Mohon tunggu...
Baharudin Pitajaly
Baharudin Pitajaly Mohon Tunggu... -

penikmat Kopi, peminat ikan Kakap

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Meneropong" DKI Jakarta pada Sudut Berbeda

16 November 2016   12:27 Diperbarui: 16 November 2016   12:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau justru sebaliknya dengan bentuk dan kemasan lain seperti menyerang calon tertentu secara Politis dengan sangkaan-sangkaan di alamatkan padanya, dengan demikian calon yang mereka usung bisa menuai dukungan dan menang pertarungan.

Mentalitas lainya ikut ditunjukan ialah xenophobik, mental seperti ini agak berbeda di negara Eropa seperti Prancis dan Jerman. Xenophobik sebuah mental gerak membangkitkan identitas etnis secara eksklusif untuk memperkuat akses anti terhadap bangsa Asing. Di Indonesia mental xenophobik memiliki wajah yang mendua akibat tidak adanya dasar “Idiologi” yang jelas menopang.

Ambivalensi sikap seperti ini bisa dilihat dari cara anak bangsa di waktu yang bersamaan ia terlihat anti pada Cina atau AS sampai hari ini, namun dengan senang hati menerima kucuran modal asing. Mental seperti ini bukan xenophobik akan tetapi mental Inlander yang sudah terbangun sejak zaman Kolonial.

Gerakan Politik tanpa sandaran Idiologi

Gerakan-gerakan Politik sepanjang sejarah Indonesia merupakan reaksi emosional (emotional reaction) baik gerakan kanan maupun kiri. Bukan sebuah formulasi atas keadaan berdasarkan refleksi dan kesadaran idiologis, yang berangkat dari pemahaman kritis atas realitas.

Karena tidak ada landasan sejarahnya Itu pula yang menyebapkan setiap gerakan Politik yang dibangun selalu masuk dalam jebakan struktur dan sekenario Internasional. Setiap perubahan internal selalu merupakan dampak dari perubahan di luar kita ini yang mereka lupa.  

Dalam soal pertarungan Politik DKI sesunguhnya dapat di kategorikan dalam konteks penjelasan ini, baik elit serta elemen pendukung lainnya yang melawan Ahok habis-habisan mapun yang mendukung calon lain dengan gaya penuh jumawa. Seolah-olah calon yang di usung itu sempurna. Parahnya lagi elit model seperti ini hobinya menggunakan isu murahan untuk pecah belah.

Karena bergerak tanpa sandaran Idiologi, itu sebabnya selalu mengandalkan Politik pencitraan. Transaksional dan pragmatisme menjadi senjata ampuh yang selalu di gunakan dalam rumus Politik kekuasan, selalu bermain di air keruh kemudian mengambil untungnya. dan setalah itu menujukan ke publik apa yang di lakukan itu benar hingga itu layak di dukung dengan wajah tanpa dosa.

Tidak Ada Kelompok Vanguard    

kita semestinya harus agak kebelakang melihat sejarah munculnya elit masa kolonial. dalam struktur politik munculnya indivindu-individu yang di anggap layak karena memiliki kecakapan, sesunguhnya bukan berasal dari vanguard hingga itu layaknya di sebut elit. apa lagi sistem ekonomi dunia yang kapitalistik selalu bertumpang tindih dengan kepentingan elit lokal, itu sebabnya elit tidak berpikir dalam konteks Politik moderen, Ia hanya perpikir kepentingan dirinya sendiri.

Alasan kemudian kelompok Vanguard tidak pernah muncul karena dalam sisitem pendidikan Belanda, Elit selalu di ambil dari anak camat atau Pamong Praja.Ini menjadi alasan kenapa elit yang pada umunya kita temui dalam struktur Politik tidak pernah berfikir soal kemanusiaan dalam pandangan universal seperti Kesejatraan dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun