Seperti pengalaman beberapa bulan lalu ketika bertemu dengan seorang penjual keset Tunanetra di Pelataran Masjid Mardhiyah RS. Sardjito UGM (Baca: Kejujuran, Modal Sosial yang Sangat Berharga) ,kali ini beda lagi dan menyentak hati saya yang sepertinya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan mereka.
Alangkah romantisnya mereka, di siang yang cukup terik, terlihat dua orang suami-istri Tunanetra bergandengan tangan menyusuri jalan di depan Fakultas Ilmu Sosial UNY dengan membawa beberapa batang sapu ijuk dan pengelap meja yang terbuat dari tali rapia. Dengan tongkat yang dipegang suami di depan sebagai penunjuk arah, mereka terus saja berjalan meraba-raba tak peduli raungan sepeda motor yang lalu lalang di samping maupun di depan mereka.
Hingga akhirnya langkah pelan mereka dihentikan oleh teriakan 3 orang mahasiswi yang memarkirkan sepeda motornya tak jauh dari trotoar tempat saya berdiri, mereka pun mendekati pasangan suami istri tersebut. Mereka sempat berbincang-bincang sebentar dengan Ibu tersebut, selanjutnya menanyakan harga sapu yang dibawa, dan dijawab oleh sang istri dengan Bahasa Jawa, yang sempat saya pahami bahwa harga satu sapu tersebut Rp. 8.000.
" Uangnya berapa ini nduk?". Tanya sang ibu menanyakan nominal uang yang mereka gunakan untuk membayar, sementara sang suami diam saja sambil mengelap keringat yang membasahi lehernnya.
"Ndak apa-apa bu, di bawa saja kembaliannya". jawab salah seorang di antara mereka. Padahal niat mereka bertiga sepertinya ingin berbagi sedikit rizki dengan suami-istri tersebut, namun sang istri tetap mendesak ingin tahu nominal uang tersebut. Lalu dijelaskanlah oleh sang suami, istrinya ingin tahu nominal uang tersebut supaya mudah untuk memisahkannya antara lembaran tersebut sesuai nominalnya, jadi ketika ada yang membutuhkan uang kembalian, mereka tidak kerepotan dan tidak membuat pembeli lama menunggu.Â
Sang istri pun menghitung dan menyebutkan nominal yang akan dikembalikan kepada 3 orang pembeli tersebut, namun mereka cepat-cepat memotong, bahkan memasukkan kembali tangan berkeringat ibu tersebut ke dalam tas lusuh tempat menyimpan hasil jualannya, lalu bergegas beranjak meninggalkan mereka.
Ucapan terimakasih dari suami-istri tersebut masih terdengar meski 3 mahasiswi tadi telah berada di seberang jalan tempat sepeda motor mereka terparkir. Sang istri meraih kembali tangan suaminya, melanjutkan perjalanan di tengah teriknya siang itu.
Sementara mereka dengan kondisi kekurangan seperti itu tetap istiqomah berusaha untuk mencari rizki, bagaimana mungkin saya yang sudah rizkinya diberikan berkecukupan tidak istiqomah untuk belajar.
Terkadang Tuhan menegur secara halus dengan kejadian-kejadian yang mungkin kita anggap biasa saja. Dan salah satu tanda bahwa seorang hamba yang berpikir akan sebuah kejadian, maka itulah sebuah pembelajaran berharga yang menjadi kiasan akan sebuah ayat-ayat Tuhan yang pernah kita baca. Seperti halnya ayat tentang telah diaturnya rizki seorang hamba," Dan tidak ada satu binatang melata-pun di dunia ini kecuali Allah sudah tentukan rizki baginya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Hud : 6)