Suatu hari, si Fulan hendak mencuri buah mangga di tumbuh ranum di samping rumah beliau. Saat itu si Fulan mengira beliau sedang beristirahat siang. si Fulan memanjat pagar rumah beliau setinggi 2 meter dan mulai memetik beberapa mangga yang tumbuh subur tersebut. Tak berapa lama, ternyata muncul beliau KH. Ruhani Abdul Hakim datang membawakan tangga untuk si Fulan seraya berpesan "Nak... naiklah tangga ini. Nanti kalau kamu jatuh, harga berobat ke rumah sakit lebih mahal dari harga mangga itu". Si Fulan lalu turun dan segera pamit. Tapi dicegah oleh KH. Ruhani Abdul Hakiim, dan beliau sendiri akhirnya yang memetik mangga tersebut dan diberikan kepada preman yang hendak mencuri tersebut.
Lalu apakah preman tersebut menyesal menjadi preman, dan saya menyesal menjadi teroris? Tidak...
Preman tersebut akhirnya tewas saat berkelahi dengan sesama preman dengan luka bacokan yang menyebabkan tewasnya. Saya sendiri menyesali dalam diri sendiri, mengapa preman yang bisa menangis dihadapan jenazah seorang ulama, namun tidak dapat 'menangis' dihadapan manusia yang masih hidup? Jangan-jangan preman tersebut menjadi preman karena ulah kita, dan preman tersebut justru lebih diterima disisi Allah daripada kita yang menjadikan orang baik menjadi preman? atau jangan-jangan kitalah yang sejatinya preman tersebut?
Wallahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H