDI.

Pertama, jangan membedakan peserta. Tempatkan peserta pada posisinya sebagai peserta bukan si bagus dan tidak bagus. Kesalahan pemilihan peserta bukan hanya pada voting namun pada pembelaan juri. D’Academy juri berhak memvoting peserta yang sudah tereliminasi. KDI memberikan bintang. Di ajang pencarian bakat lain, voting juri biasanya hanya terjadi satu kali di babak spektakuler/konser.

Kedua, samakan durasi peserta A dan B. Membedakan durasi antara A dan B sama saja menciutkan nyali peserta yang belum tampil. Peserta A digali sampai tuntas, peserta B malah sedikit sekali.

Ketiga, hindari pertengkaran antar juri. Juri “dibayar” untuk menilai secara objektif bukan malah memojokkan peserta dan sesama juri. Pertengkaran yang terjadi menjadikan acara tidak mendidik.

Keempat, kurangi canda tawa. Kedua ajang pencarian bakat ini sudah seperti acara lawak. Malam ini diundang si pelawak ini, si penata rias itu, si peramal ini, si tokoh itu. Canda dan tawa boleh saja di satu acara namun tetap kembali pada deskripsi awal acara tersebut.

Kelima, komentar juri harus benar dan jujur. Peserta bagus ya bagus. Peserta kurang bagus semestinya mendapat masukan berarti. Jangan sampai ada peserta yang tidak bagus di mata empat juri, seorang juri lain malah ngotot mengatakan bagus. Juri terbaik ajang pencarian bakat adalah penonton di seluruh Indonesia. Toh, pemenangan mereka dari akumulasi pesan singkat bukan?

Keenam, tim kreatif. Para punggawa acara ini harus benar-benar mengatur acara jangan sampai keluar dari ranah sebenarnya. Mereka punya andil kuat menyukseskan suatu acara, bukan malah menambah pundi-pundi amal bagi televisi penyelenggara.

Ketujuh, host. Saya rasa, ajang pencarian bakat yang dihiasi lebih dari dua orang pembawa acara tidaklah wajar. Lihat saja D’Academy dan KDI yang tak ubah acara lawak. Para pembawa acara berebutan memegang kendali dan melontarkan kata-kata lucu – bahkan tak mendidik. D’Academy lebih parah sampai ada pembawa acara yang menjatuhkan juri. KDI masih lebih mending karena pembawa acaranya dibagi persesi, tidak semua pembawa acara ikut dalam satu scene.

D’Academy dan KDI masih terus berlanjut sampai babak final. Masih panjang perjalanan mereka. Setting acara yang berlebihan dengan menghadirkan 5 orang peserta permalam adalah untuk memperlama masa tayang. Ironinya, ajang pencarian bakat lain datang menghadang. Siap-siap saja D’Academy maupun KDI menjadi tayangan lucu-lucuan. Ajang pencarian bakat yang telah menjadikan Fatin Shidqia begitu fenomenal adalah X Factor Indonesia. Musim pertama, ajang pencarian bakat ini memperlihatkan profesionalisme penyelenggara dan juri. Komentar-komentar yang dilahirkan pun tidak berlebihan dan durasi fokus pada penampilan peserta saat tampil, bukan pula mengorek-ngorek kehidupan pribadi peserta secara berlebihan.

Kita tunggu saja, sejauh mana D’Academy dan KDI bertahan dalam rating!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun