Aturan hukum di Indonesia, penegakan hukum dilakukan oleh kepolisian. Penegakan kedaulatan negera oleh TNI (militer). Â Militer tidak boleh masuk ke dalam rana penegakan hukum, lalu jika penegak hukum berstandar militer, apakah tidak kontraproduktif?
Pembahasan revisi UU teroris telah memasuki tahap pembahasan  Daftar Inventaris Masalah (DIM). Dalam pembahasan DIM ini, nantinya akan menentukan apakah perlu dibentuk Tim pengawas Detasemen Khusus (Densus) 88.  Densus 88 yang selama ini menjadi leading sector dalam operasi penanggulangan tindak terorisme di negeri ini dilatih serta dilengkapi untuk mampu melakukan close quarters battle (CQB), atau pertempuran jarak dekat melawan teroris bersenjata.
Tim elit anti teror Indonesia "Detasemen Khusus 88" atau Delta 88 dan lebih dikenal dengan sebutan Densus 88 ternyata dilatih oleh badan intelijen Amerika (CIA dan FBI). Dan dalam melakukan aksinya, Densus 88 menggunakan senjata-senjata api dan peralatan canggih yang gak kalah dengan tim khusus anti teror yang dimiliki oleh TNI atau bahkan tim teror dari luar negeri.
Senjata Canggih Densus 88Â
Seperti apakah senjata dan peralatan canggih buatan buatan Amerika Serikat yang dipakai Tim Densus 88? Berikut beberapa senjata dan peralatan Detasement Khusus 88: (seperti yang dirilis oleh tempo.co dan http://terbaru2013.blogspot.de/2013/03/senjata-senjata-canggih-tim-densus-88.html)
 » Colt M4 5.56 mm (Senapan Serbu)
» M4A1 Carbine 5.56 x 45 mm (Senapan Serbu)
» Heckler & Koch HK416 (Senapan Mesin)
 » Heckler & Koch MP5 Submachine Gun (Senapan Mesin Ringan)
 » Steyr AUG (Senapan Mesin)
» Armalite AR-10 (Senapan Sniper)
» Remington 870 & Remington 700 Shotgun
 » Ithaca 37 Shotgun
 » Glock 17 Pistol (Standar Pistol)
 » Ballistic Shield (Tameng)
 » Rompi Anti Peluru
Doktrin Polisi atau Militer
Pada dokrin yang mendasari satuan penanggulangan teror yang berbasis kepolisian, mereka  dilatih bukan untuk membunuh tetapi melumpuhkan. Contoh pasukan khusus anti teror milik Perancis, GIGN dilatih untuk menembak dengan senjata utama sub machine gun dengan sasaran di bahu untuk melumpuhkan sasaran teroris. Tujuannya memang diharapkan para begundal teroris ini masih hidup dan dapat diseret ke pengadilan. Kalau akhirnya dijatuhi hukuman mati pelakunya itu berdasarkan keputusan pengadilan.
Dengan persenjataan canggih yang dimiliki Densus 88 tersebut, dapat dikatakan, densus 88 Â memposisikan kedudukannya sejajar dengan militer, dimana dalam militer dilatih untuk mematikan musuh menggunakan senjatanya menembak di kepala, dengan cara double tap (menembak cepat dua kali) untuk memastikan sasaran yang ditembak mati, itu pun jika musuh jelas-jelas menggunakan senjata, jika tidak maka dilakukan penawanan sesuai dengan hukum HAM perang yang berlaku.
Dengan memposisikan seperti militer, tidak jarang dalam pelaksanaan tugasnya, Densus 88 sering kali melakukan tindakan diluar prosedurnya, fakta sejak dibentuk Densus 88, gembong teroris kebanyakan ditembak mati di tempat, mulai dari DR. Azhari, Noordin M. Top, Dulmatin, dan sejumlah tokoh lain yang pernah berhadapan dengan Densus 88. Yang terakhir adalah penangkapan dan penyiksaan terhadap terduga teroris Siyono, yang akhirnya meninggal dunia. Beberapa pihak menyebutkan matinya tersangka ini bisa menyebabkan lambannya penanganan teroris karena tidak ada interogasi lanjutan. Belum lagi perkara HAM dan persidangan.
Dalam  10 tahun terakhir upaya penindakan terhadap orang-orang yang terkait terorisme, sudah lebih dari 121 orang tewas diluar pengadilan. Berapa yang mengalami kekerasan fisik dan verbal ketika penindakan dan penyidikan? Hampir 90% semua orang yang ditangkap terkait terorisme mengalami keadaan seperti itu, penggunaan kekuatan yang berlebihan sering dilakukan Polisi.  Belum lagi soal perlakuan tidak sehat terhadap keluarga orang yang ditindak, intimidasi dan pembunuhan karakater kerap terjadi. Yang dikemudian hari fenomena tersebut secara laten telah meradikalisasi banyak kelompok bahkan akhirnya melahirkan dendam menjadi ideologi dari spiral kekerasan yang terus menggeliat.
Pelanggaran HAM
Berdasarkan catatan Komnas HAM, ada 10 kategori pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penanganan terorisme diantaranya ialah: perampasan kemerdekaan seseorang, adanya perampasan atas nyawa manusia, perampasan harta-benda, terjadinya penyiksaan, perlakuan yang kejam, penciptaan rasa takut dan ancaman, upaya penghambatan komunikasi, adanya pelanggaran penggunaan penasihat hukum dan pelanggaran atas hak beribadah.
Dari 10 kategori pelanggaran HAM itu, Komnas HAM menyimpulkan ada 4, pelanggaran yang sistemastis dan meluas yaitu, upaya pembunuhan, perampasan harta, penyiksaan serta perlakuan pelanggaran hukum serius terhadap para terduga jaringan teroris. Dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh Densus 88 ini, sempat muncul gerakan-gerakan yang menginginkan Densus 88 ini dibubarkan, dengan alasan pelanggaran HAM dan juga menghabiskan uang negara.
Dengan adanya revisi UU teroris yang sedang dibahas oleh Tim Panitia Khusus (Pansus) DPR RI, diharapkan dapat dicari solusi yang baik dalam penanganan terorisme di Indonesia, apakah itu dengan dibentuknya tim pengawas yang betul-betul independen dan berintegritas untuk mampu kontrol penuh mulai dari hulu sampai hilir dari proyek kontra terorisme di Indonesia. Dengan demikian bisa meminimalisir kekawatiran adanya pelanggaran HAM , Â pelanggaran anggaran dan lainnya.
Jangan lupa dalam penanganan teroris harus juga mengedepankan upaya pencegahan, hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, badan Intelijen, TNI dan lainnya. Sehingga diharapkan penanganan teroris ini dapat diselesaikan sampai keakar-akarnya. Ingat bahwa saat ini terorisme tidak lagi sebagai ancaman suatu wilayah saja tapi telah menjadi ancaman bagi negara dan dunia secara global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H