Mohon tunggu...
Baharudin Pitajaly
Baharudin Pitajaly Mohon Tunggu... -

penikmat Kopi, peminat ikan Kakap

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memabaca Kembali sosok Imam Abdullah Bin Qadhi Abdussalam (Tuan Guru) sebagai Ulama pejuang dan Politisi

22 Oktober 2015   08:26 Diperbarui: 22 Oktober 2015   09:37 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Membaca buku dan teks-teks sejarah para Ulama Pejuang seperti yang kita kenal dalam pelajaran sekolah yang di tulis oleh pemerhati sejarah atau oleh para peneliti sejarah bangsa Asing tentu akan mengantar kita jauh mengenal, menemukan, dan mengerti  banyak hal terkait sepak terjang para ulama zaman itu, menyebut seorang ulama tentu asosiasi kita akan terbawa pada seoran figur tokoh yang sanggat karismatik sebagai penutan atau bahkan seorang guru dalam ilmu agama. Ternyata asosiasi kita itu tentu keliru sebutan ulama pada zaman Kolonialisme dan penjajahan Belanda ternyata membuat kita tercengang melihat atau memaknai sejarah panjang para ulama di Nusantara yang di gambarkan dengan lugasdan apik para Ulama sebenarnya memiliki keberanian melawan bangsa Penjajah Asing baik itu Belanda maupun Inggris, dan bahkan para Ulama ini rela mempertaruhkan hidupnya demi membela tanah dan airnya atau membela rakyat yang di perlakukan semena-mena oleh bangsa Penjajah.

Narasi historis inilah yang kemudian mengantarkan ingatan saya jauh dan mengingatkan pada seorang ulama asal Maluku Utara Khususnya Tidore yang di kenal dengan nama Imam Abdullah bin Qadh Abdussal atau sering di pangil dengan sebutan Tuan Guru. Imam Abdullah adalah anak seorang Qadih Kesultanan Tidore yang lahir pada 1100 Hijriah atau pada tahun 1712  Masehi dari pasangan Qadi Abdussalam dan Boki.

Masa kecil Imam Abdullah di kenal sebagai anak cerdik dan pandai hidup dalam keluarga yang sangat taat menjalan keyakinan agama, di usia yang relatif masih mudah beliau sudah bisa menghafal Al-Quran dan memahami ilmu-ilmu seperti Fiqih dan Tasaawuf  mebuat  Imam Abdullah di kemudian hari di percayakan sebagai Imam dan Qadih kesultanan Tidore, sebagai ulama tentu tugasnya adalah membimbing umat atau masyarakat agar menjalankan agama sesuai petunjuk Al-Quran dan Al-hadis, ternyata ulama yang satu ini tidak hanya memiliki kecakapan dalam ilmu agama namun lebih dari itu mampu mengorganisir Rakyat Tidore untuk melawan kolonialisme Belanda yang sudah semena-mena melakukan kezaliman dan melakukan politik pecah belah atas kondisi sosial politik Tidore zaman itu.

Semangat perlawanan ini di dasari dari fakta sosial politik yang dihadapi oleh Rakyat dan Imam Abdullah atau Tuan Guru tentunya, praktek monopoli dan praktek kerja paksa oleh kolonial Belanda membuat ulama Ini menjadi geram dan memilih untuk melawan walupun dengan konsekwasi logis beliau pasti di tangkap, di siksa atau bahkan di asingkan. Cara tersebut tidak membuat ulama ini menjadi kendur apalagi mundur Semangat perlawanan yang berkobar-kobar atas  Penjajahan Belanda terus di kumandangkan dengan cara melakukan organisir dan propaganda dari desa-kedesa, bahkan mimbar-mimbar tempat ibadah (Mesjid) menjadi saksi bisu atas cara Imam Abdullah membakar semangat perlawan terhadap Kolonialisme Belanda. Dengan Khittah perjuangan, tidak akan merelakan sejengkal tanah tumpah darahnya di kuasai Penjajah dan tidak rela anak negerinya menjadi budak untuk memenuhi hasrat kuasa kaum penjajah (Benyamin Marasabessy,M.Ed.).

Sebagai Ulama sekaligus Politsi karakter pemimpin yang melakat pada Imam Abdulah di terjemahkan dalam bentuk yang lebih kongkrit menjadi panglima dan memimpin langsung pertempuran hingga Belanda-pun kehabisan akal menghadapinya. Setelah melalui perjuangan panjang yang di lakukan oleh Imam Abdullah dan pengikutnya, kini beliau menjadi sosok yang begitu di benci oleh Belanda, karena saking kesalnya atas perlawanan yang di lakukan Imam Abdullah, Belanda kemudian memberikan Julukan atas beliau dengan sebutan “Baditen Rollen” atau seorang Bandit.

Banyak cara dan pendekatan-pun di lakukan oleh pihak Belanda untuk mematikan gerak perlawan terhadap Imam Abdullah namun tidak pernah berhasil. Hingga pada tahun 1763 di Tidore Imam Abdullah kemudian di tangkap oleh Belanda dengan ketiga Saudaranya: Abdul Rauf, Badaruddin, dan Nurul Imam, dan mereka di bawalah ke Ternate lalu ke Ambon, Batavia dan akhirnya di asingkan ke Cape Town Afrika Selatan dan di penjarakan di kandang kuda setelah itu di pindahkan di sebuah pulau terpencil Robben Island yang jaraknya 50 mil dari Cape Town dan pada tahun 1792 Imam Abdullah kemudian di bebaskan.

Tulisan ini hanya sebuah upaya merefleksikan kembali kisah kepahlawan Ulama Pejuang sekaligus Politisi yang kadang sudah jarang kita temukan dalam pelajaran sejarah berbasis lokal dalam pola pendidikan modern hari ini. Kita selalu disuguhi kisah-kisah kepahlawanan ulama Pejuang atau yang lainya tapi dalam konteks teritori yang berbeda. Fakta sekarang anak-anak sekolah dasar tentu akan sangat mengenal Muhamad Shahab atau Tuanku Imam Bonjol seorang Ulama pejuang asal Minangkabau (Sumatera Barat), dan Pengeran Diponegoro atau nama lain Raden Mas Ontowiryo (Yogyakarta) seorang pejuang,

Politisi dan merupakan Mursyid Thoriqoh  Qodiriyyah wan Naqsabandiyah, di bandingkan Imam Abdullah atau Tuan Guru padahal apa yang di lakukan oleh Imam Bonjol di Sumatera atau Pangeran Diponegoro di Jawa tentu tidak berbeda dengan yang di lakukan oleh Imam Abdullah atau Tuan Guru di Maluku Utara (Tidore). Ini yang harus kita rubah dengan mulai memperkenalkan sejak dini keanak-anak di sekolah dasar bahwa kita punya seorang ulama pejuang dan politisi yang tidak kalah menarink untuk kita pelajari sebagai narasi sejarah di konteks lokal yang kita punya.   Agar kita tidak terjebak dengan pola-pola yang terlalu jawa sentries dll, yang kadang melupakan kita pada fakta sejarah lokal.

Misalnya penting mengenal kepahlawanan Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro sebagai Ulama Pejuang sekaligus politisi yang terpenting melekat pada diri mereka berdua adalah Pahlawan Nasional hukumnya wajib di ketahui dan bahkan seingat saya waktu masih bangku sekolah dalam penjelasan sejarah selalu disebutkan.  Tetapi juga penting menurut saya mengenal sosok Imam Abdullah ulama pejuang dan politisi  dari Tidore di mana tempat kita di lahirkan dan di besarkan. Nah sehingga kita akhirnya fair dalam melihat sejarah jangan sejarah di monopoli lagi oleh jawa maupun Sumatera bahwa kita di Maluku Utara (Tidore) yang kurang lebih sama dalam konteks sejarah perlawanan terhadap kolonial belanda, bedanya Imam Abdullah memang bukan ulama Pejuang yang telah di Anugrahi sebagai Pahlawan Nasional atas segala Jasanya.

Tentu tulisan ini tidak bermasud mengkerdilkan makna kepahlawanan para ulama dan pejuang lain di Nusantara, namun lebih pada sisi reflektif atas sejarah lokal yang hampir hilang di telan zaman perjuangan ulama pejuang dan politisi melawan kolonial Belanda tentu akan banyak kita menjumpai narasi tersebut dalam bentuk artikel dll ketimbang buku sejarah, faktor ini juga menjadi kelemahan bahawa kurangnya kita mendokumentasikan sejarah lokal dalam bentuk tulisan atau buku hingga hanya menjadi narasi-narasi sejarah yang di wariskan dengan lisan secara turun temurun.  

Sejarah perlawan panjang yang di torehkan oleh Imam Abdullah kini hanya di maknai sebagai narasi sejarah yang tersusun rapi dalam ruang ingatan masa lalu, Imam Abdullah kini hanya menjadi cerita turun temurun dan selalu di perdengarkan entah apa maksud dan pesan yang hendak di sampaikan narasi tersebut? Dugaan saya pertama: narasi tersebut hanya sekedar upaya menunjukkan jiwa patriotisme Imam Abdullah dengan sisi yang di tampilkan lebih heroik, atau kah Kedua : narasi tersebut coba di eksplorasikan dan di jadikan refleksi bersama atas kepahlawanan Ulama Pejuang dan Politisi ulung Tidore dengan cara melihat yang lebih objektif atas apa yang telah di lakukan untuk manarik benang merah masa lalu perjuangan Imam Abdullah dalam bentuk spirit dan membentuk kembali struktur mental kita hari ini untuk menatap masa depan yang lebih baik.(*)  

Oleh: B.Pitajaly

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun