Hijab : Antara Tabarruj Dan Komitmen Memperbaiki Akhlak
Siapa yang tidak ingin tampil cantik dengan gamis dan jilbab indah yang menjadi trend bagi wanita-wanita stylish masa kini, namun di balik indahnya pakaian tersebut mereka harus berani merogoh kantong di atas standar untuk tampil dengan style hijab seperti yang disebut kebanyakan orang sekarang. sedangkan hijab yang sebenarnya masih perlu mendapat pemahaman yang lebih mendalam sehingga tidak salah kaprah dengan menjadikan upaya-upaya berhijab tersebut sebagai legitimasi atas tabarruj (berlebihan dalam berhias) yang mereka lakukan.
Banyaknya trend-trend jilbab modern yang diusung oleh desainer-desainer jilbab semakin menjadikan fenomena hijab ini menjadi semakin jauh dari makna hijab yang sebenarnya, bahkan sampai-sampai diadakan seminar-seminar tutorial hijab yang dihadiri oleh mereka yang berdandan nampaknya boneka mainan yang dililitkan jilbab macam ular di badan mereka, tak terkecuali masyarakat kampus (mahasiswi) yang seharusnya lebih jeli memfilter budaya-budaya mana yang berkenaan dengan syariat yang sebenarnya malah ikut arus mengadakan lomba-lomba hijab wanita muslimah, lantas kalau hijab saja sudah dijadikan ajang untuk saling pamer, di mana letak nilai komitmen untuk menjalankan anjuran Tuhan terkait hijab seperti yg tertuang dalam Q.S. Al Ahzab ayat 59 tersebut.
Kalau beberapa waktu lalu mencuat fenomena jilboobs (jilbab tetapi aurat vital kelihatan), jipon (jilbab poni), kerdus (kerudung dusta), kerpun (kerudung punuk) atau kerbus (kerudung busuk) kesemuanya merupakan contoh lepasnya makna esensi hijab dari yang sebenarnya, dan sekarang fenomena berlebihannya bentuk penggunanaan jilbab yang secara esensi sebagai penutup aurat menjadi topik hangat yang kembali mencuat dengan isu tabarruj di kalangan para muslimah yang mendahulukan style dari pada fungsi.
Hijab yang secara bahasa bermakna penghalang/penutup mengalami penyempitan makna yang dipahami secara khusus bagi wanita yang mengenakan gamis maupun jilbab besar yang menjadi style atau lebih familiar disebut dengan hijab syar'i. secara syariat hijab dimaknai sebagai pakaian yang menutup aurat yang tidak mengundang syahwat bagi orang yang memandangnya dengan tetap berpedoman pada fungsi hijab yang sesuai syariat bukan sebagai alat untuk bertabarruj atau agar dipuji orang lain karena kecantikan/keindahan orang yang mengenakannya, sehingga wanita muslimah yang ingin berhijab benar-benar karena keinginan untuk mengikuti anjuran Tuhan supaya menutup aurat bukan karena mereka lebih memperhatikan gaya-gayaan/style dari pada syariat yang dianjurkan.
Terkait dengan beberapa bentuk penggunaan jilbab/hijab seperti disebutkan di atas itu merupakan bentuk pemahaman masing-masing individu terhadap style jilbab yang mereka ikuti, di samping itu juga maraknya jenis-jenis jilbab atau style penggunaan jilbab dimotori oleh budaya masyarakat kita yang selalu meniru (follower) hal-hal baru yang kadang secara substansial tidak memberi manfaat apa-apa namun cukup ampuh merubah pola pikir masyarakat tentang suatu hal. seperti contoh jilbab ini, beberapa waktu lalu dengan boomingnya film-film tema percintaan berbalut religi, para aktor/aktris dengan nampak anggunnya mengenakan pakaian-pakaian gemerlap yang mereka sebut hijab juga, lalu masyarakat dengan paradigma untuk selalu eksis tampil cantik juga ikut-ikutan mengenakan kostum seperti itu, entahlah dengan niat untuk mengikuti syariat anjuran menutup aurat atau mengikuti tabiat artist di film tersebut (hanya Tuhan yang tahu niat seseorang), bahkan aktris-aktris pada film tersebut menjadi pemandu tutorial hijaber yang lumayan menguras waktu untuk mengenakannya seperti yang pernah saya saksikan melalui youtube.
