Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Freelancer - pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

I'm the moslem kontak 087863497440/085337792687 email : abdulrahim09bi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mayat-mayat Busuk

27 April 2016   13:31 Diperbarui: 27 April 2016   13:38 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber : Darunnajah.com

Gelap masih menyelimuti, bahkan kokok ayam pun belum terdengar, hanya sesekali bunyi tokek yang menggelegar bersembunyi di antara tiang-tiang penyangga atap rumah tanpa langit-langit. Lampu redup aliran dari listrik tetangga sengaja tidak dia matikan, dengkuran anak-anaknya tergolek dengan nyenyaknya walau beralaskan tikar pandan anyaman sendiri. Inaq Mar segera bangkit, bergegas menuju dapur tempat penyimpanan perlengkapannya untuk menambang pasir. Sebuah nampan plastik berlubang semacam ayakan dan sekop menjadi peralatan hariannya, lalu berjalan ke luar rumah meninggalkan anak-anaknya yang masih pulas.

Keluar dari gang-gang yang lengang menuju jalan kampung, di sana sudah menunggu dua orang lainnya. Siap menjalankan rutinitas di pagi buta mereka, tiga ibu-ibu yang telah ditinggal mati suami itu biasa bertemu di belokan persimpangan, tempat strategis untuk mereka saling menunggu. Inaq Mar, Inaq Icah dan Inaq Ran selanjutnya berangkat menuju lokasi penambangan pasir di sungai yang berjarak sekitar 800 meter dari kampung mereka. Kadang mereka berangkat berlima atau berempat bersama Inaq Min, Inaq Ida, namun yang rutin tiap pagi buta hanya mereka bertiga. Lahan kosong sekitar sungai milik seorang janda pula yang ditinggal mati suaminya akibat sakit yang tak kunjung sembuh.

Pagi buta mereka berangkat menambang pasir, selesai shalat shubuh di lokasi penambangan mereka melanjutkan sebagai pembuat bata merah di tanah lapang milik seorang pengusaha di kampung tersebut. Lakon hidup seperti itu sudah lama mereka jalani, bahkan sejak suami mereka masih ada. Hanya selingannya ketika musim tanam padi suami mereka lebih banyak dibutuhkan sebagai buruh tani, begitu juga ketika musim tanam tembakau dan cabe, tenaga mereka yang sudah cukup lama sebagai buruh tani cukup diandalkan oleh pemilik lahan untuk mencangkul, sampai menyiangi rumput (Ngeder) pada tanaman tembakau dan cabe mereka.

Kalau dahulu uang dari hasil buruh tani suami mereka bisa sebagai tambahan memenuhi kebutuhan harian, sekarang mereka harus berjuang sendiri menanggung kebutuhan-kebutuhan itu. Inaq Mar dengan 3 tanggungan anaknya yang masih sekolah setingkat MI dan MTs. merasa tidak betah jika harus menyerahkan ketiga anaknya untuk tinggal di Panti Asuhan, maka dia lebih memilih untuk mengurus mereka di samping membantu juga ketika mereka pulang sekolah sebagai penambang pasir, namun nama mereka tetap terdaftar di Panti Asuhan tersebut. Begitu juga dengan Inaq Icah, dua anaknya yang sekarang duduk di bangku MTs. dan MA, anak mereka lebih memilih untuk tinggal bersamanya dari pada di Panti asuhan. Sedangkan Inaq Ran anaknya sudah tidak ada lagi yang sekolah, akan tetapi jauh, merantau sebagai TKI di negeri tetangga.

Menjelang pukul setengah 4 pagi sebelum sampai di lokasi penambangan, di tanah lapang yang dulunya banyak tumbuh pohon akasia dan Imbe mereka melihat beberapa orang dengan pakaian hitam dan ikat kepala sedang berjalan tertatih-tatih menuju arah yang mereka tuju juga. Tak sedikitpun mereka khawatir akan orang-orang itu dan terus saja melangkahkan kaki, dan sekarang hanya berjarak 10 meter dari mereka. Namun sebelum mereka melangkahkan kaki lebih dekat, orang-orang itu lebih dulu berbalik arah menghadang mereka. Sontak mereka kaget, wajah-wajah asing yang tidak terlalu jelas terlihat, awalnya mereka kira dari kampung sebelah, sehingga mereka tenang saja melanjutkan perjalanan. Naas orang-orang tersebut rata-rata membawa golok yang lebih panjang dari lengan-lengan mereka.

"kalian mau ke mana bawa-bawa sekop?". mereka bertiga bertiga masih terdiam karena takut, gerombolan itu lebih dahulu menyapa dengan golok yang digenggam sekarang sudah tidak lagi bersarung. Dalam kepercayaan orang kampung, jika bertemu dengan orang yang tidak dikenal pada tengah malam di kampung mereka, tidak dianjurkan untuk menyapa terlebih dahulu. Kepercayaan yang melekat di masyarakat, jika itu adalah pencari rizki malam hari (Maling), bisa-bisa mereka mendapatkan kesialan, dan orang yang menyapa itulah biasanya tempat mereka menyimpan dendam.

" Mohon maaf mamiq-Mamiq (bapak-bapak), kami tidak tahu apa-apa, kami hanya akan ke sungai untuk menambang pasir, untuk cari makan juga". Inaq Mar memberanikan menjawab sambil gemetaran, memelas pada gerombolan tersebut setelah dibentak beberapa kali.

" Kalian tahu jalan ke mana tembusan jika menelusuri sungai ini?". Salah satu dari mereka mulai tampak tenang nada bicaranya, namun golok di tangan tetap siaga.

Inaq Mar mencoba menjelaskan dengan terbata-bata sepengetahuannya tentang jalur-jalur tembusan ke beberapa kampung tetangga yang dipisahkan oleh sungai dan area perbukitan tempat mereka di hadang tersebut.

" Kalian tahu desa gampingan tidak?, siapa yang terkenal hebat jadi pepadu (jagoan) di sana?". Orang yang cukup tua mengarahkan senter sambil membentak mereka dengan interogasinya. Jelas saja membuat ibu-ibu tersebut semakin menggigil ketakutan, tak disangka mereka akan menemukan kejadian seperti itu ditengah perjuangan mereka untuk mencari rizki di tambang pasir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun