Kegembiraan Bayu saat menerima kacamata baru pengganti yang lama (dok.pri)
Sebenarnya ini bukan masalah baru. Terlalu banyak pendapat, baik oleh masyarakat awam hingga para pendidik sendiri bahwa guru atau pendidik terlalu diributkan oleh masalah antara mendidik dan mengajar.
Teori-teori pendukung tak perlu saya jelaskan panjang lebar. Toh nyaris semua orang tahu. Saya hanya akan berbagi sedikit pengalaman bahwa ada hal lain di samping mendidik dan mengajar, yakni kepedulian.
Ada dua siswa kami, Bayu kelas 9 dan Demawan anak kelas 7. Kedua anak ini dilihat dari sisi akademis biasa-biasa saja. Mereka memiliki persamaan, yakni mengalami gangguan penglihatan.
Si Bayu memang sudah diketahui bapak ibu guru kalau mengalami masalah pada indera penglihatannya karena anak ini selalu menggunakan kacamata di saat pelajaran. Namun, kacamata yang dipakainya sudah tidak layak. Kadang jatuh sendiri karena sudah kendur akibat patah gagangnya dan Cuma di-Lakban.
Perlu diketahui, memang, sejak sekolah kami berdiri tahun 1994, anak yang menggunakan kacamata hingga tahun 2016 bisa dihitung jari. Entah apa karena maraknya gadget, tahun ini ada 2 anak berkacamata dari 380-an siswa. Bagaimana dengan si Demawan yang kelas 7? Nah anak ini saat masuk sekolah kami belum menggunakan kacamata.
Namun, salah seorang rekan guru mengamati bagaimana anak ini kesulitan melihat tulisan atau gambar di papan tulis. Tulisan yang dibuatnya pun terkadang gak klop dengan yang ada di papan tulis. Selidik punya selidik ternyata anak ini sudah mengalami gangguan penglihatan sejak SD. Akhirnya, beberapa rekan guru sepakat untuk “membantu” kedua anak ini.
Saat ini tawaran “KIR” mata dari sebuah optik, kedua anak ini ikut diperiksa. Alhasil, dipastikan bahwa si Bayu harus ganti kacamata baru dan Demawan harus mulai menggunakan kacamata. Sekitar seminggu, kacamata itu jadi dan kedua anak itu dipanggil. Dan rekan kami, ibu Sri Mariyah menyerahkan langsung kacamata buat kedua anak itu. Wajah kaget bercampur gembira terlihat di wajah kedua anak itu.
Lalu, di sekolah kami pun ada beberapa siswa yang mengalami gangguan secara fisik (meski belum digolongkan ABK atau Anak Berkebutuhan Khusus). Ada beberapa anak yang mengalami gangguan bibir sumbing dan gangguan berjalan akibat Polio saat masih kecil. Namun, berkat dorongan semua bapak ibu guru kedua anak ini sama sekali tidak menunjukkan rasa rendah diri alias minder.
Putri yang mengalami gangguan pada bibirnya meraih juara 3 Olimpiade Matematika di kabupaten sedangkan Indira yang mengalami gangguan pada kaki menjadi juara 2 olimpiade tingkat kabupaten.
Setelah itu, kedua anak ini kian termotivasi dalam belajar. Bahkan, di kelas mereka termasuk siswa yang aktif untuk semua mata pelajaran.
Apa artinya dari kedua contoh di atas? Kepedulian ... Ya, kepedulian. Sepintar apa pun guru. Secerdas apa pun anak. Kasih sayang antar keduanya tak akan terjadi andai kepedulian itu tidak ada. Jadi, kenapa kita hanya sibuk berkutat di antara perdebatan MENGAJAR dan MENDIDIK? Apalagi cuma masalah Nilai UN.... Nggak banget!
........
Poentjakgoenoeng, 1-mei-2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H