sumber : petanisejahtera
Siapa yang tidak rindu dengan hamparan hijau tertiup semerbak wangi khas dengan sejuknya udara, diselingi nyanyian alam antara burung-burung dan daun kelapa yang bergesekan membentuk symponi nan indah membuai telinga. Tatkala sudah waktunya untuk menuai hasil, terlihat senyum-senyum bahagia merekah, tak jarang juga senyum kecewa mengingat perjuangan dari awal namun akhirnya, hasil tidak seperti yang diharapkan. Begitulah kehidupan petani di kampung, tanpa mimpi-mimpi besar, hanya berharap setiap kali panen mendapatkan hasil yang cukup untuk kehidupan mereka 4 bulan ke depan, sementara menunggu panen selanjutnya. Akan tetapi terkadang senyum pahit itu kerap menghampiri, modal pembiayaan jangka sekali tanam bisa saja tidak balik, lalu kerugian melemahkan semangat mereka apakah harus terus bergelut dengan tanah yang tak menguntungkan itu.
Bagi kami yang dulu waktu kecil sempat menikmati keseharian di sawah, walaupun sekedar mengikuti orang tua dan membantu semampu kami, hal itu sudah cukup melekatkan kenangan. Orang tua kami berpesan, tujuan mereka sering mengajak ke sawah supaya kami terbiasa dan tak melupakan tradisi turun temurun bahwa bertani adalah sumber kehidupan, dan banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Maka tak heran hampir penuh waktu mereka dihabiskan untuk bergelut di sawah, Â kami berangkat sekolah bersamaan pula dengan mereka berangkat ke sawah, bahkan kami pulang sekolah kadang mereka belum juga pulang dari sawah. Tak jarang selesai shalat Ashar mereka pun kembali lagi ke sawah walaupun sekedar jalan-jalan, mengamati pertumbuhan tanaman mereka.
Memang profesi bertani ini membutuhkan ketekunan, ketelatenan serta kesabaran dalam menjalaninya, dan orang-orang tua kami dahulu sudah cukup menunjukkannya. Sedang kami waktu kecil dulu sekedar diminta untuk menemani mereka, merasa berat untuk menuruni lereng menuju sawah. Keikhlasan mereka mengelola sawah warisan turun temurun tak cukup menggerakkan hati kami agar seperti mereka. Berbagai keluhan ketika kami berada di sawah sering terlontar atau kami simpan dalam hati saja. Namun di balik keluhan itu ada pula rasa nikmat ketika berada di sawah, semisal selepas penatnya bekerja, terpanggang terik matahari, diobati dengan sejuknya kelapa muda yang dipetik untuk kami, tak jarang dibarengi dengan ubi bakar, jagung bakar, atau menikmati sejuknya aliran sungai yang jernih selepas berkotor-kotoran.
Sawah dahulu juga menjadi area bermain yang cukup sering kami kunjungi beramai-ramai, sebagai ajang pembelajaran kami untuk mandiri dalam bekerja dan bertanggung jawab, seperti ketika mencari rumput untuk ternak yang diamanahkan kepada kami untuk dipelihara. Kesemuanya merupakan proses alam yang pernah kami lewati semasa orang-orang tua kami masih memegang teguh keikhlasan dan ketekunan mengelola sawah mereka.
Kini ketika orang-orang tua kami telah tiada, sawah-sawah tersebut mulai kekurangan tangan-tangan terampil untuk mengolahnya. Pun begitu dengan kami yang tidak pernah tekun mengikuti pelajaran yang diberikan orang tua dahulu melalui sawah ini, tidak terbersit harapan agar meneruskan perjuangan mereka melalui sawah, lalu tanah-tanah itu pun sangat disayangkan jika dibiarkan hanya ditumbuhi rumput liar. Jadilah sepeninggal orang-orang tua kami, sawah tersebut dikerjakan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil, atau sawah tersebut digadaikan untuk membuka usaha yang lain, Â karena sawah tersebut tidak lagi relevan sebagai mata pencaharian yang mencukupi, ada pula yang menjual sawah warisan tersebut, baik menjual secara keseluruhan atau dijual secara per-tahunan.
Relevansi Bertani dan Kesejahteraan Petani
Maka tidak mengherankan generasi sekarang tidak lagi mengenal sawah sebagai media pembelajaran dari alam. Anak-anak desa tidak lagi mengecap ikon tentang sawah dan penggembala/peternak yang menjadi keseharian mereka, disebabkan orang-orang tua mereka yang sekarang dari pada menggeluti sawah, lebih menguntungkan mencari pekerjaan lain yang lebih mudah mendapatkan hasil. Salah satunya membuka usaha bata merah atau menjadi buruh pembuat bata merah, dan merelakan lahan persawahan mereka sebagai tempat produksinya.
Selain itu yang lebih cepat menghasilkan uang yaitu sebagai tenaga harian untuk bangunan. Ada juga yang lebih beruntung menjadi karyawan di perusahaan, dan itu lebih prestisius dari pada bertani. Maka persis pekerjaan sebagai petani ini sudah mulai tergeser dan dianggap rendah dan menurunkan gengsi. Padahal Jika kami telusuri kehidupan orang-orang tua kami dahulu, banyak dari mereka yang berprofesi sebagai pegawai Negeri, namun mereka tetap juga mengelola lahan mereka. Banyak pula yang menjadi guru, selepas mengajar di sekolah mereka menggeluti sawah mereka, karena memang mereka sangat memegang teguh tradisi nenek moyang yang menjadikan sawah sebagai sumber kehidupan.
Dalam agama Islam nilai filosofis bekerja di sawah tak lupa juga pernah disinggung dalam Hadits Rasulullah SAW bahwa sebaik-baik pekerjaan adalah yang menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal penuh terhadap Allah SWT. Bertani adalah salah satunya, atau penjelasan lainnya yang dikutip dalam shahih muslim yang artinya " Tidaklah seorang muslim yg bercocok tanam, kecuali setiap tanamannya yg dimakannya bernilai sedekah baginya, apa yg dicuri orang darinya menjadi sedekah baginya, apa yg dimakan binatang liar menjadi sedekah baginya, apa yg dimakan burung menjadi sedekah baginya, & tidaklah seseorang mengambil darinya, melainkah ia menjadi sedekah baginya " ( HR. Muslim No.2900 ). Bertani adalah pekerjaan mulia yang benar-benar akan mendatangkan balasan yang baik, sejauh keyakinan atas usaha yang kita lakukan dengan mengharap Ridho-Nya.