Sebagai bukti bentuk kelalaianku, aku malu pernah menebak pikirannya tentang kami yang menyalin tugasnya. Sebab, dalam percakapanku dengan Si Filsuf, kutahu Ai sudah belajar makna kehidupan darinya -- dari orang yang menjadi lawan debat abadinya di kampus, sekaligus sosok yang setia menemaninya berbagi cerita : kau tak bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam hidup dengan menjatuhkan orang lain.
Ai kuliah dengan memaksimalkan dirinya. Ia tak takut disaingi, juga tak iri bila yang lain dapat nilai lebih tinggi darinya. Dan karena sikapnya itu, aku pernah melihat seorang teman marah-marah kepadanya. Sebabnya, ia menilai dosen salah memberi nilai di transkipnya.
"Nilaiku seharusnya tak begini!"
"Jadi berapa?" tanya Ai.
"Pasti lebih rendah dari kau," jawab temanku itu seraya membandingkan nilainya dengan Ai.
Tetapi Ai hanya tersenyum menanggapinya.
Aku terdiam menyaksikan peristiwa itu. Bukan karena sikap Ai yang dengan tenang menanggapi protes temanku itu, tetapi karena keluguan seorang pencontek. Aku tak tahu harus sedih atau senang mendengar pengakuannya itu.