Mohon tunggu...
Ahmad Bahy Hilmy Nugroho
Ahmad Bahy Hilmy Nugroho Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hustler

Sarjana Teknologi Pertanian Petani desa

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jalan Terjal Indonesia Menghadapi Covid-19

31 Maret 2020   10:01 Diperbarui: 31 Maret 2020   11:05 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penyebaran Covid-19 di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Per hari  senin 30 Maret 2020 sudah 1414 orang yang terjangkit virus yang menyerang sistem respirasi tersebut, 122 di antaranya meninggal dunia sementara pasien yang dinyatakan sembuh berjumlah 75 Orang. Indonesia tidak hanya tinggal diam, berbagai solusi sudah diterapkan oleh pemerintah seperti anjuran untuk social-distancing, himbauan kepada pemerintah daerah untuk menutup tempat kerja, sekolah dan tempat umum seperti tempat wisata, sampai pelaksanaan rapid test.

Pelaksanaan rapid test sudah dilaksanakan efektif sejak 24 maret 2020 dimulai di DKI Jakarta pada sekitar 10.000 orang dan hasilnya, pemda DKI menemukan 121 orang yang dinyatakan positif. 

"Hingga tanggal 27 Maret 2020, telah dilakukan 10.459 rapid test, dengan hasil 121 orang dinyatakan positif," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Widyastuti melalui siaran resminya yang dikutip dari CNNIndonesia, Minggu (29/3/2020).

Metode Rapid test ini adalah metode serologi yaitu dengan mengambil sampel darah dan melihat apakah terdapat imun untuk melawan covid-19 yang terbentuk didalam darah. Jika ditemukan, maka kemungkinan orang tersebut terkena virus covid19 yang kemudian dilakukan tes PCR/swab dan dilakukan rujukan ke RS atau anjuran untuk mengisolasi diri selama 2 pekan.

Pelaksanaan rapid test akan terus berlanjut mengingat Indonesia sudah mengimpor 500.000 alat rapid test dan kemungkinan akan menambah tes kit lagi dari Korea Selatan. Tentu ini sedikit membuat masyarakat lega dan berharap rapid test dapat dilakukan seluas mungkin sehingga pasien positif akan segera diketahui dan ditangani. Ketika pasien covid19 sudah tertangani maka tidak akan ada lagi penularan virus.

Namun harapan masyarakat tersebut bisa saja memunculkan kekhawatiran mengingat rapid test yang dilakukan oleh Indonesia ini hanyalah screening pasien dan bukan merupakan diagnosis sehingga tidak bisa memastikan pasien positif atau negatif. Dokter spesialis paru-paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, dr Erlina Burhan dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) mengatakan bahwa orang yang terinfeksi namun tidak bergejala bisa saja dinyatakan negatif dari hasil pemeriksaan rapid test ini.

"Kalau seseorang dalam masa inkubasi, kemudian diperiksa rapid test serologi belum terdeteksi, nanti jadi seolah-olah negatif, ini disebut negatif palsu," ujar Erlina.

Jika memang demikian, maka ada kemungkinan terdapat masyarakat yang terjangkit tak ber-gejala menunjukan hasil negatif pada rapid test. Orang tersebut tidak akan mendapat anjuran oleh petugas medis untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Orang tersebut bisa beraktifitas seperti biasa dan menyebarkan virus corona lebih lanjut lagi.

Dengan kemungkinan tersebut maka perlu dipertanyakan mengenai kebijakan pemerintah melakukan rapid test serologi ini. Apakah rapid test ini solusi yang sesuai untuk Indonesia menghadapi Covid 19?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus mengetahui alasan mengapa Indonesia menjadikan rapid test sebagai solusinya.

Indonesia melakukan rapid test merujuk pada Korea Selatan yang juga melakukan tes secara massal kepada warga negaranya. Korea Selatan menjadi negara yang terdampak paling besar selain China di asia. Negeri ginseng ini bergerak cepat dengan memproduksi tes kit secara besar-besaran.

Dengan melakukan rapid tes, Korea berhasil menurunkan jumlah kasus baru dalam beberapa pekan belakangan. Dengan mengikuti langkah korea ini, Indonesia mungkin sudah berada di jalur yang tepat menuju penyelesaian masalah ini. Namun yang perlu diperhatikan Indonesia bahwa rapid test bukanlah satu-satunya 'senjata' Korea Selatan.

Tidak seperti di Indonesia, penderita coronavirus yang tidak bergejala atau mempunyai gejala ringan di Korea Selatan tidak diijinkan untuk pulang dan mengisolasi diri sendiri. Melainkan dibawa ke "Life Treatment Centers," dimana pasien bisa dimonitor kesehatannya serta dapat cepat dipindah ke instalasi intensif jika dibutuhkan. Yang penting dari tindakan ini adalah pasien dihindarkan untuk menularkan penyakit ke keluarga di rumah.

Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak dibanding Korea Selatan memang tidak rasional bagi Indonesia untuk menampung semua orang yang mempunyai gejala ringan seperti di korsel. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan juga mungkin tidak mencukupi. Bahkan sekedar alat pelindung diri (APD) dan masker bedah pun masih banyak tenaga medis yang kekurangan.

Indonesia memang harus mempunyai langkah maupun inisiatif sendiri untuk melawan covid19. Salah satunya seperti saran dari dr Erlina yaitu dengan memperbanyak alat polymerase chain reaction (PCR). Alat PCR bisa mendiagnosis secara pasti. Di Indonesia pengecekan menggunakan PCR yang seharusnya selesai beberapa jam saja, membutuhkan waktu berhari-hari karena keterbatasan alat sehingga sampel menumpuk menunggu untuk dites.

Jika mempunyai alat pengecekan PCR yang mencukupi maka Indonesia bisa melakukan tes PCR kepada pasien dalam pengawasan (PDP) dan orang dalam pengawasan (ODP). Pengetesan tersebut dapat memilah pasien yang positif corona sehingga dapat segera dilakukan penanganan lanjutan sebelum terjadi penularan. Penanganan lanjutan yang cepat berarti Indonesia akan mengurangi fatality rate yang sekarang cukup tinggi. Dengan PDP dan ODP yang sudah tertangani dengan PCR maka alat rapid test yang kadung dibeli bisa kita gunakan untuk mengetes masyarakat secara umum untuk menyaring lebih lagi pasien covid19.

Tentu saja pengadaan alat PCR tersebut harus dibarengi dengan pemberlakuan physical distancing yang lebih ketat lagi. Karena akan percuma jika Indonesia bisa menyaring pasien covid-19 namun terjadi penyebaran dalam waktu yang bersamaan. Selama ini physical distancing belum terlaksana secara efektif. Masih banyak terdapat banyak kantor yang tidak meliburkan pegawainya. 

Banyak juga pekerja informal seperti pedagang yang masih saja berani berjualan disaat genting seperti ini. Kita memang tidak bisa menyalahkan mereka. Lagi-lagi pemerintah-lah yang harusnya turun tangan. Untuk social distancing yang lebih efektif, pemerintah harus punya kebijakan untuk memenuhi kebutuhan setiap warganya dalam waktu social distancing ini. Entah itu dengan metode pemberian pemasukan biaya pokok (Universal Basic Income) maupun kebijakan lain.

Pada prakteknya memang tidak ada suatu sistem yang bisa memahami situasi penyebaran virus ini secara menyeluruh. Disaat seperti ini memang pemerintah harus melakukan segala upaya, memanfaatkan semua sumberdaya yang dipunyai, mendengarkan semua pendapat dari berbagai ahli di setiap bidang untuk menemukan formula yang lebih cocok digunakan Indonesia. Formula tersebutlah yang akan menentukan berapa banyak nyawa yang akan tertolong atau berapa banyak nyawa yang akan melayang dalam peperangan melawan covid19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun