Ilmu ekonomi dikatakan sebagai the oldes art and the newest science. Seni yang tertua dan ilmu pengetahuan yang paling muda. Masalah-masalah ekonomi lahir serentak dengan terbitnya matahari kemanusiaan puluhan ribu tahun silam. Tidak ada satu cabang ilmu yang lebih dulu lahir daripadanya. Bagaimana tidak? Sejak Nabi Adam a.s. diturunkan ke dunia bersama istrinya, kebutuhan mereka akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal telah memaksa mereka untuk bergumul dan bergaul dengan masalah-masalah ekonomi. Tidak lain hal demikian merupakan masalah-masalah rumah tangga sehari-hari. Karena itu tidak heran jika istilah ekonomi sendiri yang berasal dari bahasa Yunani, Oikos Nomos, diterjemahkan dengan management of household or estate. Tata laksana rumah tangga dan pemilikan1. Tidak diragukan lagi, kebutuhan -- atau lebih tepatnya keinginan -- merupakan tema sentral ilmu ekonomi dalam susunan paradigmanya. Jika manusia tak memiliki keinginan, maka sungguh tidak bakal ada ilmu ekonomi.
Pengertian ilmu ekonomi sendiri, terlepas valid tidaknya, adalah ilmu yang membahas perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang tidak terbatas terhadap sumber daya yang terbatas.
Keinginan yang tak terbatas inilah sifat manusia paling purba. Paling primitif. Malaikat bahkan telah mempertanyakannya sejak Allah swt. akan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Bagaimanapun, keinginan yang tak terbatas itu menjadikan manusia berpotensi untuk membangun dunia, sekaligus berpotensi untuk merusak. Hal terakhir inilah yang menjadi kekhawatiran subyektif malaikat (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30). Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. menegaskan tentang sifat paling dasar manusia ini.
عن ابن عباس رضي الله عنهما يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتِغَى ثَالِثًا وَلاَ يَمْلأُ خَوْفَ ابْنِ آدَمَ اِلاَّ التُّرَابُ وَيَتُوْبُ الله عَلَى مَنْ تَابَ -- رواه البخارى ومسلم والترمذى واحمد
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Apabila seorang anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang memuaskan mulutnya kecuali tanah (kematian), dan semoga Allah swt. memberi ampunan bagi orang-orang yang bertaubat.'" ~HR. al-Bukhari, al-Muslim, at-Tirmidzi, dan Ahmad.
Digambarkan di dalam hadits di atas sifat paling dasar manusia itu, dimana meski sudah memiliki dua lembah harta, ia masih menginginkan lembah harta yang ketiga. Keinginan -- tak terbatas -- ini hanya akan usai ketika ia telah mati. Konsekuensi dari sifat dasar manusia ini, maka konsepsi ekonomi konvensional (kapitalis) lalu menganggap manusia itu sebagai binatang ekonomi (homo-economicus), yang dalam melakukan aktivitas ekonominya (produksi, konsumsi, distribusi) menggunakan prinsip rational economic man. Prinsip ini memandang bahwa setiap aktivitas ekonomi manusia adalah rasional, yakni sebagai usaha melayani kebutuhan pribadi dengan cara memaksimalkan kekayaan pribadi dan konsumsi dengan cara apapun2. Ini digambarkan Allah swt. dalam firman-Nya:
"Dan orang-orang kafir itu menikmati hidup dan mereka makan sebagaimana makannya binatang, dan neraka adalah tempat kembali mereka." ~QS. Muhammad: 12.
Berbeda dengan konsep ekonomi konvensional, ekonomi Islam mengarahkan keinginan manusia dalam bingkai fungsi dan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Ketika menghasilkan produk, seseorang tidak hanya berdasarkan selera atau keinginan pasar, melainkan juga mempertimbangkan seberapa besar produk itu bermanfaat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hakiki mereka. Juga dipertimbangkan, apakah produk itu halal atau tidak untuk dikonsumsi, termasuk dampak yang ditimbulkan oleh produk itu terhadap gaya hidup, pola konsumsi, lingkungan, dan dampak sosial-ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam pun dikenal prinsip itsar, yakni prinsip mengutamakan orang lain. Prinsip ini mengajarkan sikap kasih sayang, persaudaraan dan peduli dengan orang lain. Dengan demikian, perilaku ekonomi mereka tak hanya digerakkan oleh prinsip rational economic man, tetapi lebih dari itu, peduli pada sesama dan mengutamakan kebutuhan orang lain menjadi pertimbangan utama. Jadi, meski manusia memiliki keinginan tak terbatas (baca: rakus) sebagai sifat dasar, tetapi seorang muslim akan mampu mengekang dan membuat sifat dasar itu tidak membabi-buta. Wallahu a'lam bi ash-shawab. --------- 1Rosyidi, Suherman. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro. PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta: 2009. 2Munir, Misbahul. Ajaran-ajaran Ekonomi Rasulullah: Kajian Hadits Nabi dalam Perspektif Ekonomi. UIN-Malang Press: Juni 2007.
***
Keterangan. Sumber gambar: debeisme.blogspot.com Tulisan juga dipublish di blog i.finance.bahtiarhs.net.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H