Minangkabau tak hanya menyajikan keindahan budaya yang mampu melekat di ingatan para penikmatnya, namun juga memberikan keindahan alam yang terjaga untuk menjadi ruang penenang batin dan menyegarkan mata dari hiruk pikuk dunia kerja.Â
Semua keindahan yang terjaga ini tak lepas dari peran masyarakat Minangkabau yang saling bahu membahu dalam melaksanakan dan menerapkan norma yang telah berlaku lama di dalam masyarakat sebagai salah satu bentuk cara melestarikan norma para penghulu terdahulu. Termasuk norma dan aturan tanah yang dijaga oleh masyarakat, sehingga tidak mudah untuk dikuasai oleh pihak asing.
Salah satu bentuk aturan dan norma yang mengatur permasalahan tanah ini adalah sistem tanah pusaka atau tanah suku. Tanah pusaka merupakan tanah yang dimiliki suatu kaum di suatu wilayah di Minangkabau. Semua wilayah di Sumatera Barat pada dasarnya telah dimiliki oleh suku-suku Minangkabau termasuk wilayah perbukitan dan pegunungan.Â
Walapun penggunaan tanah pusaka dimiliki secara pribadi, namun tanggungjawab menjaganya ditanggung oleh semua orang yang satu sesuku dengan orang yang menggunakan tanah pusaka tersebut.Â
Sehingga apabila dibutuhkan izin dalam penggunaan suatu lahan di Sumatera Barat, tak jarang menimbulkan sengketa hanya karena salah satu orang dari suatu suku yang tak terima dan tak mengizinkan penggunaan tanah tersebut.Â
Aturan ini lah yang pada akhirnya tak hanya menjaga tanah-tanah di wilayah Sumatera Barat, namun juga di sisi lain menghambat pembangunan yang ada di Sumatera Barat.
Aturan dan norma tanah ulayat ini semakin kuat dengan keberadaan pemerintah daerah yang memiliki otonomi daerah sebagai mandat tertulis dalam konstitusional dari pemerintah pusat dan mendukung terjaganya aturan dan norma adat di lingkungan masyarakat Minangkabau serta tertera dalam Perda no. 6 tahun 2008.Â
Di bawah kepemimpinan gubernur Mahyeldi yang telah mengambil langkah-langkah konkret dalam bentuk peraturan daerah sebagai landasan hukum bagi pengelolaan tanah ulayat, yang merupakan salah satu unsur penting identitas sosial, hukum, ekonomi, religius, kebudayaan masyarakat Sumatera Barat.Â
Peraturan ini juga memberikan kepastian hukum dan memastikan pengelolaan tanah adat yang efektif, berdaya guna, dan berkelanjutan tanpa mengusik hukum adat yang telah ada. Â
Namun tanah ulayat atau tanah suku dianggap sebagai sebuah penghambat jika dilihat dari sisi Pembangunan Berkelanjutan di beberapa aspek. Negara Indonesia yang telah ikut menandatangani dan mematuhi semua SDG's dari hasil Konfrensi Pembangunan Berkelanjutan PBB (Rio+20) pada tahun 2012 sebelum akhirnya mulai diterapkan pada Januari 2015.Â
SDG's pada dasarnya merupakan sebuah inisiatif negara di dunia untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan yang dirancang untuk menyelesaikan semua tantangan global melalui 17 target, termasuk salah satunya "Life on Earth" yang berfokus pada isu lingkungan dan merupakan misi ke-15 dalam SDG's.