Dalam kacamata gerakan, terorisme dianggap sebagai antitesis dari kekuasaan yang ada. Dimana kekuasaan yang ada dianggap tidak sejalan dengan apa yang dianut dan diyakininya. Dalam kenyataannya, terorisme mengandung beberapa unsur yang sangat subyektif :
1. Sudut pandang.
Bila anda sebagai kelompok yang terjajah, seperti palestina yang dijajah Israel, warga iraq yang dijajah amerika, warga afghanistan yang dijajah amerika. Atau warga pribumi yang dijajah Belanda seratus tahun yang lalu. Lalu anda melakukan perlawanan dengan semampu anda, mempersenjatai dengan cangkul dan arit. Melawan dan menyerang balik penjajah. Pasti anda akan dikatakan sebagai teroris, radikal, dan ekstrimis.
2. Sebab
Namun sayangnya, kemunculan terorisme tidak semata dari faktor penjajahan semata. Terorisme ada yang muncul terkait sekte yang dianut (jepang), kebijakan politik yang berpihak kepada barat (amerika latin), isu rasis dan sektoral (irlandia utara), faktor ideologi yang diemban (nazi-jerman), hingga faktor-faktor lain yang sangat luas penyebabnya.Â
3. Tujuan
Bagi guru sejarah, pasti kalian memahami politik air panas yang diciptakan oleh Jepang sebagai tujuan dari penjajahan dan terorisme statenya saat itu? atau teori domino yang dijalankan Stalin sehingga berusaha menganeksasi berbagai negara saat itu? Apakah kita lupa pernah bersitegang dengan singapura yang dibombardir oleh anak-anak bangsa dengan aksi kejutannya. Termasuk penyerangan kepada Malaysia, Papua, dan Timor Timur (dalam sudut pandang yang berbeda tentunya).Â
Dari ketiga hal tersebut, seorang teroris pun akan memahami dengan sudut pandang yang berbeda terhadap terorisme negara dan kekuasaan yang dibangun.
1. Pengadilan Jalanan
Pernahkah anda membayangkan tangisan anak Siyono dan tangisan anak-anak yang bersekolah di TK yang berada di dekat rumah siyono saat pasukan densus bersenjata lengkap datang dan mengobrak-abrik tempat mereka belajar tersebut. Nah... apa yang terjadi terhadap siyono hanyalah 1 (satu) diantara 132 korban kematian yang dilakukan oleh densus 88. Tanpa pengesahan dan pembuktian di persidangan, para TERDUGA teroris tersebut ditembak tanpa sedikitpun bisa membuktikan dirinya tidak bersalah.Â
Kejadian terbaru adalah 2 orang bersenjata golok dan parang ditembak di dada saat mereka berada di area tambak di Jatiluhur. Dan lagi-lagi kepolisian enggan mempublikasikan hasil otopsi terhadap terduga terorisme tersebut. Dan lucunya, polisi beralasan teroris bersenjata golok dan parang tersebut hendak meledakkan jatiluhur. Mungkin mereka terlalu keseringan nonton film fiksi ultramen taro.
Lalu bagaimana dengan keluarga dan anak-anak yang orangtuanya dibunuh dengan keji tersebut? apakah mudah menghapus ingatan dari seorang anak kecil yang diperlihatkan 'keganasan' pasukan densus tersebut. Saya sempat menangani beberapa anak yang orangtuanya terbunuh di tangan densus 88. Ada banyak rasa yang muncul dalam psikologi anak tersebut. Rasa dendam, rasa amarah, rasa takut, rasa frustasi, rasa benci. Tak jarang kami pun harus menjelaskan bahwa perjuangan tersebut bukanlah didasari oleh rasa dendam karena mereka membunuh orangtua dan saudara kita. Namun didasari oleh sebab yang paling mendasar, yaitu keimanan (QS. AL Baqarah 256-257)
2. Deradikalisasi
Negara ini mengadopsi pola 'stick and carrot' yang digunakan oleh negara barat pasca serangan WTC. Memberikan hadiah dan reward terhadap siapa saja yang bersama memerangi terroris, dan memberikan hukuman bagi siapa saja yang mendukung terorisme. APakah pola stick dan carrot (deradikalisasi) yang merupakan konsep dari barat, cocok diterapkan dalam penanganan aksi-aksi terorisme tersebut? saya rasa semua bisa menjawabnya.
Pola stick and carrot hanya menciptakan dendam kesumat terhadap siapa saja yang didzalimi oleh pemerintah. Tidak hanya kepada terorisme, namun juga pelaku kejahatan lainnya. Minimal mereka akan trauma dan melampiaskan rasa bencinya yang tak terbalas, sehingga kejiwaannya pun akan menjadi ganda. Coba anda lihat, berapa persen pola penanganan BNPT , Lapas, dan sistem hukum terhadap pelanggaran hukum yang berhasil?Â
Pola carrot juga akan melahirkan generasi yang pasrah dan mudah berkhianat. Baik terhadap lingkungannya, idealismenya, maupun cita-citanya. Karena pola carrot ini hanya akan menciptakan manusia-manusia lemah, dan akan berbicara sesuai dengan tarifnya. Dahulu saya diajarkan untuk menjunjung tinggi idealisme dan cita-cita apapun yang terjadi. Menggantungkan idealisme dan cita-cita setinggi langit. Dan akan mengejarnya sampai kapanpun juga. Kehilangan idealisme dan cita-cita dari seorang manusia pada hakikatnya kehilangan semangat dan ruh yang ada.
Pola carrot juga akan melahirkan generasi yang berkhianat. Pepatah strategi mengungkapkan "seseorang yang meninggalkan Tuhannya demi uang, pasti akan mudah meninggalkan manusia bila tanpa uang". Apakah seseorang yang telah di deradikalisasi tersebut akan kemudian tidak akan berkhianat suatu saat nanti? hanya hati nurani yang bisa menjawabnya.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H