Mohon tunggu...
Adi Guna
Adi Guna Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Manusia pembelajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ironi Pendidikan Anak-anak Ranu Pani

29 Mei 2014   03:04 Diperbarui: 12 Juli 2017   15:56 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemah Bakti Bersama Anak-Anak Ranu Pani

Sejak beberapa bulan lalu saya sering berkunjung ke Ranu Pani dalam rangka mengajar Pramuka anak-anak setempat di SD dan SMP Ranu Pani.  Sebelumnya saya hanya sebatas mendengar Ranu Pani sebagai sebuah desa pintu masuk para pendaki ke puncak Mahameru. Namun semenjak saya mengajar Pramuka di sana ada satu ironi yang saya temukan.

Ranu Pani adalah sebuah desa yang berada di kaki gunung Semeru pada ketinggian 2100 meter di atas permukan laut. Desa ini memiliki tanah yang subur, sehingga sebagian besar warga Ranu Pani memiliki mata pencaharian sebagai petani sayuran. Selain itu ada juga sebagian warga yang memiliki mata pencaharian sebagai porter para pendaki yang akan mendaki puncak Mahameru. Ranu Pani secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Ketika kita di Ranu Pani dan berbicara tentang sekolah, maka jangan bayangkan anak-anak berseragam putih dan merah lalu memakai sepatu hitam mengkilat rapi dan mencangklong tas,  jangan bayangkan ketika bel berbunyi puluhan anak berlarian menuju ruang kelas dengan antusias, jangan juga bayangkan gedung sekolah yang bagus dengan pagar sekolah, bangku yang berjajar rapi serta papan tulis yang bagus, mohon untuk tidak membayangkan seperti itu. Itu adalah sekolah anda sekolah saya yang kita hidup di kota.

Sekolah di Ranu Pani artinya adalah sebuah komplek gedung tanpa pagar pembatas dengan enam ruang kelas yang kondisinya sama sekali berbeda dengan yang kita bayangkan. Sekolah ini beratap asbes dan di sana-sini banyak ditemukan plafon yang jebol. Guru di sini sangat terbatas, hanya empat orang jika semua guru datang, seringkali hanya satu orang yang masuk dan beliau bergantian masuk kelas, bagi kelas yang tidak ada gurunya maka siswa akan bermain di luar berlarian, berkelahi, bermain bola, ketika tiba giliran sang guru masuk di kelas mereka baru mereka masuk ke kelas, dan begitu guru pindah ke kelas lain mereka kembali ke luar dan bermain kembali. Sekolah di Ranu Pani adalah sekolah satu atap, artinya sekolah itu digunakan untuk SD dan SMP. Hal ini dikarenakan tidak ada SMP di Ranu Pani sedang SMP terdekat dari Ranu Pani adalah dengan 2 jam perjalanan. Siswa SMP masuk pukul 14.00 hingga 16.00 dengan guru yang sama dengan siswa SD.

Selain jumlah guru yang terbatas, hal lain yang menjadi Ironi adalah mengenai kesadaran tentang pentingnya pendidikan. Saya tidak meragukan bagaimana orang-orang Ranu Pani bisa mendapatkan uang secara ekonomi mereka berkecukupan dengan bertani dan menjadi porter. Saya pernah menemukan warga Ranu Pani memiliki mobil Strada Triton dan Pajero Sport, bahkan motor keluaran terbaru bisa kita temukan di Ranu Pani. Sayangnya banyak dari mereka belum mengerti akan pentingnya pendidikan. Beberapa kali saya mendengar celoteh anak-anak SMP di Ranu Pani, mereka seringkali lebih memilih menjadi porter para pendaki, membantu orang tua mereka di ladang  atau menjadi tukang ojek daripada bersekolah. Seringkali mereka tidak masuk 2 minggu, lalu masuk kembali, kemudian tidak masuk lagi, dan menjelang ujian baru mereka masuk sekolah. Banyak diantara mereka yang bersekolah di SMP sebenarnya tidak memiliki usia anak SMP pada umumnya, usia mereka rata-rata 18 tahun dan bahkan ada yang 22 tahun. Mengenai minat baca dan kemampuan membaca mereka cukup memprihatinkan, banyak instansi yang memiliki niat baik untuk menyumbang buku dan membuatkan perpustakaan untuk anak-anak Ranu Pani, tapi untuk apa? Bukan itu yang mereka butuhkan. Buku-buku itu pada akhirnya tertumpuk di dalam kardus di ruang guru.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan Bu Nurul, salah seorang guru di sekolah tersebut yang seringkali menjadi guru satu-satunya yang hadir di sekolah. Beliau sadar akan kondisi itu akan tetapi keterbatasan sumber daya beliau tidak bisa berbuat banyak. Cita-cita beliau adalah bagaimana anak-anak Ranu Pani ini bersemangat untuk sekolah. Sumber dan akar ironi ini adalah mental block dan pola pikir yang kurang tepat dari para orang tua. Bulan April lalu kawan-kawan saya di Racana Brawijaya menyelenggarakan Kemah Bakti untuk anak-anak Ranu Pani, pada saat itu kemah diikuti oleh 60 anak ranu Pani, mereka dari kelas 4 dan 5 SD serta anak-anak SMP. Mereka begitu bersemangat antusias ketika ada kegiatan seperti itu bahkan menurut Bu Nurul tidak pernah di sekolah anak-anak berkumpul sebanyak itu dan seantusias itu.

Saya miris ketika polemik mengenai kurikulum sejak 2013 lalu. Banyak pihak yang mengemukakan pendapat pro dan kontra tentang pembaharuan kurikulum tersebut. Kita memang boleh idealis mengenai sistem pendidikan kita yang telah jauh tertinggal dari negara lain yang lebih maju dan  pembaharuan tentang kurikulum memang penting adanya, namun pemerataan dan peningkatan kesadaran pendidikan jauh lebih penting.  Mari kita semua peduli dengan hal-hal semacam ini jika kita memang memiliki cita-cita Indonesia Raya yang hebat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun