Program kemitraan masyarakat (PKM) yang telah dilakukan selama 6 bulan dengan menerapkan teknologi google earth dalam memonitoring kasus tuberculosis di Puskesmas Deli Tua telah memberikan hasil.Â
Meskipun hasil ini, belum memberikan gambaran yang maksimal tentang efektifitas program, namun indikasi ini telah menunjukan bahwa pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth telah memberikan peranan penting dalam pengembangan sistem monitoring kasus tuberculosis di Indonesia.
Pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth adalah pemetaan kasus tuberculosis dengan menggunakan software google earth. Software ini sangat efektif untuk memetakan kasus secara individual dalam wilayah yang sempit (seperti puskesmas) terutama untuk kasus-kasus penyakit menular. Hal ini disebabkan kasus penyakit menular pada dasarnya dalam keadaan endemis di satu wilayah kerja puskesmas hanya berkisar antara 1-200 kasus dalam 1 tahun.Â
Dengan jumlah kasus yang demikian, peta dot spot map sangat baik dilakukan sehingga profil kasus tertentu seperti umur, jenis kelamin, pendapatan, dan kondisi lingkungan dapat di pantau dengan cukup baik (WHO, 2012).
Berbeda dengan sistem pemetaan GIS (Geografic Information System), sistem pemetaan berbasis google earth tidak perlu menggunakan safe file. Hal ini tentu menguntungkan penguna peta google earth yang tidak perlu mengubah safe file tertentu jika terjadi pemekaran wilayah tertentu.Â
Oleh karena itu, penggunaan pemetaan tuberculosis berbasis google earth tidak membutuhkan keahlian khusus. Petugas puskesmas yang berlatar belakan pendidikan kesehatan mampu mengoperasikan pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth dengan terlebih dahulu mendapatkan pelatihan.
Setiap kasus tuberculosis yang telah terconfirmasi oleh petugas puskesmas akan diinput ke dalam sistem pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth dengan warna hijau. Kemudian setiap pengambilan oabat dokumentasi kalender dibagikan kepada kasus tuberculosis yang akan diisi oleh kasus tuberculosis untuk satu bulan pengobatan kedepan.Â
Dokumentasi kalender harus diisi oleh kasus tuberculosis setiap hari tentang perilakunya menelan obat, kontrol lingkungan dan kontrol droplet nuclei. Sebagai tambahan, kasus tuberculosis juga mengisi perilaku diet, perilaku istirahat, perilaku minum alcohol dan perilaku merokok.Â
Pada pengambilan obat kedua, dua minggu setelah pengambilan obat yang pertama, kasus tuberculosis harus membawa dokumentasi kalender untuk dicek oleh petugas DOTS mengenai kelengkapan pengisian. Setelah dicek, petugas DOTS memberikan saran-saran tertentu pada kasus tuberculosis tentang pentingnya pengisian dokumentasi kalender.
Setelah program pengobatan tuberculosis, seiring dengan pertambahan waktu warna kasus sudah mulai berubah. Jika kasus tuberculosis pernah terputus menelan obat satu kali saja maka warna kasus berubah menjadi merah yang berarti kasus tuberculosis berisiko tinggi untuk tidak sembuh dan berpotensi sebagai reservoir micobacteriun dalam populasi.Â
Jika warna kasus berubah menjadi warna kuning, maka kasus tuberculosis digolongkan berisiko rendah untuk tidak sembuh, dan jika tetap berwarna hijau maka kasus tuberculosis digolongkan tidak berisiko.
Monitoring kasus tuberculosis dilakukan selama 1 periode pengobatan yaitu 6 bulan. setelah 6 bulan seorang kasus yang lengkap menjalani pengobatan (dot hijau) dan sembuh melalui pemeriksaan laboratorium maka warna kasus berubah jadi putih.Â
Namun jika proses pengobatan tidak dilakukan dengan lengkap, maka warna kasus merah bulat, berubah menjadi merah lonjong. Titik merah lonjong menunjukan bahwa kasus tuberculosis adalah kasus tuberculosis MDR atau tuberculosis laten di populasi.
Jarak terdekat dan terjauh kasus dari puskesmas juga perlu dipetakan dalam peta. Hal ini dilakukan untuk memahami apakah faktor jarak ke puskesmas berkontribusi terhadap ketidak lengkapan (kepatuhan) pengobatan.Â
Selain itu, pemetaan juga memperlihatkan kepadatan rumah dalam suatu wilayah tertentu dan kondisi lingkungan pemukiman. Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap penularan tuberculosis di populasi.
Pemetaan kasus tuberculosis juga memberikan gambaran sumber penularan dalam populasi. Jika program tahun lalu kasus tuberculosis tidak sembuh dalam populasi dan tahun ini atau tahun yang akan datang dari lokasi kasus muncul kasus baru tuberculosis, maka dapat diduga sementara bahwa kasus tersebut adalah tb MDR.Â
Dengan informasi ini, paisen tuberculosis baru tersebut dapat direkomendasikan untuk pemeriksaan tuberculosis MDR sebelum dilakukan pengobatan. Yang terjadi selama ini adalah petugas DOTS berpatokan pada hasil pemeriksaan sputum laboratorium. Jika hasil laboratorium puskesmas menunjukan sputum + maka akan langsung diberikan pengobatan tuberculosis dengan dosis kasus baru.Â
Dalam hal kasus tuberculosis memang adalah kasus baru, tentu tidak ada masalah. namun jika kasus adalah MDR maka dengan pengobatan 6 bulan yang diberikan tidak akan berdampak pada kesembuhan kasus. Dengan demikian, kesalahan dosis pengobatan karena salah diagnosa dapat dihindari.
Luaran pemetaan kasus tuberculosis dalam PKM ini difokuskan pada empat indikator utama yaitu: 1) kelengkapan pengobatan, 2) tingkat kesembuhan, 3) angka drop out kasus, dan 4) angka kematian kasus.
Dari hasil uji statistik menunjukan terdapat perbedaan kelengkapan pengobatan sebelum dan sesudah intervensi program pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth dengan peningkatan kelengapan pengobatan sebesar 18,3%. Hal ini menunjukan bahwa tingkat efektifitas intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth terhadap kelengkapan pengobatan.Â
Kelengkapan pengobatan ini disebabkan karena adanya motivasi kasus tuberculosis untuk sembuh. Motivasi ini muncul karena pengaruh pengisisan dokumentasi kalender sebagai salah satu alat self-monitoring  kausus tuberculosis.
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa terdapat perbedaan kesembuhan kasus tuberculosis sebelum dan sesudah intervensi pemetaan berbasis google earth dengan peningkatan tingkat kesembuhan mencapai 15,9%. Peningkatan ini tidak terlepas dari kelengkapan kasus tuberculosis dalam proses menelan obat.
Adanya peningkatan kelengkapan menelan obat dan tingkat kesembuhan pasien menyebabkan angka drop out pasien dan angka kematian juga berbeda secara statistik. Perbedaan ini menunjukan penurunan angka drop out pengobatan 12,5% dan angka kematian dengan penurunan 4,4%. Hal ini menunjukan bahwa intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth efektif sebagai alat monitoring kasus tuberculosis di wilayah kerja puskesmas.
Efektifitas intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth berbeda bermakna dalam kelengkapan pengobatan sebelum dan sesudah intervensi (p< 0,01) dengan RR=2,21; 95%CI: 1,32-3,69. Intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth meningkatkan kelengkapan pengobatan kasus tuberculosis meningkat sebesar 18,3%. Tingkat kesembuhan ditemukan berbeda bermakna sebelum intervensi dan sesudah intervensi (p<0,01) dengan RR=1,87; 95%CI: 1,17-2,99.Â
Intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth meningkatkan kesembuhan kasus tuberculosis sebesar 15,9%. Angka drop out pengobatan ditemukan berbeda bermakna sebelum intervensi dan sesudah intervensi (p<0,01) dengan RR=1,77; 95%CI: 1,07-2,95. Intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth menurunkan angka drop out  kasus tuberculosis sebesar 12,5%.Â
Angka kematian kasus ditemukan berbeda bermakna sebelum intervensi dan sesudah intervensi (p<0,01). Intervensi pemetaan kasus tuberculosis berbasis google earth menurunkan angka kematian  kasus tuberculosis sebesar 4,4%.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H