Secara keseluruhan, “Cinta Anak Karaeng” adalah novel yang menarik yang memberi wawasan budaya sekaligus mengisahkan percintaan yang rumit dan menantang. Bagi pembaca yang tertarik dengan budaya dan tradisi masyarakat Bugis atau kisah cinta dengan konflik sosial, novel ini bisa menjadi bacaan yang menghibur dan memberi perspektif baru.
Pengarang semakin mempertajam konflik dalam cerita dengan memperkenalkan latar belakang tokoh-tokoh utama yang kontras. Karaeng Asmi diartikan sebagai putri bangsawan yang terpandang dan dihormati, sementara Daro berasal dari keluarga sederhana yang jauh dari kalangan ningrat. Perbedaan status sosial ini menjadi penghalang besar dalam hubungan mereka.
Bapak Ahmad Sahide kemudian mengeksplorasi sisi gelap dari cinta yang obsesif melalui tokoh Daro. Keinginan Daro yang memuncak untuk meraih Karaeng Asmi membuatnya tidak segan menggunakan cara-cara klenik seperti pelet dan jampi-jampi. Keputusan Daro untuk melibatkan dukun mandraguna bernama Amma Hatik menambah dimensi mistis yang kuat dalam plot cerita.
Dengan demikian, novel ini bukan sekedar kisah cinta klasik, tetapi juga menampilkan unsur-unsur magis dan keyakinan spiritual masyarakat setempat. Hal ini tentu menambah keunikan dan daya tarik cerita dengan memasukkan budaya lokal ke dalamnya.Menarik untuk melihat bagaimana pengarang akan mengembangkan alur selanjutnya. Akankah pelet itu berhasil mendatangkan cinta? Bagaimana reaksi keluarga Karaeng jika mengetahui hal tersebut? Konflik-konflik seperti itu yang disampaikan akan dibahas di sepanjang cerita.
Secara keseluruhan, tambahan informasi ini membuat "Cinta Anak Karaeng" terlihat semakin kompleks dan menarik untuk disimak perkembangannya. Perpaduan tema cinta dengan tabu sosial dan klenik lokal menciptakan premis yang kaya untuk digarap menjadi cerita yang menghibur sekaligus memberi wawasan budaya.
Novel ini secara berani mengangkat isu tabu dalam masyarakat terkait perbedaan kasta dan larangan pernikahan antara Karaeng dan rakyat biasa. Sahide tidak ragu menceritakan konsekuensi pahit yang harus ditanggung oleh Daro dan Karaeng Asmi akibat hubungan terlarang mereka. Dengan mengungkapkan bahwa keduanya akhirnya dijatuhi hukuman adat, pengarang menyoroti sikap masyarakat yang masih sangat memegang teguh tradisi kasta secara ketat.
Meski dibalut dengan romansa, cerita ini sebenarnya merupakan kritik sosial yang menantang pembaca untuk meninjau relevansi sistem kasta pada zaman modern. Dilema yang dialami tokoh utama mencerminkan pergulatan nilai-nilai lama dengan tuntutan zaman yang berubah. Pembaca diajak untuk berempati sekaligus menilai sendiri apakah hukuman yang dijatuhkan kepada pasangan itu terlalu berat atau setara.
Dari segi fisik, novel ini menggunakan format sederhana yang umum untuk buku-buku sejenis, yaitu softcover dan kertas book paper. Namun, pengarang berhasil menghumaniskan cerita dengan menggambarkan suasana desa Kindang dan kultur masyarakat Bugis dengan sangat hidup dan detail. Informasi budaya yang kaya ini menjadi nilai tambah yang menarik bagi pembaca.
Secara keseluruhan, “Cinta Anak Karaeng” adalah novel yang tidak hanya mengisahkan percintaan, tetapi juga membawa pesan moral dan kritik sosial. Dengan bahasa yang ringan, Sahide mengajak kita untuk merefleksikan nilai-nilai tradisional dan keunikan budaya Indonesia yang masih bertahan di era modern. Novel ini adalah bacaan yang direkomendasikan bagi siapa pun yang ingin menikmati cerita romansa sekaligus mendapat wawasan tentang dinamika di masyarakat Sulawesi Selatan.