Mohon tunggu...
Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana Mohon Tunggu... Relawan - Profesional dalam bidang transformasi konflik, memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu perdamaian, toleransi, pengambangan budaya damai.

Tinggal di Cirebon, saat ini adalah mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Menekuni bidang pengembangan budaya perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Trump Versus Twitter: Words Lives Matter

15 Januari 2021   11:01 Diperbarui: 18 Januari 2021   10:04 1601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah selama berbulan-bulan mencuit klaim-klaim bahwa pemilihan presiden dirampok, penuh kecurangan dan dinilai menghasut pendukungnya untuk melakukan kekerasan di Capitol Hill, akhirnya Twitter melarang-bahkan menghapus secara permanen akun Twitter Donald Trump @realDonaldTrump, pada Jumat 6 Januari 2021 lalu. 

Akun ini memiliki setidaknya 88 juta pengikut dan menjadi alat komunikasi utama antara Trump dengan pendukung Republikennya

(Permanent suspension of @realDonaldTrump)

Pernyataan resmi Twitter, kurang lebih seperti ini, "Setelah melalui kajian mendalam pada cuitan @realDonaldTrump, dan mempertimbangkan konteks yang melingkupinya, terutama pada bagaimana cuitan ini diterima dan diinterpretasikan di dalam maupun di luar (konteks) Twitter, kami memutuskan untuk menghentikan secara permanen akun ini karena pertimbangan risiko penghasutan dan kekerasaan lebih lanjut.

Twitter melanjutkan, dalam konteks kejadian yang mengerikan pada pekan ini, kami telah secara jelas (memperingatkan) pada Rabu lalu bahwa pelanggaran aturan Twitter akan berpotensi pada tindakan seperti yang dilakukan saat ini.

Twitter memantau ada beberapa cuitan Trump yang dianggap bermasalah dan cenderung melakukan glorifikasi kekerasan (Glorification of Violence). 

Cuitan itu, menurut Twitter, sangat penting diletakkan dalam konteks yang lebih luas pada kejadian-kejadian sepekan terakhir. Twitter khawatir pernyataan Trump dapat diterima dan ditafsir oleh pengikutnya secara berbeda termasuk hasutan untuk melakukan kekerasan,

Lebih jauh Twitter menilai bahwa, cuitan Trump yang menegaskan tidak akan menghadiri upacara pelantikan Biden dan Harris dapat ditafsirkan oleh pendukungnya sebagai konfirmasi lanjutan bahwa pemilihan ini tidak memiliki legitimasi dan bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang menyebutkan akan fokus pada transisi yang sesuai aturan (orderly transition). 

Cuitan bahwa Trump tidak akan datang pada pelantikan juga dinilai Twitter sebagai dorongan (encouragement) tindak kekerasan oleh pendukungnya karena dirinya tidak akan ada di sana sehingga pelantikan akan menjadi target yang aman (safe target). 

Apalagi Trump menyebut mereka yang menyerbu Capitol Hill sebagai "patriot", pertanda bahwa Trump menyetujui tindakan kekerasan pendukungnya. Twitter bahkan mengendus percakapan di dalam dan di luar platform sosial media ini perencanaan serangan kedua pada Gedung Capitol di tanggal 17 Januari 2021.

Baru kali ini Twitter merasa perlu memberikan penjelasan gamblang kenapa satu akun harus dihentikan secara permanen (permanently suspended). 

Pemilik akunnya adalah orang paling berkuasa di dunia, Panglima Tertinggi Angkatan bersenjata paling mematikan di bumi, pemegang kode peluncur senjata nuklir dan memiliki pengikut yang luar biasa banyak, 88 juta! Menarik untuk melihat pada bagaimana Twitter meletakkan cuitan yang sebenarnya hanya kata-kata, teks dan huruf pada ranah konteks yang lebih besar.

Cuitan Trump seperti, "To all of those who have asked, I will not be going to the Inauguration on January 20th." bukan sebuah pernyataan "istimewa" jika tidak diletakan pada konstruksi sosial yang khusus dalam hal ini penyerbuan pendukung Trump di Gedung parlemen saat tengah sidang pengesahan hasil pemilihan presiden Amerika.

Sebelum penyerbuan itu terjadi Trump memimpin rapat umum yang ia sebut sebagai Save Amerika March. Dalam orasi di depan puluhan ribu pendukungnya Trump berulang kali menyebut kata fight, fighting, courage, patriot, strong, strength dan menyebut mereka yang tak sejalan dengan keyakinannya sebagai weak, ashamed, bahkan traitors. 

Rudi Giullani, pengacara pribadinya, bahkan mengatakan "So let's have trial by combat!". Anaknya, Donald Trump, Jr juga menyebutkan, "Hari ini kita akan mulai mencatat nama-nama dan menendang bokong mereka". Trump, Jr mengancam anggota senat dan kongres yang tidak mendukung ayahnya "Saya akan ada di halaman belakang rumah Anda, dua bulan ke depan"

Bagi yang mengikuti Trump, minimal melalui Twitter, cuitan, retorika, pernyataan dan klaim Trump terhadap banyak kerap dinilai memicu perbedaan, kebencian dan ketakutan. Tapi itulah cara dia untuk mendapatkan bensin bagi generator kekuasaannya. 

Trump tidak lagi bersembunyi pada apa yang disebut filsuf Jennifer Saul sebagai Daun Ara Rasial (Saul, 2017). Bahasa Trump semakin eksplisit, menyebut orang Meksiko sebagai penjahat dan pemerkosa, memberi nama Coronavirus menjadi China Virus, menyebut Biden sebagai orang yang lemah secara fisik dan mental, Obama tidak lahir di Amerika, pelarangan muslim, melarang masuknya imigran dari negara yang ia sebut "shithole country", orang-orangnya ia sebut sebagai "infestation" (hama, kutu) dan banyak lagi.

Pendukungnya yang merasa cocok dengan cuitan-cuitan Trump tak segan untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih ekstrem. Meski tidak mudah menentukan hubungan antara pidato dan cuitan (teks) dengan tindakan (actions) dalam diskursus sosial dan psikologi, namun apa yang terjadi antara Trump dengan pendukungnya patut mendapat perhatian.

Kata-kata yang kerap diucapkan Trump penting untuk dua alasan; Pertama, kata-kata itu tidak berdiri sendiri. Setiap kata terhubung dalam sebuah jaringan pengetahuan dan mengkonstruksi sebuah konsep tertentu. 

Jika seseorang menyebut kelompok lain sebagai "hama" maka penerima pesannya akan menafsirkan/mendiskusikannya sebagai kelompok yang tidak diinginkan, harus dibasmi, menyakitkan atau berbahaya. Menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai hama akan berujung pada dehumanisasi.

Kedua, jika seseorang atau sekelompok orang mengalami dehumanisasi akan menuntun pada logika bahwa orang atau kelompok tersebut layak untuk diberangus bahkan pemberangusan etnis dan genosida. Indonesia sebagai contoh, memiliki kata jahanam seperti; komunis. 

Dari sebuah konsep atau ideologi sosial, representasi mental komunis berubah menjadi "monster" yang harus dilenyapkan. Ratusan ribu nyawa melayang karena kata ini. 

Kita juga memiliki wacana seperti "pribumi" dan "nonpribumi" untuk membedakan mana yang "asli" Indonesia dan mana yang percampuran dan celakanya pembedaan ini seperti hanya berlaku pada suatu etnis tertentu saja.

Kata-kata, bahasa dan apa yang kita katakan dan apa yang orang lain katakan tentu sangat berarti. Kita berbicara untuk memuji atau menyalahkan, untuk mengancam atau memperingatkan, untuk menghasut, menenangkan, menghibur, meminta maaf, menghina, untuk mendidik, untuk membuat orang lain bingung, dan lainnya. 

Bahasa bukan hanya untuk mengungkapkan emosi ia juga menyetir dan mengembangkan emosi apa yang hendak dibangun pada orang lain.

Kata-kata dan Regim Kontroversi

Cara berpikir inilah yang ingin dikembangkan oleh psikologi diskursus (PD). PD didefinisikan oleh Wiggins (2016):

Discursive psychology is a theoretical and analytical approach to discourse which treats talk and text as an object of study in itself, and psychological concepts as socially managed and consequential in interaction.

PD merupakan subdisiplin ilmu psikologi yang masih relatif baru dan bersumber pada pemikiran yang terdapat dalam teori-teori konstruksi sosial dan analisis wacana. 

PD kerap dilekatkan pada sebuah metodologi inovatif dan analisis dengan menjadikan bahasa sebagai sumber data utama. PD selama dasawarsa terakhir ini berkembang sangat pesat di wilayah Eropa, Amerika Selatan dan Asia karena upayanya untuk menjadi alternatif wacana atas arus besar ilmu psikologi yang selama ini dikuasai oleh pendekatan-pendekatan positivistik, behavioris dan kognitif (lihat misalnya Gergen, 2001; Hepburn, 2003).

Jonathan Potter dan Margaret Wetherell menulis buku Discourse and Social Psychology, Beyond Attitudes and Behaviour (1987) yang dapat disebut sebagai awal kelahiran PD. Keduanya menawarkan PD sebagai jalan alternatif dalam melakukan penelitian psikologi dan berusaha menyeimbangkan antara metode penelitian yang sifatnya kuantitatif dengan metode-metode kualitatif. 

Tapi PD bukan hanya tentang metodologi, PD juga menawarkan beberapa prinsip-prinsip teoritis yang memiliki perbedaan tajam dengan psikologi arus utama, terutama psikologi kognitif, dalam memahami bahasa.

Mengapa bahasa penting? Potter dan Wetherell (1987, p5) berargumen bahwa bahasa bukan sebatas kode-kode untuk berkomunikasi. Bahasa tidak pernah terpisahkan dari proses berpikir dan nalar (reasoning). 

Akan sangat sulit sekali membayangkan komunikasi tanpa ada bahasa di dalamnya. Sangat sulit menjelaskan bagaimana nalar yang abstrak dijelaskan tanpa bahasa (Potter dan Wetherell, 1987).

Dari argumen keduanya kita mengetahui bahwa PD adalah bagian dari aras besar konstruksi sosial yang menekankan pentingnya mempelajari bagaimana orang -dalam beragam konteksnya- berperilaku, dan dengan demikian mengkonstruksi dunianya. Mengikuti prinsip-prinsip dasar konstruksi sosial, DP memiliki beberapa ancangan utama, seperti;

1. Diskursus dikonstruksi (constructed) sekaligus mengkonstruksi (constructive) pengetahuan. PD melihat pengetahuan kita tentang dunia (Heidegger menyebutnya sebagai "Life World") diciptakan oleh praktik-praktik sosial sehingga ia bersifat historis, berbeda berdasarkan situasi budaya dan bersikap kritis terhadap pengetahuan-pengetahuan yang dianggap telah diterima begitu saja (Burr, 2005).

Dengan kata lain, PD seperti pendekatan kritis lainnya ingin menantang dan memeriksa kembali pengetahuan-pengetahuan yang telah kita anggap sebagai nalar bersama. PD mengkonsentrasikan studinya pada bagaimana kita bicara dan menulis tentang dunia, dan bagaimana "dunia" itu dikonstruksi. 

Apa yang diterima sebagai pengetahuan kemudian dianalisis secara kritis dan dilihatnya sebagai produk dari praktik-praktik sosial dan budaya, seperti cara orang berpikir, bicara dan berperilaku dan mengapa terdapat perbedaan dalam konteks sosial budaya dan situasi tertentu, serta bagaimana konsekuensi dari pengetahuan tersebut pada orang lain.

Diskursus juga turut mengkonstruksi berbagai versi tentang dunia dan pengetahuan dari cara kita menilai seseorang, satu kelompok, satu kejadian, negara, ideologi-politik atau organisasi. 

Kemampuan diskursus untuk mengkonstruksi dunia membawa kita pada perbedaan versi atas realitas (Wiggins, 2006). PD kemudian berusaha untuk menguji perbedaan-perbedaan versi dunia dan perbedaan implikasinya pada konteks tertentu sebuah diskursus diproduksi.

2. Wiggins (2006, p31) berargumen diskursus tergantung pada situasi (discourse is situated) dan hidup dalam konteks khusus. Diskursus, selain dikonstruksi dan mengkonstruksi, dia juga akan dilihat secara berbeda dalam dunia tertentu, waktu tertentu, kejadian yang melingkupinya dan konteks relevannya. 

Analisis terhadap konteks dapat dilakukan melalui tiga cara. Pertama, bagaimana ia diproduksi pada konteks yang spesifik sebuah diskursus diproduksi. Lihat contoh penghapusan akun Trump di atas, Twitter melihat pada konteks spesifik cuitan seperti; kekerasan di Capitol Hill, penolakan hasil pemilu dan dampak orasinya di depan pendukungnya. 

Kedua, diskursus dapat dilihat melalui kerangka retorikanya (rhetoric framework) karena selalu ada ragam interpretasi terutama jika diskursus itu tidak secara eksplisit diungkapkan.

Cuitan Trump tentang keputusannya untuk tidak hadir dalam pelantikan ditafsirkan Twitter sebagai penolakan terhadap hasil pemilihan yang legal dan sesuai hukum. Twitter bahkan mengkhawatirkan cuitan itu akan ditafsirkan sebagai "dukungan" bagi serangan gelombang kedua yang dilakukan pendukungnya dan tanggal pelantikan akan menjadi sasaran yang aman karena Trump tidak akan hadir di sana. 

Ketiga, diskursus juga dapat dilihat dari sekuen atau rangkaian interaksi. Ketika Trump mengatakan orang Meksiko sebagai penjahat, pemerkosa dan bandar narkotika. 

PD akan melihat apakah ada hubungan antara cuitan dan bahasa Trump yang eksplisit tentang imigran (terutama dari Meksiko) dengan kejadian penembakan massal di Walmart Elpasso, misalnya (https://www.bbc.com/news/world-us-canada-49221936).

3. Orientasi tindakan dari kata-kata dan bagaimana konsekuensinya. Prinsip ini berbasis pada dua argumen di atas bahwa jika diskursus mengkonstruksi versi khusus dari realitas dan konstruksi-konstruksi itu diletakkan dalam situasi sosial budaya tertentu maka pasti akan ada fungsi dan capaian khusus yang ingin digapai oleh diskursus. 

Dengan kata lain, diskursus (pembicaraan dan teks) bekerja dalam dan pada konteks tertentu dengan jalan yang berbeda.

Apa yang membedakan PD dengan pendekatan-pendekatan lainnya? Billig (2009) berargumen bahwa hal yang paling membedakan antara PD dengan teori psikologi lainnya adalah sikap PD yang menolak kognitivisme. 

Kognitivisme menurut PD adalah sebuah perspektif yang mereduksi kehidupan psikologi termasuk diskursus dan interaksi sosial menjadi kerja-kerja kognitif semata, bahkan hanya dinilai berdasarkan perhitungan (computational) dari proses mental. Seraya menyiarkan reaksi yang disebut sebagai revolusi kognitif (cognitive revolution) sebagai reaksi terhadap behaviorisme.

PD mengkritik keras asumsi-asumsi dasar kognitivisme dan behaviorisme. Kaum behaviorisme misalnya percaya bahwa otak atau pikiran menerima informasi dari dunia luar dan bagaimana otak serta pikiran manusia harus memproses informasi tersebut. Adalah tujuan dari kognitivisme untuk memahami bagaimana proses pengolahan informasi dan mekanisme apa yang dipergunakan (Branquinho, 2001). 

Psikologi kognitif juga mengasumsikan bahwa otak dan pikiran manusia harus memiliki representasi khusus tentang dunia luar. Mereka percaya bahwa jika individu tidak memiliki representasi mental atas dunia luar, individu tidak akan mampu mengenali pola yang menjadi stimulus untuk memahami realitas.

PD juga menilai psikologi kognitif sebagai paradoks (Harre, 2002). Mereka menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membuat penelitian tentang otak dan pikiran secara saintifik dan empiris melalui berbagai eksperimen akan tetapi objek yang menjadi penelitian mereka adalah sesuatu yang tak dapat diobservasi bahkan oleh super-mikroskop sekalipun. 

PD percaya bahwa hal-hal yang tak dapat diobservasi tersebut dapat dianalisis melalui tindakan-tindakan yang dikerjakan otak, terutama tindakan yang berbasis bahasa.

PD juga menilai bahwa sikap (attitude) bukanlah sesuatu yang telah ada dalam skema kognitif manusia. Sikap bukanlah sebuah konsep teknis yang dapat ditelaah menggunakan alat ukur seperti kuesioner (Billig, 2009; Potter dan Wetherell, 1987). 

Pendekatan tradisional psikologi biasanya memperkirakan bahwa orang akan mengatakan hal yang kurang lebih sama ketika diberikan sebuah stimulus yang sama karena pendapatnya akan berdasarkan pada sebuah skema dan struktur kognitif yang tetap. 

Sebaliknya, PD justru berargumen bahwa akan ada banyak variasi diskursus dari apa yang orang katakan karena orang yang sama bicara dalam retorika, situasi sosial-budaya, waktu, atau konteks interaksi yang berbeda.

Contoh sikap Trump pada proses pengesahan hasil pemilu Amerika adalah contoh yang paling telak tentang bagaimana seseorang dapat berubah pada konteks spesifik. Saat ia berorasi di depan Save America March, Trump menggunakan kata-kata eksplisit seperti; strong, strength, courage, fight, fighting bahkan kick and combat. 

Trump menyebut mereka yang ikut dalam aksi Save Amerika sebagai patriot, pemberani dan orang-orang spesial. Namun sekitar tiga jam setelah penyerangan Capitol Hill, Trump berpidato dalam tayangan video bahwa ia mengutuk penyerangan itu sebagai tindakan yang melawan hukum, mereka yang melakukannya harus bertanggung jawab. 

Untuk hasil pemilu, ia mengatakan bahwa fokus utamanya adalah memastikan transisi administrasi secara damai dan sesuai dengan aturan (peaceful and orderly transition). Kontras dengan sikap dia selama ini yang selalu menyangkal hasil pemilihan yang dianggapnya curang.

Inilah yang disebut Billig (2007) bahwa "sikap" seharusnya tidak dilihat sebagai sebuah skema internal yang ajeg melainkan sebuah kesadaran bahwa ia akan ditempatkan pada sebuah kedudukan yang penuh kontroversi/perbedaan. 

Ketika orang memberikan pendapat atau berkata tentang sikapnya, ia sebetulnya menempatkan dirinya dalam sebuah situasi bahwa dia tahu akan ada debat dan perbedaan pendapat. Itulah yang disebut sebagai makna retorik yaitu ketika satu pendapat mendapatkan maknanya yang lebih jelas dari opini balasannya (counter-opinion).

Seperti halnya analisis percakapan (conversation analysis), PD meletakan dasar analisisnya pada pemahaman masing-masing mereka yang melakukan interaksi retorik (teMolder dan Potter, 2005). 

Orang melakukan percakapan tentang sesuatu, berulang-ulang, bertahap dan mengembangkan nalar tertentu untuk membuatnya masuk akal. Individu menunjukkan ekspresi marah agar orang memungut sampah yang dibuangnya sembarangan atau seorang tersangka kejahatan mengaku lupa di persidangan karena keberatan menjawab pertanyaan hakim.

Dalam budaya Sunda, orang mengenal istilah nyungkun satu tindakan yang secara sengaja, demonstratif bahkan terkadang dilebih-lebihkan yang dilakukan justru sebagai ekspresi bahwa ia tidak ingin/menolak melakukannya. 

Misalnya, anak merengek minta uang Rp. 5000 untuk jajan. Orang tua menolaknya karena beberapa jam sebelumnya ia sudah membelikan jajanan dari warung. 

Rengekan si anak semakin naik level dan membuat orang tua jengkel. Karena jengkel, si orang tua malah memberikan uang Rp. 100.000 (kadang secara lebay mengeluarkan semua uang yang ada dalam dompet) sebagai tindakan nyungkun. 

Ajaibnya, anak tidak mengambil uang Rp. 100.000 karena dia tahu itu bukan ekspresi sebenarnya, meski tidak serta merta menghentikan rengekannya.

Bahasa, istilah dan retorika yang selama ini berkembang dalam percakapan sehari-hari kita adalah ladang yang luas untuk PD. Apalagi di Indonesia yang memiliki ratusan bahasa daerah, lapis demi lapis tingkatan bahasa, dan kaya dengan berbagai subkultur bahasa (slang, prokem, bahasa gaul) membuat PD memiliki potensi perkembangan yang cukup baik. 

Menurut Edward (2007) dalam kultur yang kaya bahasa, "mind-word relationship" atau hubungan antara pikiran dan bahasa yang dikeluarkan seseorang dapat mengungkapkan sisi subjektif seorang pembicara dalam konteks yang lebih khusus maupun yang lebih luas. Keberagaman ini akan menjadi kekayaan yang menarik untuk dikaji.

Studi tentang percakapan oral dan percakapan online atau pengaruh sosial media dalam membangun diskursus, siber-psikologi, termasuk perilaku anonim dan maraknya berita bohong serta ujaran kebencian adalah topik-topik yang layak digali di masa yang akan datang. 

Pada masa pandemik yang ditandai dengan kecemasan, kebingungan dan keraguan akan lahir diskursus-diskursus baru, susul menyusul dan silih berganti. 

Diskursus dapat menguatkan diskursus sebelumnya atau akan menjadi wacana tanding. Meskipun revolusi kognitif yang di awal perkembangan PD ditawarkan sebagai alternatif bagi arus utama psikologi kognitif tidak benar-benar terjadi, akan tetapi perkembangan terakhir seperti yang ditunjukkan dalam kasus Donald Trump dan Twitter semakin menegaskan sentralnya fungsi bahasa dan interaksi dalam disiplin psikologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun