Penulis : Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi
Diterbitkan : CendekiaPos
Berita naiknya iuran tarif BPJS kesehatan hingga dua kali lipat, bagai buah simalakama. Mahkamah Agung pada tahun 2019 sempat menghentikan kenaikan biaya preminya, tetapi aturan tersebut tiba-tiba dibatalkan. Hal ini disebabkan utang BPJS ke Rumah Sakit sudah mencapai tahap paling kronis, hingga membengkak di kisaran angka hampir 14 Triliun. Defisitnya keuangan BPJS inilah yang mengakibatkan lembaga asuransi kesehatan ini menaikkan pula presentase denda bagi para penggunanya. (sumber: kompas.com/14 Mei 2020)
Pemerintah agaknya telah kehabisan akal dan nalar di masa pandemi, padahal beban ekonomi rakyat sudahlah sangat mengkhawatirkan. Terbukti data dari 21 juta peserta BPJS, hanya 11 juta orang yang aktif membayar iuran tetap berkala. Pengetatan kenaikan denda pun dirasa penting dan genting, sehingga level bunga dinaikkan 5 % apabila terlambat menyetorkan premi. Padahal dalam pasal 38 tentang jaminan kesehatan, kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat. (sumber: detik.com/19 Mei 2020)
Kenaikan iuran dan denda ini sekilas terlihat tidak begitu signifikan, akan tetapi tetap memberikan pengaruh yang berbahaya bagi masyarakat. Berbahaya karena akan menjadi ancaman, bisa jadi pemerintah justru akan terus-menerus menaikkan premi setingkat demi setingkat. Bagi pemakai fasilitas kelas 1 saja diharuskan menyetorkan iuran sebesar Rp. 160.000 dari sebelumnya Rp. 80.000; disusul kelas 2 naik dari Rp. 51.000 ke angka Rp. 110.000; dan kelas 3 akan mengangsur premi per bulan menjadi Rp. 42.000 dari setoran awalnya Rp. 25.500 (sumber: cnn.com/14 Mei 2020)
BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan hari ini menjadi polemik. Untuk mendapatkan pelayanan fasilitas kesehatan yang memadai, rakyat dipaksa membayar iuran setiap bulan sesuai kemampuan finansialnya. Alhasil, muncul kesenjangan sosial yang luarbiasa besar di depan kita, akibat diterapkannya sistem kelas yang nyatanya tidak kunjung mendatangkan solusi. Alih-alih mencari jalan keluar, pemerintah justru terkesan semakin membebani rakyat dengan tarif premi yang kian mencekik.
Belakangan, masyarakat mulai banyak yang tersadarkan dengan kerugian bertransaksi dengan sistem jamkes tersebut. Dimulai dari berkembangnya banyak aksi protes yang mengeluhkan lemahnya pelayanan BPJS, seiring naiknya jumlah iuran, tetapi tidak diseimbangkan dengan peningkatan layanan kesehtan. Hal ini tentu sangat disayangkan, terlebih Negara sebagai pengatur urusan umat lemah dalam menjamin sistem kesehatan yang memuaskan. Oleh karena itu, wajar masyarakat terus menuai kekesalan akibat pelayanan buruk yang diterima sementara pemerintah tidak pernah memperbaiki manajemen jamkesnya.
Tampak jelas sebenarnya Negara abai terhadap urusan kesehatan warganya. Bukan tidak ada anggaran untuk memberikan pelayanan kesehatan yang sempurna, namun Negara memang bersikap seperti kapitalis. Terus saja memalak masyarakat dengan strategi-strategi yang tidak logis. Dengan dalih membuat keuangan BPJS surplus, rupanya strategi ini bak umpan yang dilempar sebagai langkah cepat untuk menyejahterakan punggawanya sendiri. Bahkan gaji Direktur BPJS pun sangat menggiurkan, tentu masyarakat akhirnya menilai kenaikan premi ibarat menggemukkan rekening gendut The Big Boss, sementara ada rakyat yang terancam nyawanya jika tidak membayarkan premi tepat waktu.
Di sisi lain, untuk menekan angka defisit BPJS, pemerintah mengira bahwa kenaikan premi merupakan solusi paling akhir untuk mengeluarkan tim medis dari penderitaan jangka panjang. Ada gaji-gaji tim pemberi layanan kesehatan yang belum selesai dibayarkan, begitu pula tunggakan pembayaran obat dan alat penunjang kesehatan yang belum selesai dilunaskan. Menyorot kerugian yang sangat besar itu, pemerintah bersepakat menaikkan iuran premi dua kali lipat. Bukan sembarang keputusan, tentunya ini menjadi momok yang sangat mengancam ketenangan masyarakat.
Mempertimbangkan berbagai persoalan yang menimpa dunia kesehatan, tentu kita tidak bisa lagi mempercayakan urusan fisik kepada pemerintah yang telah mengabaikan peran sertanya. Sebagai pengurus hajat hidup orang banyak, langkah kongkrit yang semestinya dilakukan adalah segera menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan primer. Namun kenyataannya berbanding terbalik, Negara justru menghalangi hak setiap orang mendapatkan layanan kesehatan. Ini dikarenakan pemerintah memandang kesehatan sebagai elemen ke sekian, tidak menjadikannya sebagai kebutuhan pokok masyarakat.
Tidak cukup dengan mengadakan perbaikan manajemen JKN, pemerintah perlu serius menangani persoalan ini dari akarnya. Kesenjangan masalah sosial dan kesehatan yang sengaja diciptakan oleh BPJS hari ini, merupakan akibat dari tidak sungguh-sungguhnya Negara memainkan peran sebagai pelindung rakyat dari segala jenis penyakit. Sedangkan problematika kesehatan global dewasa ini tidak lain timbul akibat dorongan sistem yang amburadul, tidak memiliki target yang jelas, sehingga berdampak pada persoalan lainnya.
Kebobrokan sistem kapitalis yang mengeruk sebesar-besarnya keuntungan dari rakyat adalah akar permasalahan negeri ini, maka diberlakukannya sistem asuransi kesehatan seperti BPJS bukan malah mengeluarkan kita dari jeratan, namun menambah pundi masalah. Laba diperuntukkan bagi pemilik modal, sedangkan rakyat terbebani dengan akses kesehatan yang buruk. Sederhananya, orang miskin tidak boleh sakit. Sebab untuk berobat biayanya mahal, perlu menyicil kepada Negara sebagai bentuk jaminan pembayaran jangka panjang. Lagi-lagi, rakyat kecil yang jadi korban dari keganasan sistem demokrasi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!