Islam adalah agama yang penuh rahmat diturunkan atasnya. Sebuah keyakinan yang muncul dengan sepenuh hati bahwa syariat islam adalah satu-satunya solusi kehidupan, akan membawa kaum muslimin sampai kepada jalan mencapai rahmatan lil 'alamiin.Â
Dengan menerapkannya tanpa tebang pilih, setiap muslim akan menyadari bahwa di situlah rahmat dan pengampunan Allah turun sepenuhnya. Sebab salah satu kunci bertaburnya kebaikan dan pengampunan pada suatu negeri, tidak lain adalah dengan menjadikan islam sebagai satu-satunya aturan berkehidupan.
Perspektif demikian pada berikutnya menunjukkan kita pada komitmen untuk menyelaraskan diri berdampingan dengan seluruh aturan islam. Hanya bagi yang mengkaji dan mengakui dengan sepenuh diri, maka islam akan terpantul baik dalam kekayaan intelektual maupun kehati-hatian dalam bersikap. Demikian halnya perspektif mendasar tersebut akan mengantarkan kaum muslimin pada kebutuhan untuk menjadikan islam sebagai standar ukuran dalam bertutur kata, bertindak tanduk, dan bahkan lebih jauh menerapkannya dalam kehidupan totalitas.
Sayangnya, perjuangan menumbuhkan perspektif itu menjadi realita nyatanya tidak semudah merancang gagasan dalam prakteknya. Berkaca dari seluruh kisah perjuangan para pionir sebelumnya, pun tak lepas dari berbagai aral rintangan menerpa dalam prosesnya. Bahkan para Nabi dan Rasul saja, tetap menghadapi batu uji untuk menciptakan kenyataan yang berawal dari sebuah cita-cita bersama sehingga mewujud seluruhnya. Maka generasi hari ini, pun tidak lewat dari cobaan yang akan membuat perspektif impian tersebut bak kehilangan kendali.
Hilang kendali, jika kita hanya terpaku pada mimpi sementara sibuk meminggirkan simpati dan empati pada perkara lain yang lebih mendesak. Hilang kontrol ketika kita lupa pada kepekaan dan justru menyibukkan diri untuk mendikte kesalahan pada kendaraan yang berbeda.Â
Hilang kendali dan kontrol saat kita terlena pada keasyikan untuk mencari nilai benar sendiri dan selalu mengkritisi agenda kebaikan yang lain. Tidakkah Rasul dulu, bahkan membiarkan para sahabat berbeda pendapat dan tidak mematahkan satu atau yang lain selama masing-masing memiliki hujjah yang kuat.
Mungkin kita sudah saatnya harus menyadari, bahwa sebuah perjuangan total tidak mesti merusak anatomi kerja keras orang lain. Barangkali memang, sudah waktunya kita harus paham bahwa berbeda dalam fiqih saja diperbolehkan, apatah lagi berbeda dalam hal yang tak biasa. Dan bukankah, perbedaan pendapat di antara kaum muslimin merupakan khazanah kekayaan fiqih yang nyata?
Kita boleh berjuang dengan pilihan yang diambil, namun tak berarti mendiskreditkan pandangan hukum yang lain sebab tak sama. Kita boleh berusaha giat mempertahankan eksistensi perjuangan, namun cacat kiranya jika gaya yang dipakai justru kian memperkeruh harmoni umat islam. Bukankah, hal itu nantinya malah akan mencederai image perjuangan?
Mari, berjuang tanpa memaksakan kehendak di luar batasan. Marilah, berjuang terus tanpa menganggap sedikitnya perbedaan itu bagai jurang pemisah yang amat tajam. Bukankah kita sama karna diikat oleh aqidah islam? Lantas, untuk apa mempersibuk diri memaksakan segala sesuatu yang sudah jelas dibolehkan untuk berbeda dalam cabangnya.
Yuk, jangan hilang kontrol hanya untuk memperkuat eksistensi diri. Mari, jangan hilang kendali demi untuk memperkokoh penilaian dan kualitas namun lupa telah menanggalkan bagian urgen yang lain. Ingatlah, bahwa hal pokok bukanlah kuantitas perjuangan itu sendiri. Melainkan, menjaga dan mempermanis harmoni dalam internal kaum muslimin justru jauh lebih mendesak saat ini.
Berdamailah, berlapang dadalah, selama bukan perkara aqidah yang dilemparkan. Ingatlah, bahwa perbedaan pendapat itu adalah kekayaan intelektual dan legowo itu indah. Terakhir, semoga pandangan ini membawa maklumat baru bagi kita semua. Wallaahu'alam bisshowaab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H