Bagi mereka yang mampu berdiri dan berani berbeda dari orang banyak, kenyataan itu bukanlah masalah. Tetapi bagi kami yang sedang mencari jati diri, realita ini adalah tantangan berat. Beberapa diantara kami akhirnya menjual diri untuk membeli suatu barang. Baik itu handphone tercanggih dan terbaru, laptop, pakaian dan tas ber-merek, bahkan sepeda motor.
Sebenarnya tanpa disadari, mereka merendahkan diri. Membatasi harga diri dengan setumpuk rupiah. Sesaat, mereka pikir tindakan ini tak sesat. Tetapi jika dipikir lebih dalam, cara ini membawa mereka dalam masalah yang lebih berat.
Aku tak mengerti apa yang didapat setelah memiliki barang itu. Alasan yang sering ditulis para pemburu berita, mereka melakukannya hanya untuk sebuah pujian. Hanya untuk menegaskan eksistensi agar tidak dipandang sebelah mata.
Yang luput dari pikiran mereka, setelah dipuji, mau apa lagi? Apa anggapan itu mendatangkan bahagia?
"Andai saja waktu bisa kuputar kembali, aku harusnya tak mengikuti mereka, Vi" Raut wajah Jenni kini dipenuhi sesal. Suaranya agak serak, menambah rasa prihatinku padanya.
"Ya... penyesalan memang selalu datang terlambat, Jen. Tetapi bukan berarti semua sudah berakhir. Kau masih berhak untuk bahagia disisa umur yang diberikan kepadamu. Jadikan ini pelajaran, Jen"
Pandang Jenni melayang di awang-awang. Tampak ekspresinya seperti mulai menerima apa yang telah terjadi. Meski semua tak akan sama lagi.
Tindakan jenni memang bodoh. Menjual diri hanya untuk membeli sepeda motor. Kepalanya mungkin bisa tegak ketika melangkah. Senyum memang terukir di wajah. Tetapi, benarkah dia bahagia?
Memang aku tak berhak mengukur kebahagiaan orang lain, tetapi tindakan seperti ini akan berdampak buruk pada Jenni. Baik dari segi kesehatan maupun psikologis.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan, Vi?"
"Terimalah kenyataan yang telah lalu, Jen. Kau harus bisa memaafkan dirimu sendiri. Memang berat, tetapi itu lebih baik daripada kau larut dalam penyesalan"