Ditulis oleh : Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi
Diterbitkan : Lombok Post Edisi 22 April 2018
Sangat disayangkan sekali kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun angkanya semakin meningkat. Hal ini menunjukkan tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tindak asusila yang menyebabkan banyak kaum wanita dan anak-anak jadi korban. Dari tahun ke tahun, tingkat pelecehan dan kekerasan seksual sudah seperti wabah yang menjangkit masyarakat dan sangat sulit dimatikan. Pelakunya seolah diberi tempat, sehingga publik terus merasa was-was dan tak aman dari gangguan. Bahkan yang lebih mengerikan, sarana transportasi menjadi tempat berlangsungnya kekerasan seksual di ranah publik.
Baru-baru ini marak diberitakan berbagai isu pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru agama di Tangerang. Awal tahun 2018 lalu tepatnya, seorang guru agama melakukan kejahatan seksual terhadap anak muridnya. Belakangan ketahuan bahwa modus pelaku untuk memuaskan hasratnya kepada anak-anak adalah dengan cara mengiming-imingi mereka sugesti yang sulit diterima akal sehat. Babe, begitu sapaannya, mengatakan kepada korban yang ditarget bahwa mereka akan mengalami kesialan hidup selama 60 hari apabila menolak diajak berhubungan intim. Di Surabaya, pada Januari 2018 seorang oknum guru juga diberitakan telah mencabuli 7 orang muridnya. (Sumber: Tribunnews.com)
Anehnya, kasus pelecehan seksual marak terjadi di Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim. Dimana seharusnya peran dan pemahaman umat islam lebih besar terhadap ajaran agama, namun hal ini sangat bertolak belakang dengan kesadaran serta ketaatan individu terhadap perintah syariat islam. Akibatnya muncul berbagai tindakan kriminal yang justru sebagian besar dilakukan oleh kaum muslimin. Terutama perkara yang menyangkut kekerasan seksual, pelakunya malah lebih banyak beragama islam, lebih-lebih merupakan para faqih fiddin atau orang-orang yang pandai dan mahir dalam urusan agama.
Fenomena memilukan tersebut menunjukkan bahwa angka pelecehan seksual tidaklah murni disebabkan kurangnya pemahaman seseorang, sebab orang-orang yang paham pun justru ikut terjebak dalam kubangan kemaksiatan. Tidak bisa dikatakan juga bahwa nafsu atau syahwat seseorang menjadi penyebab utama munculnya dorongan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak-anak sebagaimana yang dikampanyekan kaum feminis. Namun ada hal lain yang harus dipahami sebagai trouble maker segala permasalahan terjadi.
Dalam sistem sekuler, wanita misalnya, dipaksa melepaskan kewajiban pokok sebagai Ibu pengatur dan pengurus rumah tangga. Mereka dipaksa berkarir di ranah publik, sehingga waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengejar kebahagiaan semu berupa materi, bukan malah berlomba-lomba memenuhi fitrah dan tanggungjawab terhadap suami dan putra-putrinya. Padahal ini wajib disadari oleh kaum Ibu sehingga tidak latah menjadikan konsep feminisme dalam ranah kapitalisme saat ini sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, sedangkan keamanan dan kenyamanan seorang wanita adalah di dalam rumah-rumahnya menjadi pendidik generasi sekaligus istri yang terjaga kehormatannya secara mulia.
Alih-alih melindungi, padahal sejatinya sistem sekuler justru menjadi indikasi bahwa sebaik apapun pemahaman agama seseorang tetap beresiko menjadi pelaku sekaligus penikmat kejahatan.
Sistem demokrasi bukan mendukung ketakwaan pribadi, namun justru menyediakan praktek-praktek prostitusi legal di muka umum. Perzinahan dilegalkan, LGBT diberi tempat, bahkan bandar miras dan perjudian tidak diberi sanksi. Dampaknya masyarakat senang melakukan kemaksiatan secara berkelompok karena didukung oleh kebijakan yang tidak pro terhadap ketaatan juga ketakwaan individu. Akhirnya muncul penyematan-penyematan mengerikan pada diri orang-orang yang dianggap bersih dan sholih.
Lebih-lebih pemerintah abai dan terkesan seperti membiarkan permasalahan ini berlarut-larut tanpa memberikan kepastian hukum bagi para pelaku. Tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelaku di depan hukum Indonesia, wajar muncul kejadian-kejadian serupa yang tak kalah mengerikan di tempat lain.
Bak berpangku tangan, pemerintah tidak ubahnya seperti penonton di stadion bola yang hanya sibuk berteriak akan menyelesaikan permasalahan namun tak kunjung turun ke lapangan pembinaan. Lantas, tak ada solusi yang benar-benar menghanguskan problematika yang menimpa kaum wanita dan anak-anak.
Perempuan dan generasi Indonesia perlahan hanya menjadi objek seksual mata-mata jahat pihak yang tak bertanggungjawab. Singkatnya, pemerintah memang sengaja menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi para mafia seksual untuk melancarkan nafsu bejatnya tanpa harus ketakutan berhadapan dengan payung hukum. Penguasa sebagai pengendali tertinggi dalam sebuah Negara sudah sepatutnya menjadi pengontrol paling ketat yang mampu memberikan cambuk bagi hukum di negerinya. Sayangnya, kepalsuan sistem hari ini membuat para penguasa seolah berdiam diri dan tak ikut berkontribusi menangani kejahatan seksual yang makin lama membuat sekarat kaum wanitanya.
Padahal seorang wanita adalah tonggak peradaban, apabila kaum wanita sengaja dirusak untuk kepentingan syahwat, maka rusak pulalah panggung Negara. Artinya, perlu kesadaran kuat dalam diri penguasa untuk lebih serius dan sungguh-sungguh menghadirkan sebuah sanksi hukum dan sistem politik yang mampu mengurusi urusan umat, terutama menjamin harga diri dan kehormatan kaum perempuan yang rentan menjadi korban eksploitasi.
Dalam hal ini eksploitasi wanita seolah dianggap hal yang biasa, berikutnya pihak perempuan dikapitalisasi hak dan kewajibannya oleh dunia materi semata. Wanita terjerat kebutuhan mengumpulkan materi, sehingga menggadaikan kemolekan wajah dan fisik mereka di hadapan sistem kapitalisme yang cacat ini. Kaum Ibu dipaksa memuaskan hajat seksual lelaki hidung belang, bahkan mereka dijadikan komoditi pasar sebagai model iklan hingga artis catwalk untuk dipertontonkan kecantikan tubuhnya.
Kebiadaban atas nama keuntungan materi menyebabkan rendahnya derajat seorang wanita oleh kebusukan demokrasi yang mengatasnamakan nilai seni aurat wanita sebagai pundi peraih untung. Padahal hakikatnya seorang wanita tidak boleh menanggalkan pakaian kemuliaannya dengan menghabiskan waktu di luar rumah, oleh karena itu tugas seorang wanita adalah menjadi ummu warabbatulbait bagi pemimpin di rumah dan mempersiapkan tumbuhkembang generasi.
Sayang sekali, demokrasi telah dengan sengaja memisahkan kehidupan kita secara total dari agama. Lalu bagaimana akan muncul ketakwaan selama hidup dalam sistem demokrasi yang memisahkan kehidupan dari agama?
Pembinaan dan penguatan secara akidah dan pemikiran serta kepribadian umat terjamin dalam islam, sehingga menghasilkan karakter masyarakat yang jauh dari maksiat. Selain itu, islam menyediakan sanksi yang sangat tegas bagi siapapun yang nekat bermaksiat dan memberikan efek jera bagi pelakunya melalui hukuman cambuk atau rajam sampai mati. Dengan tafsir lain, tidak akan muncul pelaku kejahatan seksual dalam sistem islam yang mengandalkan daya kontrol dan pelaksanaan sanksi terketat bagi setiap individu yang dipimpin. Bahkan akan menjadi garansi ketaatan serta ketakwaan bagi siapa saja, karenanya islam cocok dan tepat diambil sebagai solusi atas kejahatan seksual yang masih belum bisa ditangani oleh rezim penguasa hari ini.
Dengan demikian penguasa wajibnya melek ada kekuatan sistem yang lebih baik yang terjamin sanggup menjadi pemimpin dari semua sengketa seksual khususnya. Layaknya islam sebagai kepemimpinan yang berperadaban, ia akan memiliki sistem hukum yang ketat dan menjadi control of abuse di tengah masyarakat yang rusak.
Kekuatan sistem islam ibaratnya sebuah wadah yang bersih dan menampung jutaan kubik air yang jernih, maka jika individu rusak masuk ke dalam sistem tersebut akan terjamin ketaataannya. Berbeda dengan wadah yang kotor, maka orang sebaik malaikat pun akan rusak dibuatnya. Inilah yang harusnya dipahami dan dipertimbangkan oleh para penguasa, agar menerapkan sistem terbaik yang berada di tengah-tengah mereka untuk menjamin kontrol maksiat dan meningkatkan ketakwaan individu.
Maka mustahil dari sebuah sistem yang baik akan muncul virus pelecehan seksual bak hujan es, sebaliknya akan melahirkan generasi yang memiliki ketaatan sempurna terhadap Tuhannya. Sudah saatnya kita memahami bahwa hanya sistem islam yang mampu menjadi pengendali sekaligus kontrol bagi masyarakat dari aktivitas maksiat yang dibenci Allah dan RasulNya. Sekaranglah waktunya kita membuka mata untuk menghadirkan sistem pemerintahan islam yang akan mewadahi ketaatan individu agar perilaku bejat masyarakat terkontrol dan terkendali secara ketat oleh Negara. Ringkasnya, Khilafah akan sanggup menjamin ketaatan dan ketakwaan umat secara menyeluruh. Wallahualam bisshowab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI