Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Jihad Akbar dan Terbelenggunya Setan

8 Mei 2019   16:09 Diperbarui: 8 Mei 2019   16:33 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : nu.or.id

Akan tetapi dalam sabda Rasulullah SAW juga disebutkan banyak yang menjalani rutinitas tarawih tetapi "mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan lelah dan terjaga". Ini bisa kita tangkap maknanya dan menjadi introspeksi diri kita sendiri apakah shalat tarawih kita hanya mengikuti alur ataukah memang ada kenikmatan ibadah yang kita rasakan, alih-alih terhindar dari sekedar lelah dan terjaga. Makna tarawih dari uraian kesemuanya di atas memang tidak semudah itu akan kita rasakan, namun kesadaran kita secara perlahan dalam menjalani ibadah setidaknya akan membekaskan itu dalam diri kita untuk terus semakin dipupuk, dan dilatih pula dengan shalat sunah lainnya.

Kesadaran Sebenarnya (True Consciousness)

Hasrat untuk menjalankan ibadah karena perintah Allah dalam agama Islam secara sadar sangat penting untuk kita tanamkan pada generasi muslim sejak dini sehingga ibadah yang mereka biasakan bukan sekedar tunaikan kewajiban, akan tetapi ada kenikmatan yang mereka jadikan dasar untuk itu. Alih-alih untuk mengejar pahala yang bertumpuk-tumpuk, namun keikhlasan secara sadar untuk menjalankan ibadah sebagai yang terpenting, meski pembiasaan ikhlas dalam beribadah itu pun bukan perkara mudah, bukan pula perkara mustahil. Di sinilah pentingnya juga tradisi berpikir bagi generasi muslim untuk memahami agama secara sadar bukan sekedar mengikuti warisan turun temurun yang mereka lihat.

Dalam konteks puasa kesemuanya bisa menjadi arena pembelajaran untuk jihad akbar yang dimaksud. Bukan hanya jihad melawan nafsu, jihad memerangi kebodohan yang mengungkung masyarakat muslim yang semakin terbelah dan saling menyalahkan, saling berkubu-kubu, juga menjadi inti dari kurikulum puasa kita. Sebaran provokasi sampai ujaran kebencian yang masih terus kita konsumsi ataupun kita produksi semestinya pada bulan Ramadhan ini menjadikan kita selalu muhasabah (introspeksi) diri dengan kekeliruan-kekeliruan yang masih menyelimuti kita dan tidak kita sadari. Bukan lagi mencari pembenaran dengan menyatakan secara gamblang untuk menegakkan kebenaran, bahkan tabayyun pun belum kita lakukan.

Sedang pada era yang disebut post-truth ini pun kebenaran yang diyakini secara emosional dan sesuai dengan kepentingan golongan itulah yang dijadikan kebenaran mutlak. Michel Foucault seorang filsuf Prancis pernah menyebutkan juga kebenaran itu hanyalah masalah sudut pandang, terlebih dalam konteks era disrupsi sekarang ini, media yang partisan, selalu mengklaim kebenaran dari sudut pandang mereka sebagai yang paling absah, tak peduli ada hal-hal yang perlu dijadikan pertimbangan atas klaim kebenaran itu.

Akan tetapi kebenaran dalam agama, dan perintah-perintah Allah SWT itulah kebenaran mutlak, meskipun ada praktik-praktik berbeda dalam menjalankan kebenaran itu, setidaknya kita semua telah melaksanakan dan menegakkan kebenaran itu. Sementara kebenaran persepsional dalam hal duniawi itulah yang memerlukan tabayun dan pertimbangan manfaat dan mudharatnya. Ini pun juga bagian dari jihad akbar dalam konteks yang kita mulaikan dari arena Ramadhan.

Pada intinya Ramadhan sebagai bulan pembelajaran menyajikan kurikulum-kurikulum perenungan yang masing-masing kita tentunya memiliki cara dan sudut pandang yang berbeda menyikapinya. Akan tetapi kenikmatan yang hakiki di bulan Ramadhan selain dengan berbuka, juga merupakan upaya menabung kebaikan-kebaikan yang menjadi amal kita, serta perburuan keberkahan di bulan Ramadhan menjadi pelecut untuk semakin mendekatkan diri pada illahi.

Selain puasa sebagai ibadah, tak jarang banyak yang mengungkap dari sisi medis bahwa puasa juga merupakan upaya menyehatkan tubuh dengan berlapar-lapar dahulu itu sebagai bentuk istirahatnya lambung dalam proses metabolisme, lalu recovery atas sel-sel yang mati ketika berbuka menjadikan sistem imun tubuh lebih kuat terhadap berbagai penyakit. Akan tetapi tentu bukan hanya itu yang menjadi tujuan kita berpuasa, keikhlasan dan mengharap ridha Allah itulah niat utama. Niat itu melebihi niat jihad melawan nafsu ataupun niat membelenggu syaitan melalui puasa kita.

Puasa sebagai medium pembelajaran rohani dan semakin mendekatkan diri pada illahi tentunya menjadikan kita tidak sekedar berpuasa menunaikan kewajiban, tetapi tujuan besar dari pembelajaran-pembelajaran itu adalah gelar Takwa yang hanya Allah semata yang berhak menyematkan dan menilai, bukan makhluk, apalagi diri sendiri.

*Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Nahdhatul Wathan Mataram, NTB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun