Kepuasan semu dengan menjadi bagian dari acara kajian berbayar dengan pemateri populer tersebut dituangkan dengan histeria melalui media sosial yang terwujud dalam bentuk selfie, foto bareng, ataupun kutipan-kutipan dari pemateri yang dijadikan caption yang sesuai dengan kondisi emosional mereka sebagai konsumen dari penyedia jasa atau EO yang mengadakan kajian tersebut.
Artinya, EO yang menjual jasa dengan komoditi berupa sajian dari pemateri populer tadi tidak sepenuhnya salah terlebih jika masih ada upaya sebagai bagian dari niatan hijrah yang mereka jadikan sebagai modal utama menarik massa atau konsumen.
Akan tetapi kesadaran konsumen, dalam hal ini masyarakat muslim sebagai penikmat acara kajian tersebut, juga patut dipertanyakan apakah itu sebagai nilai gengsi (prestige) dengan kehadiran mereka sebagai bagian dari acara, ataukah memang niatan-niatan hijrah yang tertanam justru menemukan pupuknya melalui acara-acara seperti itu, meskipun berbayar dan isinya pun tak lepas dari pada romantika-romantika cinta dengan bungkus islami yang menjadi tagline hijrah tersebut.
Jika merujuk ke awal tentang zuhud, fenomena ketika maraknya kajian berbayar ini jelas-jelas sudah jauh dari kategori zuhud yang juga sebagai dasar dalam pendidikan kehidupan masyarakat muslim. Bahkan, pengkategorian Syar'i atau tidaknya gaya berpakaian masyarakat muslim saat ini pun sudah ditentukan oleh pasar yang menyasar mereka.
Bisa dibayangkan dengan satu set perlengkapan gamis sampai jilbab dari perempuan muslim yang paling murah dalam urusan style ini bisa mencapai 300 ribuan, dan itu yang dikategorikan syar'i oleh para penjual yang berseliweran juga di media sosial sekali lagi dengan caption hijrah juga. Semakin menarik perhatian baik warna, ataupun desain dari pakaian yang dikategorikan Syar'i tersebut, semakin diburu oleh perempuan muslim yang memang dari dasarnya sebelum menyebut diri mereka hijrah memang sebagai pemburu fashion.
Momentum ketika mereka dikategorikan hijrah pun terakomodasi dengan fashion-fashion islami yang menjadi industri budaya yang dilegitimasi juga oleh tokoh-tokoh populer bentukan media.
Mengembalikan Marwah Masjid
Sangat disayangkan ketika kajian-kajian tentang Islam yang justru seharusnya diadakan di masjid-masjid untuk mengembalikan jamaah agar kembali ke masjid sebagai kekuatan yang menjadi persiapan sebagaimana tafsir Al quran surat Al Anfal ayat 60 "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi/sekuat kamu mampu" salah satunya yaitu quwwatuljamaah (kekuatan jamaah) atau kebersamaan.
Maka masjid pun bisa menjadi arena untuk menghimpun itu, sebagaimana yang kita ketahui Nabi pun menghimpun kekuatan jamaah melalui masjid yang hanya beratapkan anyaman daun kurma dan tiangnya batang-batang kurma. Hal ini sangat kental dengan nuansa kesederhanaan sebagai bagian dari zuhud yang dicontohkan Nabi pada waktu itu.
Jika melihat konteks masyarakat Sasak di Lombok saat ini pun dengan keberadaan masjid yang mencapai lebih dari 10 ribu, dan rata-rata besar dan cukup mewah jika dibandingkan di daerah-daerah lain, maka mengadakan kajian di luar masjid yang bahkan sampai berbayar pula itu justru logika yang keliru menempatkan tagline hijrah tetapi kajian diadakan di gedung mewah yang biasa disewa untuk pernikahan yang pastinya berbayar mahal juga.
Sementara masjid nan megah yang menjadi ikon pariwisata religi Lombok, NTB berupa masjid Islamic Center tidak dimanfaatkan secara proporsional sebagai pusat peradaban dan pengkajian Islam sebagaimana halnya yang digaungkan dulu sebelum pembangunan.