(Inspirasi dari Mukhanif Yasin Yusuf- Awardee LPDP Afirmasi Magister DN)
"Kebahagiaan sejati adalah ketika kita bisa berbagi kebahagiaan kepada orang lain dengan sebuah kepedulian bersama"
Tak ada yang menyangka pria yang gemar mengenakan cincin batu akik dengan gagang besar ini adalah penyandang difabel (Red. tunarungu). Mukhanif Yasin Yusuf, pria asal Purbalingga, Jawa Tengah, alumni UGM, Sastra Indonesia angkatan 2011, pada tahun 2014 dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi tingkat universitas, serta bisa menyelesaikan studi S1 dalam jangka waktu 3 setengah tahun merupakan prestasi lainnya dari Khanif. Saat ini dia juga menjadi salah satu penerima Beasiswa Magister dari LPDP dengan kampus dalam Negeri. Prestasi yang disematkan kepada khanif bukan hanya karena sekedar pintar di bidang akademik, namun dia juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap orang lain, terlebih kepada penyandang difabel lainnya.
Lalu tiba saatnya Khanif untuk menyampaikan sharing motivasi kepada adik-adik tersebut. Tanpa rasa canggung ataupun malu, pria yang juga penulis Novel ini berdiri di depan adik-adik tersebut, memulai memperkenalkan diri dengan menyebutkan bahwa dia juga penyandang cacat, Tunarungu. Jadi tidak perlu malu untuk menunjukkan bahwa kita memiliki kekurangan, toh tidak ada yang sempurna juga, dan kita memiliki posisi yang sama di masyarakat, ungkapnya. Semangat Khanif untuk berbagi dengan penyandang difabel dimulai dengan menceritakan pengalamannya sendiri. Sejak kecil dia memang pernah dapat mendengar, lalu sejak umur 11 tahun dia menyandang tunarungu secara tidak sadar, ketika itu dia masih duduk di bangku SD.
Meskipun dia menyandang cacat menurut pandangan orang lain, dia tidak menginginkan untuk melanjutkan pendidikan di SLB, akhirnya dia pun melanjutkan ke MTs. Sejak MTs. inilah dia mulai menjajaki dunia tulis menulis (Literasi), begitu juga ketika dia melanjutkan studi di SMA Al Ma'arif, beberapa cerpen-nya banyak mendapat ruang untuk terbit di majalah atau surat kabar harian di Jawa Tengah. Lalu setelah masuk di Sastra Indonesia FIB UGM, penerbit Grasindo meminta Khanif untuk mengembangkan cerpen tersebut menjadi versi panjang, dan lahirlah buku pertamanya "Jejak Pejalan Sunyi".
Kesamaan Hak dalam Pendidikan
Di antara 36 anak asuh di Panti tersebut baru 1 orang yang bersekolah di luar, sisanya mendapatkan pendidikan Formal di lingkungan panti asuhan tersebut yang juga mengelola SD- SMP. Khanif mengakhiri pembicaraannya dengan tak bosan-bosannya memberikan motivasi agar mereka tetap kuat dan optimis untuk bisa mengembangkan potensi mereka ke depannya. " Kondisi sekarang ini bukanlah kekurangan yang diberikan Tuhan, sebab memang tidak ada satupun yang sempurna, dan yang harus kita lakukan saat ini seperti apa yang dipesankan ibu saya, Syukuri apa yang ada sekarang ini, sebab dengan bersyukur itulah kebahagiaan sejatinya timbul dalam diri kita", ucapnya.
Tibalah saatnya untuk sesi tanya jawab dan menuliskan cita-cita di selembar kertas notes untuk dibacakan di depan. Beberapa diantaranya menanyakan tentang cara mendapatkan beasiswa dan melanjutkan kuliah S2 seperti dirinya, ada juga yang menanyakan bagaimana caranya menjadi Profesor. Khanif tidak serta-merta menjelaskan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, namun yang dia fokuskan sekarang ini adik-adik tersebut harus punya target dan rencana mulai dari sekarang. selanjutnya semangat terus untuk menyelesaikan sekolah sampai SMA, untuk masuk perguruan tingginya dia siap membantu, bahkan untuk mendapatkan beasiswanya juga.
Sesi selanjutnya yaitu menuliskan cita-cita di selembar notes yang sudah dibagikan, satu persatu mereka diminta ke depan untuk membacakan cita-cita tersebut. seorang Anak laki-laki berpeci hitam bernama Ilham, pertama unjuk jari, lalu membacakan cita-citanya yang ingin menjadi kiyai, Ustadz supaya bisa mengajar agama bagi yang lain. Selanjutnya anak tadi dengan ucapan terbata-bata (Sepertinya menderita Syndrome Down/lama untuk berpikir), dia yang menjadi pemandu untuk memanggil teman-temannya satu persatu ke depan untuk membacakan impiannya yang tertulis di kertas. Seorang gadis berjilbab bernama Rani yang duduk di kursi roda dengan tangan agak membengkok membacakan cita-citanya yang ingin menjadi Guru agama juga, dan ingin melanjutkan kuliah di UIN.
Lalu bergiliran Dodi (penderita keterbelakangan mental) yang ingin menjadi Tentara, Ingin menjadi Polisi, dan juga ingin menjadi Dokter. Selanjutnya yang cukup menggelikan ketika Deri (keterbelakangan mental) maju membacakan cita-citanya yang ingin menjadi Pabrik Mobil. Serentak semua tertawa, lalu dikoreksi maksudnya dia ingin memiliki pabrik mobil, serentak kami kembali meng-Aminkan. Ada juga yang usil maju ke depan lalu membacakan kertas Temannya yang bernama Rino bahwa dia bercita-cita ingin menjadi Maling, Rino pun maju ke depan mengklarifikasi bukan dia yang menuliskan yang tadi, dia menyebutkan cita-citanya yang ingin menjadi teknisi bengkel Motor.
Acara dilanjutkan dengan pemotongan nasi tumpeng oleh ketua HMPT yang diberikan kepada perwakilan adik-adik tersebut. selanjutnya pemberian santunan berupa uang tunai yang diwakili oleh pengurus panti tersebut. Terakhir adik-adik yang telah menuliskan cita-citanya di kertas tadi diminta untuk menempelkannya di balon-balon yang sudah disediakan untuk diterbangkan. Adzan magrib sudah berkumandang namun mereka masih antusias berkumpul di halaman depan pendopo panti tersebut untuk menempelkan kertas-kertas mereka pada balon. Setelah balon diterbangkan semuanya kembali berkumpul untuk menikmati buka puasa. Semua adik-adik tersebut berpuasa, namun ketika berbuka mereka hanya meminum es buah yang disediakan, hanya beberapa yang langsung menikmati nasi kotak yang disediakan panitia.
Kesempurnaan dalam Kekurangan
Sepanjang perjalanan pulang dengan Khanif membonceng di belakang, saya teringat salah seorang anak di kampung (M. Mizan) yang juga penyandang tunarungu, dan sekarang tinggal di Pulau Seberang (Sumbawa Besar) mengikuti bapaknya yang bekerja di Departemen Sosial. Mizan yang waktu kecilnya memang sempat dapat mendengar, dan menjadi tunarungu ketika dia masih duduk di bangku kelas 5 MI. Waktu itu dia sempat sakit, dan mengigau seperti orang gila, menurut kepercayaan masyarakat Sasak (Lombok), dia diganggu oleh Jin yang mungkin saja dia duluan yang mengganggu jin tersebut. Setelah sembuh dari sakitnya, dia kembali sering mengaji ke Mushalla dan sempat sering saya simak bacaannya.
Saat dia mulai tidak bisa mendengar, dia mencoba memperhatikan mulut orang yang berbicara, dan kadang orang menggunakan isyarat tangan agar dia mengerti. saat sering menyimak dia mengaji, di sinilah sangat terlihat kesempurnaan. sang Maha Pencipta, Anak tersebut memiliki hapalan yang kuat ketika mengaji, bahkan kitab Iqro' yang seharusnya sebagai pembelajaran mengeja, pada beberapa bab-nya bahkan dia hapal juga. Terakhir sebelum pindah mengikuti orang tuanya, waktu itu saya ingat betul dia sudah sampai pada hapalan surat Al Buruj.
Tahun 2015 lalu ketika berkunjung ke Sumbawa besar saya sempat menginap beberapa hari di tempatnya. Dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih di kantor Departemen Sosial Sumbawa Besar, dan dipercaya bersama kakaknya yang sudah lulus S1 untuk menjaga sekretariat Unit PKH (Program Keluarga Harapan) yang masih di bawah naungan Departemen sosial. Hal yang membuat saya kagum, sang anak tunarungu dengan pembelajaran mandiri melalui membaca di Google, dia paham tentang Update Firmware Android, Root, sampai Recovery File yang sudah terhapus dimakan Virus di android, yang saya pun sampai sekarang belum paham dengan hal tersebut. Bahkan beberapa kali dia juga pernah melakukan transasksi jual beli online melalui situs bli-bli dan bukalapak.
Kembali lagi teringat seorang Sepupu di kampung yang tunarungu dan tunawicara, namun begitu bisa dikatakan multitalent dalam beberapa hal. Kesehariannya sebagai tukang Heler gabah (Padi), selanjutnya menjadi Ojek, tidak pernah ada hambatan ketika berinteraksi dengan yang lainnya. Bahkan ketika saya masih di bangku SMA, tiap hari dia diminta untuk mengantarkan saya ke sekolah dan jarang terlambat dari pada ketika saya membawa motor sendiri.
Tujuan besar yang ingin dibangun Khanif sebagai penggagas Peduli Difabel yaitu dengan Konsep Inklusi tadi semakin banyak membuka persepsi kita tentang mereka yang walaupun terlihat memiliki kekurangan, namun di sanalah letak kesempurnaan dengan potensi-potensi besar yang ada pada mereka. Dan Sore kemarin telah membuktikan bahwa kepedulian kita terhadap mereka adalah sebuah semangat besar bagi mereka, dan kebahagiaan bersama adalah sejatinya kebahagiaan yang seharusnya kita bangun dengan semangat Sosial bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat untuk orang lain (Khairun nas anfa'uhum linnas).
Lalu tentang mereka yang dianggap atau masih menganggap diri memiliki kekurangan, sesungguhnya Jawaban Tuhan sudah sangat jelas di dalam Firman-Nya " Laqad Khalaqnal Insaana Fi Ahsani taqwiem", Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (At Thin :4). Bukan hanya tentang fisik tetapi sebaik-baik rohani juga mencakup itu semua dengan semua anugerah kesempurnaan dari-Nya.
Yogyakarta, 11-06-2016
(Baim Lc)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H