Mohon tunggu...
Baharuddin Riqiey
Baharuddin Riqiey Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Prinsip Nemo Judex in Causa Sua

28 Juni 2023   04:45 Diperbarui: 28 Juni 2023   05:14 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, 27 Juni 2023 telah memutus 5 (lima) permohonan pengujian undang-undang. Salah satu di antara ke lima permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 121/PUU-XX/2022 yang berkaitan dengan Batas Usia Pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di MK. Permohonan ini diajukan oleh Panitera Muda MK, yang menguji ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU MK. 

Para Pemohon menilai ketentuan tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan "kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, serta kepastian hukum yang adil di hadapan hukum". Sehingga dalam tulisan ini Penulis akan menganalisis berbagai pertimbangan hukum yang disampaikan oleh para Hakim Konstitusi dalam putusan a quo.

Pertama, batas usia Panitera MK tidak dapat disamakan dengan Panitera MA. Dalam hal ini Penulis sepakat, sebab dari segi persyaratannya saja keduanya berbeda. Panitera MA berasal dari Hakim Tinggi dengan pengalaman sekurang-kurangnya 1 tahun sebagai Hakim Tinggi (vide Pasal 20 ayat (2) huruf b UU 3/2009) sementara Panitera MK tidak harus diduduki oleh hakim sebagaimana berlaku pada MA karena MK tidak memiliki lembaga peradilan di bawahnya. Oleh karenanya siapapun PNS/ASN yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kebutuhan kewenangan MK berdasarkan peraturan perundang-undangan, dapat diseleksi sebagai Panitera.

Kedua, MK mengesampingkan prinsip nemo judex in causa sua dengan alasan : (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; dan (iii) perkara ini memiliki kepentingan konstitusional berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan, bukan semata-mata kepentingan lembaga Mahkamah Konstitusi. 

Melihat pertimbangan ini menurut Penulis hal ini bisa diperdebatkan, sebab ada 2 (dua) prinsip yang saling berkaitan yakni prinsip nemo judex in causa sua dan prinsip supremasi konstitusi. Rupanya, MK lebih memilih prinsip kedua yakni prinsip supremasi konstitusi. Akan tetapi menurut Penulis, prinsip yang lebih utama dalam hal ini adalah prinsip nemo judex in causa sua sebab bagaimana bisa menegakkan prinsip supremasi konstitusi kalau hakimnya sendiri mengadili perkara dia sendiri.

Ketiga, ketentuan norma yang diuji oleh Pemohon ini merupakan ketentuan yang bersifat open legal policy. Karena pada dasarnya, sesuatu yang tidak diatur secara limitatif dalam undang-undang itu merupakan open legal policy. Melihat perkara mengenai masa jabatan pimpinan KPK kemarin yang dikabulkan oleh MK, yang mana itu merupakan ketentuan open legal policy ditambah lagi mengenai permohonan dalam perkara a quo semakin menujukkan bahwasannya MK tidak lagi sebagai negative legislator melainkan menjadi positive legislator. 

Bahkan dalam perkembangannya saat ini kita mengenal istilah judicial dictatorship yang mana judicial dictatorship itu pada intinya adalah lembaga peradilan yang mengambil alih kewenangan legislatif untuk membuat suatu norma.

Keempat, Mahkamah Konstitusi belakangan ini terlihat bertindak tidak konsisten atas putusan-putusan sebelumnya. Dalam berbagai permohonan pengujian misalnya, soal presidential threshold Mahkamah Konstitusi hampir 25 kali lebih menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu merupakan open legal policy sehingga Mahkamah menyatakan dirinya tidak dapat diterima. 

Namun hal itu berbalik ketika dihadapkan pada permohonan pengujian masa jabatan pimpinan KPK, ketentuan yang jelas-jelas open legal policy tersebut justru dikabulkan sebagian dengan alasan hal itu sudah melewati batas-batasan open legal policy yakni sudah melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.

Perlu diketahui pula bahwa Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya pernah memberikan batasan-batasan mengenai open legal policy diantaranya adalah (i) secara jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable; (ii) melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; (iii) secara nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; (iv) menimbulkan permasalahan konstitusionalitas dan menimbulkan kebuntuan hukum (dead lock).

Dalam perkara ini pun MK tidak konsisten atas putusan sebelumnya yakni Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-X/2012, dalam putusan tersebut MK memberikan saran kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai batas usia Panitera MK adalah 62 Tahun meskipun MK sebetulnya lebih condong untuk menyamakan batas usia Panitera MK dengan Panitera MA namun MK juga melihat dalam ketentuan dalam UU hal itu tidak bisa disamakan sebagaimana penjelasan point pertama diatas. Pertimbangan tersebut, kemudian diakomodir dalam UU MK oleh pembentuk undang-undang sebagaimana norma yang diuji dalam perkara a quo. 

Namun pada saat ini, MK justru merubahnya kembali dengan menambah batas masa jabatan Panitera MK menjadi 65 Tahun. Inkonsistensinya MK dalam berbagai putusan sebelumnya justru menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

Lantas bagaimana jika semua ketentuan yang bersifat open legal policy itu tidak dapat diadili oleh MK? para pencari keadilan harus kemana?. Mungkin pertanyaan itu yang muncul dibenak pembaca. Akan tetapi, Penulis hanya bisa menyarankan bahwa hal ini perlu dicari formula lain terutama lewat politik, sehingga tidak semuanya diserahkan kepada MK dan menganggap bahwa seolah-olah MK itu satu-satunya lembaga yang dapat memutus semua masalah politik dan ketatanegaraan, justru ini akan menimbulkan bahaya tersendiri dalam praktik ketatanegaraan kita. 

Maka dari itu, Pemerintah dan DPR harus mencari jalan keluar untuk persoalan yang demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun