Tiga tahun terakhir penulis pernah berprofesi sebagai PNS (Pencari Nafkah Serabutan) dengan melakoni jual beli online di grup-grup facebook atau situs jual beli lainnya. Sebut saja jual beli online Handphone second, biasanya hal pertama yang ditanyakan pembeli yang tertarik dengan postingan kita yaitu apakah handphone yang akan kita jual memiliki kamera depan atau tidak. Semenjak tenarnya tongkat "sakti" narsis untuk selfie, kamera depan seolah menjadi prioritas ketika seseorang akan membeli handphone. Selfie semakin merebak seiring dengan berkembangnya aplikasi-aplikasi kamera untuk membuat gambar lebih baik, atau banyak yang disebut sebagai kamera fitnah.Â
Budaya foto sendiri atau foto barengan dengan kamera depan seolah ingin menunjukkan eksistensi diri yang ingin dipuji dan pamer, sehingga orang lain yang melihat foto tersebut akan kagum atau penasaran dengan tempat di mana foto selfie tersebut di ambil, jika itu suatu tempat wisata, atau untuk menonjolkan kelebihan yang ada pada dirinya semisal ketika itu foto unik. Namun selfie tak selamanya akan mendapat pujian, ada juga yang mendapat kecaman dari orang yang melihat foto tersebut di media sosial. Seperti kecaman netizen untuk warga yang berbondong-bondong datang ke tempat jatuhnya pesawat Hercules beberapa waktu lalu, tidak sedikit yang upload foto selfie di media sosial dengan kepulan asap dari pesawat jatuh di belakangnya.Â
Sama halnya dengan kecaman baru-baru ini yang ditujukan kepada orang-orang yang selfie di taman bunga Amarylis Gunung Kidul, Yogyakarta. Salah seorang teman di grup Whattsapp dengan antusias membagikan informasi tentang taman bunga yang hanya bermekaran di awal musim penghujan akhir tahun ini. Komentar untuk persiapan bersama-sama menuju taman bunga itu pun sudah dibicarakan dengan baik, alangkah kagetnya hari Sabtu kemarin beberapa media online seperti merdeka.com, tribunnews menulis berita tentang hancurnya taman bunga tersebut disebabkan ramainya pengunjung yang tidak bisa menjaga dengan baik, disertai foto selfie mereka ketika berada di tengah menginjak-injak bunga, ada yang sedang menduduki bunga-bunga yang bermekaran tersebut, bahkan ada juga yang upload foto sedang tiduran di tengah bunga-bunga amarylis tersebut.
Ditilik secara realitas memang semua orang ingin menunjukkan eksistensi diri, lebih-lebih foto terbaik atau unik agar mendapatkan perhatian dari orang lain. Dalam teori psikologi Humanistik yang dikemukakan Abraham Maslow, hal inilah yang dikemukakan dalam salah satu hirarki kebutuhan yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri dalam bentuk selfie salah satunya yang cukup tenar saat ini, atau yang lainnya aktualisasi diri dalam bentuk pamer kelebihan (hal besar), semisal ketika menghadiri acara bergengsi, atau sedang berfoto dengan tokoh hebat atau pejabat, bahkan ada pula yang aktualisasi diri ketika mengisi ceramah, kajian atau seminar yang dia sendiri sebagai pemeran penting dalam acara tersebut. Hanya agar orang tahu bahwa inilah dirinya yang telah mampu dan mendapat keberuntungan menjajaki hal bergengsi tersebut.Â
Hal lainnya tentang aktualisasi diri yaitu ketika mampu menginjakkan kaki di suatu tempat yang kadang tidak semua orang di sekitarnya mampu untuk melakukannya. Semisal ketika mendapat kesempatan bepergian ke tempat-tempat besar, setiap menit update status di facebook sedang berada di suatu tempat, agar memunculkan komentar dari orang lain, entah untuk memuji atau sekadar mengucapkan keingintahuan, lebih-lebih doa dari mereka, untuk doa sepertinya itu hal yang cukup baik. Ada juga yang aktualisasi diri ketika mendapat kesempatan melanjutkan study lebih tinggi, sehingga merasa lebih hebat dari yang lain, lalu teori-teori keilmuan yang didapatkan dijadikan status agar terkesan jiwa intelektualnya tampak sekali, padahal kezuhudan akan ilmu pengetahuan sering kita dengar bahkan ucapkan tentang konsep ilmu padi, semakin merunduk semakin berisi.Â
Lebih ekstrem lagi banyak dari kita yang tidak sadar hanya untuk eksistensi agar dipuji, ibadah pun kita jadikan sebagai bahan untuk pujian tersebut. Seperti sering penulis temukan status di facebook, " Alhamdulillah dua rakaat di tengah malam terasa adem", atau " Menu buka puasa hari Ini apa ya?", yang lainnya "Dua rakaat dulu di pagi hari, semoga urusan lancar". Status-status tersebut seolah-olah memberitahukan bahwa penulisnya telah melakukan ibadah yang seharusnya hanya dia dan Tuhan yang tahu malah dipamerkan untuk sekedar ada yang suka statusnya atau ditahu sebagai ahli ibadah yang rajin. Padahal nilai Ihsan dari sebuah ibadah itu seolah-olah tidak ada yang tahu kita ibadah, bahkan Tuhan Pun tidak, dan itu sangat ekstrem karena Tuhan Maha Tahu ( Kutipan dari Ungkapan Emha A. Nadjib).Â
Kadang saja penulis termasuk dalam kategori aktualisasi diri dengan menonjolkan teori-teori tersebut. Terkadang niat kita berbagi pengetahuan semestinya menjadi tolok ukur bagaimana kezuhudan diri kita dalam menapaki kehidupan di usia yang masih labil ini. Seperti sebuah mahfudzat yang dikemukakan Umar bin Khattab " Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua, ia akan tawadhu'. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya". Karena memang begitulah konsep ilmu yang telah dijabarkan Tuhan dalam firmannya, " dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan sedikit saja (Al Isra :85)". Dan banyak hal yang menjelaskan bahwa ketika merasa ilmu kita telah cukup, maka kita termasuk orang yang bodoh (Imam Syafi'i).Â
Sikap zuhud itu bukan hanya sebatas wacana, karena memang konsep zuhud dalam kesederhanaan lebih mendekati tuntunan hidup yang dicontohkan Rasulullah, maka secara perlahan hal itu bukan menjadi hal mustahil untuk kita jalani. Sikap pamer kelebihan, entah itu selfie atau status yang menonjolkan diri terkadang sulit untuk kita hindari. Sewajarnya sebagai makhluk yang masih menjajaki jati diri, hal tersebut sebagai ajang untuk mendapatkan apresiasi dari orang lain. Semata-mata agar mendapat pujian, aktualisasi diri yang berlebih banyak menimbulkan persepsi tidak wajar dari orang lain yang melihat atau membacanya.Â
Sebagai makhluk sosial yang normal dan membutuhkan orang lain, setidaknya kita harus menjaga sikap dan prilaku yang wajar, baik di dunia nyata maupun dunia maya (Media sosial) di mana kita bergaul. Dan ketika ingin pamer kelebihan atau selfie sekalipun, setidaknya nilai kepatutan itu terpikirkan oleh kita sebelum persepsi orang lain terhadap kita dicap kurang tepat atau hal tidak wajar lainnya. Kelebihan itu pun tanpa dipamerkan akan tetap menjadi khazanah besar dalam diri kita, apalah arti pujian dari manusia, sementara pujian dari Yang Maha Terpuji kita kesampingkan seolah Dia tidak pernah Memuji kita, padahal jelas-jelas dalam Firmannya memuji kita sebagai makhluk terbaik yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk (At Thin :4). Mungkin inilah salah satu cara sederhana menggapai kezuhudan dalam diri yang masih penuh dengan dunia dan berharap pujian sesama makhluk.
( Sleman, 29-11-15)