Mohon tunggu...
Baiq Dwi Suci Anggraini
Baiq Dwi Suci Anggraini Mohon Tunggu... Membaca, menulis, berbagi dan publikasi. -

Praktisi pendidikan, Penulis dan Editor buku. https://www.inspirasi.co/baiqdwisuci/ https://www.instagram.com/baiq_dwisuci/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Remaja Nakal, Butuh Evaluasi Sistemik

16 Desember 2017   20:07 Diperbarui: 16 Desember 2017   22:18 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Facebook Muslimah NTB Bersyariat

Semangat pemerintah mengutus remaja sebagai duta bahasa, duta budaya, atau duta anak untuk dijadikan ikon pemuda masa kini boleh diapresiasi, karena itu para remaja saling berlomba membuat diri mereka berprestasi untuk tampil unggul dengan segudang potensi. Tidak mengherankan banyak remaja Indonesia berminat menjadi yang terdepan dalam hal apapun, termasuk unggul bagi diri dan sekitarnya. 

Tapi kita tidak bisa menutup mata dari keberadaan remaja yang akhir-akhir ini malah merugikan pemerintah. Saat remaja lain sibuk beradu ketangkasan dan uji kecerdasan, kita tidak bisa menutup pandangan bahwa banyak remaja Indonesia yang kehadirannya justru membuat rugi banyak pihak.

Sudah menjadi pemandangan biasa di Indonesia, remaja di beberapa daerah ditemukan mengkonsumsi zat adiktif dan terpaksa ditahan dalam sel tahanan hingga masuk ruang isolasi, disinyalir obat-obatan terlarang tersebut merusak saraf yang menimbulkan efek hilangnya kesadaran, lalu berujung pada kematian bagi penderitanya. Remaja-remaja pengkonsumsi zat terlarang ini berturut-turut ditemukan tergeletak di tengah jalan, tingkah lakunya persis orang yang hilang kewarasan, bahkan berita yang lebih memilukan yaitu beredarnya pil-pil berbahaya tersebut oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. 

Terang-terangan mereka mendapat untung untuk memuaskan kebahagiaan pribadi, namun cuek pada penyakit yang dialami korban akibat meneguk zat pengacau itu. Remaja pun kalap, mudah tergiur hingga akhirnya mati oleh ulah mereka sendiri.

Menyikapi hal tersebut, kita tidak bisa sepenuhnya menyudutkan remaja yang telah menghancurkan diri mereka sendiri. Ada peran tinggi pemerintah disini sebagai tameng yang berwenang mencegah peredaran produk-produk perusak generasi. Utamanya, pemerintah sebagai pembina dan pendidik remaja harus serius menanggapi isu kenakalan remaja. 

Sebab dengan merawat remaja berarti menyiapkan resolusi perubahan bangsa ada di tangan mereka dengan tidak membiarkan generasi ini hancur karena minimnya pengurusan oleh Negara.

screenshot pribadi
screenshot pribadi
Di lain sisi, pemerintah menjadikan remaja sebagai salah satu prioritas untuk membangun bangsa yang berkemajuan ekonominya secara kasat mata. Salah satu aktivitas pemerintah dalam berdemokrasi adalah menguatkan perekonomian negeri melalui pembentukan remaja-remaja yang materialistis. Fakta miris tersebut tidak bisa dianggap remeh dengan sebelah mata, sedangkan tak dapat dipungkiri remaja adalah agen perubahan yang digadang mampu mengokohkan eksistensi peradaban. 

Sayang, demokrasi sekarang tidak suka memberi tempat bagi remaja yang senang melakukan revolusi secara totalitas. Mereka lebih senang melahirkan remaja yang gemar menghamburkan waktu, energi dan pikiran di pusat perbelanjaan, wahana hiburan, larut dalam aktivitas hura-hura. Aktivitas ini melenakan remaja sehingga rentan terkena wabah muda foya-foya, matinya sia-sia.

Remaja stress putus dari pacarnya dianggap wajar, remaja bunuh diri akibat gagal UN dinilai biasa saja, remaja terus-menerus terjerat narkoba dipandang bukan persoalan genting, remaja kehilangan jati diri diartikan tak berharga, remaja depresi setelah di-bully teman di sekolah pun hanya menjadi pemantik bibir, dan masih banyak lagi berita terhangat yang membuat panas telinga masyarakat akibat kenakalan remaja masa kini. 

Dampaknya gaya hidup remaja kekinian dipandang bak monster mengerikan bagi stakeholder yang bergerak membebaskan Indonesia dari jeratan remaja nakal. Ketakutan tersebut lumrah disebabkan fakta yang tampak adalah remaja menjadi sasaran empuk pegiat modernisasi barat.

Indonesia pun dengan berbagai latarbelakang pemuda tak lepas dari target modernisasi oleh negeri demokrasi. Kota-kota besar tak luput terkena dampak arus perubahan gaya hidup modern, justru remaja di pedesaan ikut terjangkit perilaku hidup yang hedonis ala kebarat-baratan. 

Menilai segala sesuatu berdasarkan uang, siapa yang paling kuat finansialnya dengan gampang mengikuti tren berbusana atau berkelakuan dan berbudaya kebarat-baratan. Rupanya pemerintah tidak dapat membendung gejolak modernisasi pada remaja, akhirnya kalang kabut ketika generasi milenial ini terkapar di atas pesakitannya.

Pemerintah tidak boleh abai terhadap kehidupan remaja yang sedang dijadikan target kerusakan moral. Sering tidak disadari upaya Negara-negara dengan kekuasaan ekonomi terkuat saat ini menyengaja terjadinya perusakan remaja agar buruk citra, identitas, dan masa depan mereka sehingga jauh dari visi perubahan yang kita dambakan bersama.

 Tidak sedikit akhirnya remaja beranggapan suram terhadap keadaan dirinya di masa mendatang, mencari-cari sebab kesalahan atas rusaknya masa depan mereka pada pihak diluar dirinya (teman sebaya dan orangtua). Padahal sejatinya pemikiran juga telah merusak visi mereka tentang masa depan. Sehingga generasi milenial ditantang untuk berperang dengan pemikirannya agar tidak terjebak arus perubahan yang tidak berlandaskan norma dan nilai agama, misalnya.

Kenyataannya emaja tanpa misi perubahan hidupnya senantiasa ter-instal oleh pemikiran dan gaya hidup yang jauh dari solusi perubahan. Berikutnya remaja hanya akan menjadi generasi pembebek yang suka mencatut teladan perilaku dari budaya Barat yang diidolakan, padahal nyata-nyata sang idola tidak sanggup menyumbang manfaat apa-apa bagi yang mengidolakannya. 

Namun remaja sekarang sengaja memilih tenggelam bersama gaya hidup kebarat-baratan yang selalu diagungkan, padahal justru penguasa negeri barat tidak banyak memberi sumbangsih perubahan moral kepada mereka melalui virus berkedok modernisasi. Tepatnya, remaja sebagai generasi milenial baiknya punya semangat militansi untuk lebih peduli pada keadaan sekitar. 

Andaikata remaja tumbuh dalam lingkungan yang termanajemen oleh peraturan dan tata tertib, maka mereka akan mengembangkan kepribadian positif dan mengoptimalkan potensi diri demi kemaslahatan sekitar.

Dalam pandangan penulis, hubungan remaja dengan teman sebaya merupakan salah satu elemen terpenting yang memiliki pengaruh terpenting dalam perkembangan dirinya. Teman sebaya biasanya banyak memberikan kontribusi bagi kehidupan remaja, baik untuk masa sekarang atau masa mendatang. Dalam hal ini, remaja mestinya selektif dalam memilih teman bermain dan belajar. 

Tidak hanya sebagai teman membangun cita-cita, teman sebaya diyakini mampu membawa arus perubahan karakter kepribadian seseorang. Karenanya, individu remaja perlu memahami dengan siapa mereka berinteraksi.

Lingkungan lain diluar remaja memegang andil yang cukup besar. Orangtua khususnya, keduanya bertanggungjawab mendidik anak remaja mereka dengan pemahaman dan nilai-nilai kebaikan. 

Nilai moral yang disentuhkan kepada remaja akan mengontrol mereka dalam bergaul dengan teman sebaya ataupun saat berorganisasi. Sedangkan orangtua yang membekali anak dengan ilmu akhlak dan adab yang luhur beresiko rendah menghasilkan remaja menyimpang. 

Dengan kata lain, remaja perlu dukungan penuh orangtua dalam membimbing dan mengontrol setiap tindak tanduknya. Kedua orangtua adalah guru terbaik yang nantinya melahirkan murid-murid beradab dan berakhlak mulia.

Sayang sekali, orangtua di era digital lebih banyak mempercayakan kontrol putra-putri mereka kepada sekolah sebagai satu-satunya pendidik utama. Tak salah pepatah populer berbunyi, buah tak jatuh jauh dari pohonnya. 

Meskipun premis ini tak lantas bisa dijadikan generalisir untuk membenarkan semua remaja mengikut perilaku orangtua, tetapi cukup ampuh dijadikan patokan bahwa generasi yang baik biasanya lahir dari orangtua yang lebih baik. Menjadi orangtua berarti siap menyelesaikan amanah sebagai pengajar sekaligus pemimpin bagi remajanya, agar mereka tidak mudah terjerumus pada lubang kemaksiatan. Orangtua memiliki posisi penting dalam menentukan identitas dan kepribadian remaja.

Peranan faktor eksternal bagi remaja begitu besar, sampai-sampai remaja diprediksi masa depannya hanya dengan melirik bersama siapa dan dengan apa ia berkembang. Jika remaja tumbuh dengan kasih sayang, bisa dipastikan ia akan memiliki ciri khas berbahasa yang santun, sopan dan penuh tata krama. Jika remaja tumbuh dengan cacian atau makian, jangan salahkan kelak mereka cenderung bergaya premanisme dan banyak meresahkan orang lain. 

Begitu pula jika remaja tumbuh didalam lingkungan yang penuh nasehat dan teguran agar selalu menjadi tangguh menghadapi tantangan zaman, kita optimis mereka akan punya masa depan yang cerah. Untuk itu, pihak diluar diri remaja sebagai suri tauladan dituntut menyumbangkan pola asuh dan pola ajar yang sesuai dengan kebutuhan remaja kekinian.

 

Pemerintah Harus Serius Membina Remaja

Sebab musabab problematika remaja di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah yang sistemik sebagai pangkal tonggak perubahan generasi. Apabila kebijakan yang lahir mendukung remaja giat berprestasi dan berevolusi, kita tidak usah kerepotan menakar dan mengukur jumlah kenakalan mereka setiap hari. 

Namun sayang, berbagai kasus merebak menimpa remaja, mulai dari kasus married by accident; bullying, atau bahkan remaja tak lepas dari kondisi menyakitkan sebagai korban kehancuran rumah tangga orangtuanya. Hatta sampai saat ini, remaja Indonesia yang paling banyak menyumbangkan problem sosial kriminal di Indonesia, akibatnya kenakalan remaja merupakan sebuah permasalahan sistemik yang mestinya diselesaikan dengan solusi sistemik.

Menghadapi kasus kekerasan di rumah, sekolah, atau tawuran antar pelajar misalnya, pemerintah dapat secara bijak menggunakan kekuatan mereka untuk melakukan pencegahan dan pembinaan lebih intens terhadap remaja Indonesia. 

Bukan tidak mungkin kedepan remaja berterimakasih jika sistem pemerintahan memberi ruang dan fasilitas bagi mereka untuk menyalurkan potensi pada tempatnya, bukan malah menyediakan bangku kosong bagi remaja hanya ketika mereka telah genap berusia 17 tahun lalu digadang sebagai peserta penyumbang suara terbesar saat pemilu. 

Pada akhirnya remaja akan merasa bahwa dirinya tak diurusi secara sungguhan oleh pemerintahan ini, karenanya mereka hanya dipakai saat usianya telah sampai pada angka 17 dan telah dapat difungsikan suaranya untuk memilih konstituen peserta dari partai-partai politik. Ketidakseriusan pemerintah dalam membina generasi muda ini kemudian menimbulkan ketidakoptimisan dalam diri remaja untuk hijrah lebih baik.

Yang dipahami remaja saat ini adalah permainan politik terlalu basa-basi menggunakan hak bersuara mereka ketika diperlukan sekedarnya, setelah itu pemerintah abai pada langkah pemberantasan Bandar narkoba contohnya, padahal dengan melanggengkan pelaku kejahatan hanya akan menambah buruk angka kenakalan remaja. 

Ringkasnya, remaja rentan tak terkontrol jika pemerintah tak serius membereskan problematika sistemik dalam tubuh mereka sendiri. Remaja nakal akibat buruknya sistem mengurus mereka, akibatnya hanya meningkatkan kualitas buruk remaja Indonesia. Hematnya, evaluasi serius pemerintah secara sistemik ampuh membantu remaja lepas dari jeratan kenakalan.
***

Penulis adalah Pemerhati Remaja

Opini diterbitkan Harian Suara NTB, 15 November 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun