Seperti biasa, perjalanan tanpa rencana sudah sering terjadi di antara kami. Yang pertama ketika ide Camping di Lokasi Outbond (Dolan Ndheso) tidak mendapat tempat, lalu beranjak ke lereng merapi sebagai gantinya (04-06-2016), lalu terlantar di dekat padepokan Mbah Marijan dengan kencangnya angin Gunung membawa debu Vulkanik. Akhirnya bermalam di bumi perkemahan dengan tenda terbangun di dalam padepokan, sebagai bukti bahwa itupun termasuk camping.
Ini kali kedua kami keliling mencari tempat untuk belajar Toefl yang buka 24 jam penuh, padahal kadang baru duduk 2 jam saja posisi duduk sudah tidak karuan. Malam sebelumnya mengitari mulai dari Foodcourt Klebengan, namun menurut sang Leader ( Pak Ago) tidak cukup luas tempat untuk belajarnya, dan juga bukan tempat nongkrong, jadilah melanjutkan perjalanan mencari yang lain. Menelusuri gang-gang perkampungan, lalu diputuskan lagi untuk ke Kalimix, Jalan Kaliurang, yang ternyata penuh.Â
Beranjak lagi beberapa meter ke sebelahnya, terlihat plang cukup besar tertulis Luxury Internet Coffee, Motor pun terparkir, melirik ke dalam ternyata hanya ada bilik-bilik warnet yang diisi remaja-remaja sedang asyik berselancar. Rupanya di sebelahnya lagi yang untuk Cafe-hotspotnya. Di dalam, Â berbagai macam aktivitas terlihat, rata-rata dengan laptop di depan mereka, namun ada beberapa juga yang sekedar duduk ngobrol bersama pasangan mereka.
Pikir kami di lantai bawah tersebut sudah penuh, naik lah ke lantai 2 yang ternyata di atas lebih padat lagi. Dari tampang mereka nampaknya kebanyakan Mahasiswa yang sedang sibuk kejar deadline. Setelah menanyakan sebentar ke receptionist, ternyata penuh juga, jadilah kami sekedar menengok-nengok aneka ragam manusia dengan kesibukan masing-masing di depan laptop mereka.Â
Pencarian dilanjutkan, ada mungkin sampai 4 tempat kami kunjungi namun tidak dapat tempat, hingga akhirnya berakhir di Angkringan samping Kuburan jalan Gejayan. Sebelum memesan menu, kami pun tertarik dengan kata promo menu Lobster lada hitam dapat 4 porsi, awalnya saya curiga, dan kecurigaan itu pun terbukti yang ternyata Lobsternya hanya berisi sebesar Udang, beda dengan Lobster yang biasa kami santap di Lombok yang ukuran satunya bisa sebesar piring.
Dan tadi malam terulang lagi, saya cukup kaget ketika mereka berhenti di Luxury lagi, dan saya sudah wanti-wanti tidak cukup bagus untuk belajar di tempat seperti itu, dengan alasan terlalu ramai, syukurnya tidak dapat tempat kosong. Kembali lagi mencari, sampai akhirnya terpisah selama hampir setengah Jam saling cari. Setelah bertemu diputuskanlah untuk mendatangi Vito coffee berdasar referensi yang dibaca dari Internet bahwa mereka buka 24 jam. Padahal malam sebelumnya saya pernah menyarankan seseorang untuk tidak datang ke sana, karena persepsi tidak etis saja malam-malam keluyuran ke Cafe, walaupun tujuannya bukan hal buruk. Dan sekarang saya datang ke tempat tersebut, seperti ada yang mengganjal dalam hati.
Tempatnya kecil, dengan beberapa meja dan kursi busa yang terpajang berjejer di tiap sisi tembok, dan yang lainnya berada di tengah. Kami memilih yang dekat tembok karena ada colokan listrik. Di tempat ini tertulis Coffee Hot-spot dengan prediksi salah seorang dari kami, pesan satu menu dapat satu Voucher. Ternyata salah persepsi, tiap username hotspot kita bayar lagi, padahal tidak semua memakai Hotspot tersebut, itupun hanya berlaku satu jam saja.
Selesai pembahasan soal structure yang tidak komplit dengan satu lembar lagi entah kemana, jam sudah menunjukkan pukul 23. 45, kembali lagi menunggu beberapa jenak sang leader menyelesaikan hisapan kreteknya, baru akan beranjak. Kami pun keluar dengan kondisi mata saya sudah hampir redup, jalan pelan, dan terlihat di depan pak Ago dan Arman berhenti.Â
Sepertinya motor pak Ago kehabisan Bensin, distarter beberapa kalipun tak mau hidup, jadilah digeret sampai ke jalan besar, di sepanjang jalan sudah sepi, hanya beberapa warung Burjo yang masih buka, menunggu pembeli di waktu sahur. Tak ada terlihat bensin eceran, sampai ketemu SPBU, namun sudah tutup. Mereka pun kami minta menunggu di depan SPBU tersebut, sementara saya dan pak Ago keliling lagi mencari Bensin.
Tiga SPBU kami temukan namun tutup semua, apalagi untuk menemukan penjual bensin eceran. Barulah di SPBU jalan solo terlihat masih terang lampunya, kami pun masuk ke sana. Permasalahannya sekarang mencari botol untuk membawa bensin tersebut. Bak sampah dengan plastik-plastik besar terbungkus di dalamnya tak luput kami korek-korek.Â
Ke belakang lagi di dekat WC, namun tak nemu juga. Tak sengaja ketika mengambil HP di dalam tas, barulah tersadar ada botol air mineral ukuran tanggung di tas saya, pak Ago yang masih mengorek-ngorek bak sampah lainnya saya teriaki sambil mengangkat botol plastik di tangan. Dengan 3 ribu rupih terisilah setengah botol tersebut dengan pertalite berwarna biru, kami kembali ke tempat mereka menunggu.
Bensin motor sudah terisi, dan jam sudah menunjukkan pukul 01. 20, kembali lagi secara tidak sengaja di dekat SPBU tersebut terlihat masih buka Rumah Makan Seafood, yang menurut penglihatan Pak Ago yang sepertinya sedang mengantuk, nama RM-nya tertulis Maksiat padahal antara huruf "i" dan "a" ada huruf "m".Â
Setelah beberapa lama bercekcok perihal menu, dengan ide tiap orang harus pesan menu berbeda supaya bisa menikmati lainnya. Menu seaafodnya rata-rata habis, hanya udang dan kerang tersisa. Sampai 3 kali pelayannya bolak-balik ke meja kami untuk menanyakan ganti menu yang kosong. Kembali lagi menunggu untuk tersajinya menu. Saya pun tidur sebentar di bangku yang kosong, dan berpesan untuk dibangunkan jika menunya sudah datang.
Selesai menikmati sahur extra, nanggung rasanya untuk langsung pulang, terpikir sekalian Shubu-an di jalan, mencari Masjid dan nantinya tinggal pulang tidur. Pak Ago yang sudah tinggal di Jogja 12 tahun lalu, mulai bercerita tentang Jogja masa lalu, mulai dari pemahamannya tentang Keraton, sampai slogan Jogja berhati Nyaman yang diplesetkan menjadi Jogja berhati Mantan, perbedaan signifikan jogja saat ini, tentang hukum Agraria, begitu juga tentang Tugu Jogja, yang mulai menarik perhatian yang lainnya.Â
Beliau menceritakan bahwa bukti orang pernah datang dan akrab dengan Jogja salah satunya dibuktikan dengan pernahnya memegang Tugu Jogja. Dan hal ini baru juga kami ketahui, sehingga yang lainnya tertarik untuk ke Tugu dini hari tersebut.
Tak terkecuali, pemulung dengan buntalan karung di samping mereka, menikmati nyenyaknya tidur malam meski hanya beralaskan spanduk bekas, tak peduli dingin menusuk, dan menyamuk menggerogoti. Pedagang-pedagang dengan gerobak dorong mereka mulai menyasar tempat biasa orang-orang sahur di jalan.
Larangan masuk ke areal taman Tugu tertulis di setiap Pojok dengan rantai terpasang mengelilinginya. Selain kami, beberapa traveller juga mulai mengambil gambar. Jam menunjukkan pukul 03. 52, barulah kami beranjak pulang, entah dikatakan puas atau tidaknya, yang pasti ini momen cukup berharga untuk dikenang nantinya.
Dinginnya udara pagi itu, membekukan suasana, dan tanpa banyak berbincang, perjalanan pulang kami lalui dengan heningnya Shubuh yang mulai ramai dengan bunyi lengkingan-lengkingan dari speaker masjid yang membangunkan orang untuk sahur.
Jogjakarta, 20-06-2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H