"Yang bahaya bukanlah hal baru yang kita tahu, namun hal lama yang kita percayai dan ternyata itu adalah salah" (Mark Twain)
Perempuan setengah baya itu percaya bahwa berita yang didengarnya beberapa hari yang lalu hanyalah hoax. "Itu hanya pengalihan isu," katanya setelah menghitung lembaran rupiah dengan jarinya, "Indonesia tidak pernah dilanda bencana besar, kecuali letusan gunung berapi."
Aku tertarik mendengarkan perbincangannya dengan seorang pemuda berbadan gempal yang memakai seragam putih-biru setelah mendengar suara perempuan itu meninggi. Pemuda itu tersenyum, lalu berujar, "Supaya kita siap aja, Bu. Gempa gak bisa diprediksi."
"Ya, tapi kan masyarakat jadi takut. Iya 'kan, Pak?" ia memalingkan wajah ke arahku.
Aku tersenyum. Untung aku membaca berita di media online dan membaca penjelasan singkat dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di aplikasi info bmkg, jadi aku bisa berkomentar sedikit, "Gak bermaksud nakut-nakuti, Bu. Mungkin BMKG mau ngomong seperti ini, 'ini, loh. Ada gempa yang mungkin terjadi di Jakarta di masa depan, siap gak kita', mungkin gitu, Bu."
Perempuan itu mengangguk kecil. Tampaknya, ia mulai paham maksud BMKG.
Menurutku memang, langkah BMKG ini adalah suatu kemajuan. Sudah sejak lama masyarakat tak pernah mempertimbangkan bencana alam dalam membangun rumah atau gedung. Masyarakat tampak mudah lupa pada bencana alam, atau memang tak mau tahu. Padahal nenek moyang kita selalu mempertimbangkannya. Kita bisa tahu itu, salah satunya dari bentuk rumah yang ditinggali, yakni rumah panggung.
Bisa jadi, setelah sarasehan ini, setelah masyarakat dikejutkan dengan pemberitahuan bahwa ada gempa yang mengintai Ibukota, masyarakat lebih waspada. Atau mulai memikirkan usaha -- setidaknya peduli pada pihak-pihak yang bekerja pada bidang yang mengurusi bencana alam. Baik yang melakukan pencegahan, maupun penanggulangan. Kepedulian bisa ditunjukkan dengan memberi masukan atau apresiasi untuk pelayanan yang lebih baik.
Bisa juga semua ini (informasi tentang gempa, masyarakat yang takut) berdampak domino. Dan dalam setiap kegiatannya, masyarakat bisa mempertimbangkan informasi yang tersedia. Misalnya, dalam dunia pertanian, masyarakat bisa memanfaatkan prakiraan iklim dalam bertanam.
Mungkin sudah saatnya kita meninggalkan kebiasaan lama yang tidak peduli pada alam dan segala yang terjadi padanya -- seolah-olah alam baik-baik saja dan menuruti segala kerakusan kita. Inilah titik balik kita untuk memulai kebiasaan baru : mengamati alam, mencatat, dan mempertimbangkannya dalam setiap kegiatan.
Sulit memang memulai kebiasaan baru, apalagi kita sudah nyaman dengan kebiasaan lama. Namun, seiring teknologi yang berkembang, bencana alam semakin beragam. Untuk itulah mitigasi diperlukan. Dan, menurut saya, BMKG telah melakukannya melalui sarasehan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H