Saya pernah berkunjung ke salah satu toko perlengkapan hijab di wilayah Mataram yang secara bersamaan juga menjual beberapa kitab-kitab/buku islami, iseng-iseng saya lirik-lirik juga beberapa pakaian muslimah yang paketan dari gamis sampai jilbabnya, karena tidak dipungkiri saya juga senang melihat wanita muslimah dengan pakaian seperti itu, bukan saja terlihat cantik tetapi aura-aura shalihahnya itu nampak juga, seperti beberapa mahasiswi di kampus FKIP tempat saya kuliah dulu. awalnya saya tidak yakin dengan bandrol yang tersemat di beberapa pakaian tersebut, setelah saya lirik jenis-jenis yang lain juga ternyata harganya tidak jauh beda rata-rata di atas Rp. 500.000, yang paling murah saya perhatikan berada pada kisaran harga Rp. 350.000. sempat terpikir juga pada waktu itu, mahasiswi-mahasiswi yang tampil berhijab syar'i seperti yang mereka sebut ternyata lumayan merogoh kantong juga sehingga tampil anggun seperti itu, sementara mahasiswi-mahasiswi dengan kostum standar ala anak kuliahan mungkin saja mereka sebenarnya ingin tampil syar'i juga, namun tak cukup uang untuk memboyong pakaian-pakaian hijab seperti itu, dan memutuskan untuk tampil standar seperti mahasiswi kebanyakan dengan jeans lalu pakaian katun longgar dan jilbab.
Sekiranya paradigma berhijab yang mereka pahami dengan menggunakan gamis dan jilbab besar seperti itu, maka rata-rata mungkin kebanyakan mahasiswi agak berat untuk membelinya, bagi mahasiswa yang orang tuanya berpenghasilan menengah ke atas harga tersebut mungkin bisa saja mereka bayar, namun mahasiswi dengan kantong pas-pasan mungkin mereka akan mikir 1000 kali untuk memutuskan keinginan tampil dengan hijab syar'i seperti yang mereka sebutkan.
Lalu berkenaan dengan munculnya beberapa macam jilbab dan cara mengenakannya yang aneh-aneh juga tidak lepas dari peran media yang menumbuh suburkan budaya-budaya untuk tampil eksis dengan bermacam gaya dari pada fungsi jilbab yang sebenarnya. memang diakui pasti semua wanita ingin tampil cantik entah itu ketika di dalam rumah maupun ketika bepergian. lantas ketika para wanita berlomba-lomba untuk selalu tampil lebih cantik di hadapan umum sehingga membuat orang lain selalu menujukan pandangan kepadanya, rata-rata laki-laki normal pasti menimbulkan pemikiran dalam benak mereka mulai dari kekaguman, ujung-ujungnya ingin tahu siapa namanya, lama-lama muncul pikiran seandainya dia jadi pacar/istri. ini memanglah hal wajar, walaupun Rasulullah SAW. mengingatkan bagi seseorang yang akan membina rumah tangga dengan 4 kriteria yang disuguhkan, namun tak dipungkiri yang paling dominan dilihat sekarang adalah kecantikan maupun kekayaan, sementara agama mungkin dilihat pada urutan yang ketiga atau kedua.
Kemudian muncul beberapa statemen publik tentang berbedanya antara jilbab dengan akhlak, seseorang yang berjilbab namun akhlaknya masih belum bisa dijaga seperti ghibah/membicarakan keburukan orang lain, fitnah, atau tampil dengan mesranya di hadapan publik bersama seorang yang bukan mahram, sehingga memunculkan fenomena kerdus (kerudung dusta) atau kerbus (kerudung busuk), lalu banyak yang berdalih "jika seorang perempuan berjilbab namun belum bisa menjaga sikap, jangan dianggap lebih buruk karena semata-mata dia berjilbab, namun murni karena kepribadian mereka, perempuan berjilbab (menutup aurat) belum tentu berakhlak, perempuan berakhlak pasti berjilbab (menutup aurat)".
Kalau sekarang fenomena digembar-gemborkannya seruan untuk berhijab namun muncul wacana seperti itu tentang terlepasnya makna jilbab dengan akhlak, lantas apakah jilbab tersebut hanya dijadikan gaya-gayaan untuk memikat lawan jenis supaya lebih mengagumi mereka sementara akhlak tidak turut untuk dibenahi, atau bentuk-bentuk hijab tersebut sebagai alat untuk tabarruj padahal dalam Al Qur'an jelas-jelas Tuhan melarang Tabarruj seperti dalam firman-Nya "Janganlah engkau berlebihan dalam berhias seperti berhiasnya orang-orang jahiliyah. (Q.S Al Ahzab : 33)", atau apakah jilbab yang dikenakan sekedar mengikuti trend berjilbab karena fenomena follower yang sedang booming-boomingnya.
Bahkan beberapa waktu lalu saya pernah mengikuti suatu kuliah, lalu di depan ada seorang perempuan, adik tingkat dengan dandanan tampak rapi ala Kerpun (kerudung punuk) datang dengan tergesa-gesa, sekilas tak ada yang aneh dengan dandanannya karena kebanyakan mahasiswi berdandan seperti itu juga, secara tidak sengaja salah seorang teman di samping saya menunjuk ke jilbab adik tingkat tersebut, saya masih belum menangkap apa yang dia maksud, setelah saya perhatikan lebih detail pada jilbab yang dikenakan, ternyata pada jilbab abu tersebut di ujung bawahnya dibordir berbagai macam logo jejaring sosial yang pernah ada dan booming di internet seperti facebook, twitter, Yahoo Messenger, BBM, youtube, google chrome, blogger, google play, firefox, gmail, Ymail, safari, Itunes, ebay,dan lainnya yang saya lupa juga, dan seingat saya pada waktu itu satu yang tidak ada pada jilbab tersebut yaitu Internet Explorer. sekarang dengan lebih banyaknya lagi jenis jejaring sosial yang ada mungkin telah ditambahkan bordirannya oleh si empunya jilbab karena pada waktu itu sekitar tahun 2013 belum muncul instagram, path, LinkedIn, google +, dan lainnya.
Setelah menemukan kejadian seperti itu, pada keesokan harinya saya menonton sebuah tayangan program Khazanah yang membahas tentang fenomena maraknya jilbab punuk yang menyerupai tanduk atau punuk unta sebagai pertanda akhir zaman, sekilas saya melihat juga jilbab aksesoris yang dikenakan salah seorang artist remaja dengan bordiran aksesoris jejaring sosial persis seperti yang dikenakan adik tingkat waktu itu.
Kembali kepada topik tentang jilbab dan akhlak, secara substansi syariat antara anjuran menutup aurat (berhijab) dengan anjuran berakhlak mulia memang sepadan sebagai bentuk pemuliaan manusia sebagai makhluk yang sempurna, jika kemudian muncul persepsi tentang pemisahan keduanya sebagai legitimasi untuk tetap eksis dengan style tampil cantik yang sesuai dengan zaman, maka hal itulah yang seharusnya mejadi fokus pemahaman bersama tentang bagaimana kita membiasakan antara anjuran menutup aurat dengan komitmen untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak kepada sesama manusia maupun akhlak kepada Tuhan.
Ketika seseorang telah berniat tulus untuk berhijab mengikuti anjuran Tuhan maka secara tidak langsung perbaikan-perbaikan pada tingkat yang lain akan mengikuti, akan tetapi ketika niat berhijab untuk sekedar mengikuti trend atau berhias agar dipuji atau hanya untuk terlihat tampil cantik di muka umum maka itulah yang memunculkan jilbab hanya dijadikan alat tabarruj, berlebihan dalam berhias dengan make up dan jilbab aneh beraneka dandanan yang kadang tak jarang juga memunculkan cibiran miring atau bahan tertawaan bagi yang lain seperti contoh jilbab punuk jejaring sosial tadi.
Hijab yang sederhananya memenuhi syar'i dan tidak terkesan bertabarruj,kadang tidak butuh biaya mahal asal memiliki komitmen juga untuk tampil sederhana seperti yang banyak dikenakan oleh remaji-remaji santri pada umumnya,seperti dengan menggunakan rok lalu pakaian longgar dan jilbab rapi yang menutupi bagian kepala sampai dada atau jilbab besar yang menutupi sampai bawah pada badan bagian belakang. Namun bagi para pemudi yang masih belum percaya diri untuk tampil seperti itu, dengan dandanan seperti biasanya asalkan tertutup rapi aurat, sehingga tidak menimbulkan nafsu syahwat bagi yang memandang dan tetap menjaga akhlak itupun juga termasuk sudah berhijab pada dasarnya. Oleh karena itu komitmen untuk berhijab dan memperbaiki akhlak harus disinergikan secara tepat sehingga tidak muncul lagi statemen sepertikerudung dusta, kerudung busuk tadi demi terwujudnya muslimah-muslimah sejati yang bahkan sampai disebut-sebut sebagai tiang negara.
Maka sudah sewajarnya generasi-generasi remaja putri yang sedang geliat-geliatnya berdandan supaya tampil cantik dibentengi dengan anjuran untuk mensinergikan antara akhlak dan komitmen untuk berhijab sehingga mereka tidak saja memperhatikan dandanan namun di balik itu nilai akhlak, dan generasi Qur'ani terpatri dalam diri mereka. Wallahu a'lam.
Nb : Tulisan ini bukan bermaksud untuk menggurui, namun semata-mata sebagai bentuk penuangan kegelisahan atas fenomena yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H